Ini adalah versi Short Novel dari cerpen yang akan saya kirim kan X<
Ternyata Novel dan Cerpen memang terlalu berbeda...

Jump?!


Sulit sekali memprediksikan musim belakangan ini, "Musim penghujan Oktober-Maret dan Musim kemarau April-September" yang ada di buku IPA SD ku sudah tidak berlaku lagi sepertinya. Global Warming membuat musim hujan menjadi singkat dan musim panas menjadi semakin lama. Selama musim panas kita kekeringan dan pada Musim Penghujan kita kebanjiran. Betapa tidak nyamannya hidup seperti ini!!, dari luar kita terlihat makmur namun kita selalu dihantui kemarahan Bumi kita tercinta.

Baru saja kemarin aku merasakan cuaca sepanas itu dan membuatku berpikir mungkin seperti inilah rasanya jika jadi ikan asin. Namun, dihari Senin ini hawanya dingin luar biasa. Kalau seseorang dipermainkan dengan hawa panas-dingin seperti ini selama satu minggu dan tidak jatuh sakit berarti dia mungkin Alien atau Cyborg.

Aku, sebagai pemakai seragam OSIS Putih-Abu-abu harus berdiri melakukan Upacara Bendera dicuaca yang sangat dingin ini meskipun aku tidak mau.

Sambil memandang langit yang semakin mendung aku melihat pasukan pengibar bendera mulai membentangkan Sang Saka Merah Putih.

Setelah Pemimpin Upacara memberi aba-aba hormat. Aku mengangkat tanganku dengan setengah hati. Maksudku, yang benar saja! Cuaca sangat dingin dan seperti mau badai kita harus berdiri selama 30 menit melakukan upacara yang bahkan para guru berbaris dengan tidak rapi dan mengobrol sendiri.

Dengan alunan suara regu koor yang terdengar setengah hati dan pasukan pengibar bendera yang terlihat malas-malasan, Lagu Indonesia Raya mengalun dibawah langit mendung.

Saat itulah, cara membuktikan kepada anak SD bahwa kecepatan cahaya lebih cepat daripada kecepatan suara terjadi. Kilatan menyilaukan membuat beberapa orang yang tadinya bersikap hormat berubah menjadi sikap menutup telinga.

GLEGAAAARR!!!!!!!!!!!!!!!

Suara yang benar-benar memekakkan telinga terdengar dari langit.

Suara tersebut membuat regu koor diam seperti anak yang baru dimarahi ibunya karena menumpahkan kopi ke atas TV. Beberapa sekon kemudian senyawa H20 jatuh ke bumi dengan percepatan 9,8 meter per detik kuadrat dan dengan energi mekanik yang cukup membuat tubuh menjadi kesakitan karena dihujani jutaan tetes air.

Beberapa guru dan murid mulai mencari berlindungan dari fenomena salah satu proses siklus air ini. Hujan yang sangat deras membuat para peserta upacara panik. Aku salah satu orang yang panik karena hujan ini, bukan apa-apa, tapi aku mengantongi uang untuk membayar SPP, dan aku tidak ingin uang itu basah.

Namun, sebagai orang yang menjabat jabatan tertinggi di kelas, Aku tentu saja merasa perlu menertibkan para anggota kelasku yang sudah seperti cacing kepanasan.

"O-OI! Baris yang benar! Hujan tidak boleh membuat barisan kelas kita hancur!" Kataku memerintah.

Namun tentu saja perintahku sama sekali tidak akan dipatuhi dalam keadaan seperti ini. Ini seperti menyuruh penumpang kapal Titanic tenang saat kapal terbelah menjadi dua, tidak akan didengarkan.

GELEGAR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Kali ini suaranya sungguh luar biasa. Setelah kesadaranku kembali, aku baru sadar kalau petir itu menyambar menara sekolah kami. Kepanikan pun semakin manjadi-jadi. Semua orang termasuk diriku sudah tidak ragu-ragu lagi meninggalkan lapangan upacara, tinggal di lapangan dengan hujan badai ditambah gelegar petir sama dengan nekat.

Namun saat aku berusaha berteduh, seorang siswi kelasku berlari menuju ke tengah lapangan dengan kecepatan luar biasa. Aku yang berlari berlawanan dengan arah larinya langsung berbalik.

"HEI! BAHAYA!" Teriakku sambil berharap wanita itu mendengarku.

Baru saja aku berteriak seperti itu, petir selanjutnya menyambar pohon tertinggi di area sekolahku. Hei! Bukankah ini aneh, ada yang bilang petir tidak menyambar tempat yang sama dua kali.

Aku mengejar gadis berambut ekor-kuda itu.

"HEI! HUJANNYA DERAS SEKALI! CEPAT BERTEDUH!" kataku dengan suara keras untuk mengimbangi suara derasnya hujan.

"Aku tahu!"

Aku melihat gadis itu memungut Sang Saka Merah Putih yang basah dan kotor.

GELEGAR!!!!!!!!!!!!!!!!!!


GELEGAR!!!!!!!!!!!!!!!!!!


Sekedipan mata kemudian, aku menemukan diriku sudah berdiri di tengah hutan.

"Dimana... ini...??" adalah kata-kataku yang pertama kali aku ucapkan.

Manusia mana yang tidak bingung jika baru saja dia berada dalam badai yang begitu dahsyat tiba-tiba berpindah ke hutan.

"Kita baru saja melewati batas teritorial Space Time Continuum yang diizinkan. Dengan meledakkan anti-matter yang baru saja kulakukan, Percepatan hingga kecepatan melampaui kecepatan cahaya berhasil dilakukan dan kita berhasil selamat dari sambaran petir. Meskipun begitu, karena aku tidak sempat mengendalikan lemparan dimensi yang terjadi sehingga aku tidak tahu di time frame mana kita terlempar. Jangan khawatir, aku yakin tim bantuan akan segera datang. Karena dengan jumlah massa kita berdua sekarang........" Kata-kata ini keluar dari gadis berambut ekor-kuda dan masih berlanjut 2 menit kemudian.

Selama gadis itu berbicara, aku hanya bisa membuka mulutku dan terbengong-bengong seperti orang dari zaman Palaeolithicum dijelaskan konsep Teori Relativitas.

...

...

.......

.....................

Tunggu sebentar...

Bisa kau jelaskan lagi? Maksudmu kita baru saja menjelajahi waktu!

"Ah, kata menjelajahi tidak tepat, mungkin kau bisa bilang kita terlempar dari Space Time Frame asal kita," Katanya sambil melihat sekeliling.

... Jadi kita berada dimasa lalu atau masa depan?

"Kalau itu aku bisa menjawab, kita berada di masa lalu."

...Bagaimana kau bisa yakin?

"...hm... konsepnya cukup mudah, namun mungkin sulit diterima olehmu, Dirman..."

...Argh! Kenapa hanya kau saja yang memanggilku dengan nama itu! Kenapa kau tidak memanggil diriku seperti teman-teman lain!

"....kau tidak suka nama itu? Sudirman nama yang bagus, kok. Nama seorang Jendral besar! Harusnya kau bersyukur mempunyai nama yang sama dengannya!" Katanya terlihat sebal melihat reaksiku.

"Bukan masalah itu..., Kau tahu, nama itu sudah terdengar kuno di zaman sekarang..." Kataku mengelak.

"Huh,dasar tidak tahu perjuangan gagah berani Jendral Besar Sudirman! Kau sama saja dengan para Paskibra yang meninggalkan Sang saka Merah-Putih karena ketakutan oleh sedikit hujan, angin, dan petir! Ngomong-omong kau ingat namaku kan?" Katanya sambil menggelar Sang Merah Putih yang ternodai oleh lumpur ke angkasa.

Kalau ketua kelas tidak hapal anggotanya maka dia tidak pantas menjabat ketua kelas. Tentu saja aku tahu namamu, Fera kan? Dan aku tidak percaya kau bilang badai tadi "sedikit hujan, angin, dan petir". Apa kau gila! Aku kira tadi langit hampir runtuh.

"Heh, senang kau mengenali diriku yang tidak terlalu eksis ini. Ah, aku tidak suka analogi hiperbolamu,"Katanya sambil tersenyum.



"SIAPA DI SITU" Tiba-tiba suara serak mengagetkan kami berdua.

Segerombolan orang-orang yang terlihat seperti teroris menggunakan senjata jaman dulu menodongkan senjatanya ke arah kami. Namun aku yakin teroris tidak akan menggunakan ikat kepala merah putih di kepalanya.

Secara reflek tentu saja kami mengangkat tangan kami tanda bahwa kami menyerah namun tidak bersalah.






Kami dibawa menuju suatu tempat yang kami tidak tahu. Yah, dari awal aku sudah tidak tahu dimana aku ini.


Setelah kami sampai tempat tujuan, aku baru menyadari sesuatu... Ikat kepala Merah-Putih....



"Hei jangan bilang kita terlempar ke Zaman Perjuangan Kemerdekaan..." Kataku dengan nada tak percaya.

"Kau baru sadar sekarang? Aku sih sudah tahu dari tadi. Yah, aku sudah menduga kita akan terlempar ke Space-Time Frame ini. Kalau kita masukkan perhitungan..." Kata Fera dengan santainya.

Cukup! Percuma menjelaskan padaku. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau bicarakan dan aku benci membuktikan sesuatu dengan hitungan matematika. Kenapa tidak kau jelaskan dengan cara guru SD saja, aku akan lebih mengerti.

"Dasar, maka dari itu otakmu setingkat dengan kuda, Hh" Katanya memalingkan wajahnya.


"Apa yang harus kita lakukan sekarang??" Tanyaku penuh harap.

"Turuti saja kemauan para pejuang ini, dan jangan sampai mati di Time frame ini, repot sekali nanti buntutnya..." Katanya masih dengan nada santai.



Segera kemudian beberapa orang melapor kepada seseorang yang sepertinya adalah pemimpin mereka. Orang tersebut tinggi kekar dan berjenggot. Setelah membisikkan sesuatu beberapa detik, orang tersebut berdiri menuju ke arah kami. Melihatnya mengingatkanku kepada sebuah permainan game FPS, kenapa teroris dalam game selalu digambarkan sebagai lelaki kekar dan berjenggot?

"Aku Sujono, siapa dan kenapa kalian ada disini??" Laki-laki berjenggot itu mengenalkan dirinya.

Aku diam.

"Aku Fera, Dia SUDIRMAN, kami tidak bermaksud jahat, sebelum itu bisa kami berbicara bertiga saja? Karena ini informasi sangat penting," Kata Fera dengan lancarnya.

Setelah melihatku beberapa detik, Orang bernama Sujono ini melanjutkan pembicaraan.

"Informasi apa?"

"Informasi Penting,"

"Pak Jono, jangan tertipu dengan bocah-bocah ini. Sepertinya mereka adalah suruhan Kompeni Belanda." Kata seseorang yang ada disebelahnya.

Setelah sedikit menunduk berpikir Sujono ini menjawab dengan tegas.

"Kalau aku sampai bisa dibunuh kedua bocah ini, berarti aku tidak pantas jadi pemimpin kalian,"






"Jadi begitu, kami dari masa depan datang ke sini, untuk menyampaikan hal ini..." Kata Fera.

"Jadi begitu, serangan Belanda malam ini akan menghancurkan kami semua jika kami tidak bersiap,"

Pak Sujono menangguk-angguk mengerti.

Aku terbengong-bengong dengan kemampuan berbicara Fera, ilmu sejarahnya, dan kemampuan meyakinkan orang dengan mudahnya. Aku yakin jika dia jadi ketua sebuah sekte pasti dia akan banyak pengikutnya. Dipikir-pikir selama di kelas dia pendiam. Yah, Air tenang menghanyutkan...


"Aku tahu kalian membawa seseorang yang penting dalam kelompok kalian, kan??"

"Bagaimana kau bisa tahu?" Ekspresi tidak percaya tergambar jelas di wajah Pak Sujono.

"Jangan meremehkan Orang dari Masa Depan. Oh ya anda harusnya jangan bereaksi seperti itu, akan terlihat jelas bahwa anda benar-benar membawa orang penting. Siapa saja yang mengetahui ini?" Kata Fera dengan kasual.

"5 orang saja, selain kalian," Kata Pak Sujono.

"..." Fera terlihat berpikir.

"Ada pengkhianat???" Kataku sekenanya karena aku seperti tidak dianggap ada.


"Apa maksudmu Bocah! Kau meragukan para pemberani di sini yang rela mengorbankan nyawa mereka untuk Kemerdekaan RI!" Pak Sujono menggengam kerahku.

"Oh tentu saja bukan begitu, Dia tidak bermaksud begitu," Kata Fera mencegah Pak Sujono.

Pak Sujono lalu melepaskan genggamannya.

"HUH, Aku percaya dengan kalian karena kalian sudah memberikan macam-macam bukti kepadaku, tapi jangan pernah meragukan tekad kami! Tidak ada yang namanya pengkhianat disini!"

A-aku mengerti, maafkan aku!!

"...Kami mohon maaf." Kata Fera.




Kami berdua duduk-duduk di tenda para pejuang itu.

"Oi, apa tidak apa-apa kau memberi semua informasi ini?Apa tidak akan mengubah sejarah atau sesuatu?" Tanyaku khawatir.

"Tenang saja, yang kulakukan semuanya sudah diperhitungkan..." Kata Fera sambil memainkan rambut ekor-kudanya.

Kalau kau bicara seperti itupun aku tidak bisa tenang.

"Sudah kubilangkan, tugas kita di sini adalah bertahan hidup di sini dan menunggu temanku,"

...Baiklah. Oh ya, berarti orang dizaman ini akan tahu bahwa Time Travel bisa dilakukan, dong?

"Nantinya tidak akan ada," Kata Fera

Maksudmu?? Jangan terkesan ambigu seperti itu!

"Hah~ tentu saja kami punya Device penghilang ingatan, bodoh" Katanya terlihat meremehkanku.

T-Tunggu sebentar!!Apa kalian punya alat seperti di MIB? Apa artinya memoriku akan dihapuskan juga!

"Yah, seperti itulah..." Katanya sambil memasang senyum licik.

ARGH! Aku tidak mau! Aku sudah mengalami kejadian LUAR BIASA! Aku tidak mau melupakannya! Aku punya banyak pertanyaan yang belum terjawab!

"Kalau begitu apa yang ingin kau tanyakan? Aku akan jawab," Fera mengatakan ini dengan sikap santainya yang terus saja diperlihatkannya.

Kalau begitu aku mulai ya, Bagaimana pemecahan Grandfather Paradox? Apakah ini semua Predetermined Event? Katamu kita bisa melampaui kecepatan cahaya! Bukannya mustahil ada kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya! Apa kalian yang disebut dengan Chronology Protection Agency??

"Aku yakin tadi sepertinya kau seperti orang bodoh saat aku menjelaskan bagaimana kita menghindari petir tersebut... Baiklah akan kujawab semuanya..." Katanya dengan nada malas.

Ya jawab semuanya!




"Ra-ha-si-a"


...



"Apa?"

Kau bilang "Apa?" Aku sudah bertanya sampai berbusa! Kau menjawab dengan "Rahasia" dengan suara konyolmu itu!

"Siapa yang suaranya konyol!"


"Hei bocah! Kalau mau membicarakan sesuatu rahasia seperti ini kalian harusnya mengecilkan suara kalian..." tiba-tiba suara serak Pak Sujono terdengar dari luar tenda.

Sedetik kemudian Pak Sujono masuk ke dalam tenda kami.

"Kami berhasil memastikan akan ada serangan kejutan nanti malam, terimakasih kalian berdua" Pak Sujono dengan rendah hati menundukkan kepalanya.

"Ah, tidak. Bukan apa-apa" Kata Fera ikut merendah.

"Boleh aku bergabung dengan kalian?"

Te-tentu saja Pak.



"Apakah Indonesia di masa depan... Damai?" Kata Pak Sujono tiba-tiba.

Kami terdiam mendengar pertanyaan Pak Sujono. Aku memutuskan untuk diam saja dan membiarkan Fera mengendalikan semuanya.

"Ya, walaupun aku tidak bisa mengatakannya secara jelas karena informasi ini rahasia, aku hanya bisa bilang perjuangan Anda tidak akan sia-sia." Kata Fera sambil tersenyum.

"Syukurlah"

Di wajah setengah bayanya yang penuh gurat kelelahan terlukis sebuah senyuman puas yang sangat menyejukkan.

Itu adalah senyum kepuasan...

Aku tertunduk malu dengan senyum tersebut, kalau Pak Sujono tahu kenyataan bahwa meskipun Indonesia telah merdeka, terlalu banyak krisis yang dihadapi Indonesia dari Krisis Ekonomi sampai Krisis Moral. Kalau Pak Sujono kami bawa ke Time Frame kami, mungkin dia akan menangis pilu melihat generasi muda sekarang...

"Apakah para rakyat Indonesia akan mengenang kami sebagai pahlawan?" Tanyanya lagi.

...Aku semakin malu dengan diriku sendiri. Bahkan nama-nama pahlawan besar pun aku terkadang lupa.

"Ya, Kami sangat menghormati para pejuang seperti anda. Makam-makam pahlawan ramai dikunjungi untuk mengenang keberanian para pahlawan bangsa seperti anda," Kata Fera.

"Apakah kami termasuk pahlawan yang akan dikenang?"

Aku terlalu malu untuk mengangkat kepalaku. Nama pejuang seperti Pak Sujono tentu saja tidak ditemukan di buku sejarah mana pun.

"Ya, anda dan teman-teman anda tercatat sebagai pejuang yang gagah berani,"

"Ini pertanyaan terakhirku... Apakah... SEMUA Rakyat Indonesia mencintai Indonesia yang telah susah payah kami perjuangkan???"

Fera membutuhkan beberapa detik untuk menjawab pertanyaan ini.

"YA! Kami semua mencintai, menghormati dan menjunjung tinggi kehormatan bangsa Indonesia..."

"Cukup. Itu saja yang ingin aku tahu. Oh ya,..."




"Sudirman nama yang luar biasa. Aku rasa jika aku punya anak akan kuberi nama Sudirman." Kata Pak Sujono.


Tanpa sadar air mata menetes di pipiku. Ini terlalu menyedihkan. Aku bahkan tidak sanggup menerima fakta bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah lupa terhadap pahlawan-pahlawan gagah berani yang tidak tercatat dalam sejarah seperti Pak Sujono.

Semakin aku pikiran keadaan Indonesia sekarang, semakin sakit dadaku. Selama ini meremehkan namaku, padahal seorang Pahlawan besar memiliki nama yang sama denganku.

"Orang bijak pernah bilang "Jujurlah meskipun kebenaran itu pahit". Namun saat kebenaran terlalu pahit, bukankah lebih baik kita berbohong... Ini sangat menyakitkan. Sangat menyedihkan... karena harus berbohong seperti ini..." Suara lembut Fera perlahan-lahan menjadi parau.

Segera setelah itu aku melihat Fera telah menggenggam lututnya dan meringkuk.

"*Hiks* Mereka.. tidak tahu betapa sulitnya... mengibarkan ...Merah Putih *Hiks*, seenaknya saja mereka memperlakukan Merah Putih seperti ini. Pak Sujono pasti menangis pilu jika mengetahui ini..." Katanya sambil mengeluarkan Merah Putih yang kotor oleh lumpur dari dalam bajunya.

Setelah itu kami menangis. Menangisi Pak Sujono, Menangisi Para Pahlawan, Menangisi... Indonesia.







"MERDEKA ATAU MATII!!!! JANGAN BIARKAN PENJAJAH MENGINJAK TANAH AIR INDONESIA DENGAN SOMBONGNYA!"

"SERBU!!"

"TEMBAK!!"

"MERDEKAAAAA!!!"

Suara-suara penuh semangat menggelegar di gelapnya malam.



"PAK SUJONO! ANDA BAIK-BAIK SAJA?!!!" Kataku setelah melihat seseorang yang dibawa ke tenda perawatan.

Pria setengah baya berjenggot itu terlentang sambil memegangi perutnya yang tertembak.

"A-Aku ten-tu saja tidak ba-baik-baik saja bocah!" Katanya sambil tersenyum.

Beberapa orang membantu merawat luka Pak Jono.



"He-hei, Nona kecil, Bagai-mana ha-sil pertempuran ini..."

Fera terdiam sejenak.

"Ma-Maaf aku tidak bisa mengatakannya...,"

"Semuanya! Keluar! Biarkan Aku dan Bocah-bocah ini berbicara! Jangan pedulikan lukaku!"




"Aku tahu sekarang sudah tiba waktuku untuk meninggalkan perjuangan ini...Sekarang... Maukah kau menceritakan hasil pertempuran ini?" Kata Pak Sujono memohon


"Kita... akan kalah"

Aku sempat tidak menyangka kata-kata tersebut keluar dari bibir Fera.

"Ka-Kau bohong, kan?!" Kataku tidak percaya.

Fera terdiam.

"Be-begitukah? *Uhuk* sayang sekali," Kata Pak Sujono tersenyum meski dia tahu bukan waktunya untuk tersenyum.

"Ta-tapi sudah kubilang, kan? Bahwa semua perjuangan Anda tidak akan sia-sia..." Kata Fera.

"Aku rasa... aku sudah , mencapai batas-ku. Maukah kalian melakukan sesuatu untukku??" Kata Pak Sujono.

Jangan bilang begitu! Pak! Aku akan segera memanggil medis!


"Tidak perlu. Seperti yang dikatakan Pak Sujono... Dia sudah mencapai batasnya..." Kata Fera menunduk sedih.

LALU?? KITA MENYERAH KEPADA TAKDIR! BEGITU!!

Fera mengangkat wajahnya...

"Tahu apa kau tentang takdir?! Semua ini memang harus terjadi! Kita manusia biasa! Mana bisa mengubah sejarah!"

AKU TIDAK PEDULI!!! KAU CUMA ALASAN SAJA! KAN??? PASTI KITA BISA MENANG!

"Kumohon... jangan bertengkar..."

Suara Pak Sujono terdengar sangat lemah. Aku tentu saja merasa bersalah karena berteriak-teriak.

"Aku hanya ingin mendengar sebuah lagu... yang bisa membangkitkan semangat juangku...Maukah kalian menyanyikannya??"

Secara reflek tentu saja kami memilih Indonesia Raya.

"I-I-INDONESIA!! TANAH AIRKU~"




Baru kali ini aku menyanyikan lagu Indonesia Raya sampai menangis tersedu-sedu seperti ini. Setiap baris syair membuat dadaku semakin sesak.


"HIDUPLAAAAAH INDONESIA RAYAA~" Akhirnya kami menyelesaikan Lagu Kebangsaan kami.

Fera menutup wajahnya sambil menangis tersedu-sedu.

"Lagu yang sangat indah... Lagu yang sangat indah..." adalah kata-kata terakhir Pak Sujono.





"Kemana kau! Sebentar lagi pasukan penyelamat akan datang!" Seru Fera.

Aku akan bertempur! Angkat senjata!

"Kau ini bodoh! Kau mau mati konyol? Mengertilah! Kumohon, Man!"

Menghentikanku tidak ada gunanya. Aku sudah bertekad. Kalau harus mati, aku akan mati sebagai pejuang. Aku menarik nafas lalu mulai untuk berlari menuju medan pertempuran. Namun tiba-tiba...

Gubrak!

AW! Punggungku sakit sekali. Aku baru sadar sedetik kemudian bahwa aku terbanting oleh seorang wanita cantik, mungkin berumur sekitar 23.

"Ka-Kak Aisa! Jadi kakak tim penyelamatnya?" Fera sepertinya kaget dengan kemunculan seniornya itu.

"Yo! Sepertinya kalian ada sedikit masalah?" Kata Kak Aisa

Lepaskan AKU!!!

"Dirman memaksa ikut perang..."Kata Fera.

"Huh, dasar bocah! Kau pikir setelah sampai medan perang kau akan berani mati? Paling-paling kau cuma akan membasahi celanamu saja, Lebih baik cepat pulang ke Time Frame-mu"

Ugh! Kalau begitu lakukan sesuatu seperti bawa AK-47, M4, M16 dalam jumlah besar! Supaya para pejuang ini tidak kalah!

"Huh, dasar anak muda. Pikirannya pendek. Begini. Bukan kau saja yang merasakan perasaan ini. Banyak orang-orang seperti kami juga merasakan hal ini. Tapi apa daya? Kami juga manusia biasa, untuk mengubah sejarah butuh energi..."

Selama mendengar ceramah dari Kak Aisa ini, semangat juangku lama-lama meredup...

"Kalau ingin melakukan sesuatu untuk Indonesia, lakukan di Time Frame-mu sendiri. Banyak yang bisa kau lakukan," pungkas Kak Aisa

"Mari pulang?" Kata Fera membujukku.

...


Kalian akan menghapus ingatanku sekarang, kan?

"Ya" Kata Kak Aisa tegas

Aku mohon satu hal, jangan hilangkan memori tentang Pak Sujono.



"Maaf kami tidak bisa melakukannya..." Kata Fera dengan nada menyesal




Sedetik kemudian cahaya terang membutakan mataku....






GELEGAAAR!!!!!



Hujan deras membuat seluruh tubuhku sakit.

Hm? Apa ini?

Aku... baru saja menangis???

Apa yang kutangisi???

Aku melihat Fera memeluk Sang Saka Merah Putih dengan erat.

"Mari kita berteduh?" Ajak Fera.


Entah kenapa aku merasa dekat dengannya. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi selama beberapa detik terakhir. Tapi, semakin aku memikirkannya semakin aku tidak mengerti apa yang terjadi.


Aku merasa Merah Putih yang digenggam Fera adalah sesuatu yang sangat berharga yang harus dilindudungi. Aku juga merasa bahwa nama Sudirman adalah nama yang luar biasa.

Dengan perasaan yang membara aku berlari menuju tempat berteduh dan bertekad...



"Aku akan melindungi Merah-Putih!"

9 komentar:

Zetsudou Sougi mengatakan...

nunggu apalagi?
sana di pos in!!
ada sedikit salah2 kata sih

Franz Budi mengatakan...

OK salah ketik dah dibenerin

lho anda nggak sadar kalau short novel ini berkisar 4000 kata?

benar-benar berat.

harus ngurangin konflik dan basa-basi biar pas paling nggak 1500 kata

Anonim mengatakan...

whoaa this is great, bro
anda emang jago meracik cerita ala light novel dengan paduan cita rasa lokal, ini bagus, kalo novel anda keluar (amin XD) bisa jadi story omake

ada sedikit adegan yang off memang, tapi bukan masalah besar, now back to your main project X3

Franz Budi mengatakan...

sankyuu...amin2

back to rountine

Anonim mengatakan...

kalo misalkan lebih2 dikit asal rame boleh lah..... hehehe

Anonim mengatakan...

FALLENDEVIL:

ui!
ada anonim...

salam kenal anonim.

greeneyes mengatakan...

walau kelebihan lebih baik kirimkan!!
yg penting karya anda dibaca

Fallendevil mengatakan...

hm... benar juga anda...

ralat : short novel 9000an kata

cerpen sudah dikirim dengan format 1900an kata...

tinggal tunggu yang terjadi XDD

Zetsudou Sougi mengatakan...

mungkin saja kena infract atau bata
tapi kalau bata mulihinnya gampang