Kalau kita bicara tentang otak, kita bicara tentang sesuatu yang sangat kompleks. Celebral Cortex dari otak manusia berisi sekitar 15-33 miliar neuron, dan setiap neuron tersambung dengan lebih dari 10.000 jaringan synaptic. Setiap milimeter kubik celebral cortex berisi sekitar 10 miliar synapses. Setiap Neuron berkomunikasi satu sama lain dengan 'kabel' protoplasmik bernama axons, yang membawa sekumpulan 'data' untuk diantar ke sel yang dituju.

Cara kerja yang sangat misterius tapi sangat indah.


Dengan memahami apa yang disampaikan oleh lingkungan sekitar yang berupa data-data informasi, berarti seseorang bisa menceritakan, mengingat, dan membayangkan data informasi tersebut. Semua data tersebut tersimpan dengan aman di Otak.

Berarti, bukan kah seluruh duniamu hanya berputar disekitar sel-sel otakmu? Dunia yang kau lihat, dunia yang kau cium, dunia yang kau rasa, dunia raba, dunia yang kau dengar...


Semua hanya hasil proses sebuah organ bernama otak.

Bukahkah berarti dunia itu sendiri adalah 'ciptaan' dari otakmu?



Yah, itu hanya sebuah teori ekstrim. Jangan pernah menganggapnya serius.

Itu yang aku pikir. Tapi, entah kenapa di saat seperti ini tiba-tiba pemikiran seperti itu muncul tiba-tiba,




"KAK AL!! BERTAHAN!!"


Eh? Kenapa gadis ini? Dia terlihat pucat sekali?



Gadis itu memiliki rambut ekor kuda. Wajahnya manis, sehingga aku mengira bahwa dia malaikat maut yang akan menjeputku.


Gadis itu menekan dadaku seperti seorang kontestan kuis memejet bel-nya, lalu menekannya dengan berkali-kali.


Ah. Tapi kenapa tubuhku tidak merasakan apa pun?


Siapa nama gadis ini... Kenapa aku bisa lupa? Er... Aku yakin namanya...


Aisa.


Sesaat aku ragu dengan otakku. Tapi jika aku tidak mempercayai data yang ada di otakku, siapa lagi yang harus ku percaya?


Setelah aku berpikir seperti itu, aku baru sadar tubuhku tidak bisa bergerak semilimeter pun.


Awalnya aku kira ini hanya sebuah shock biasa, dan mengira ini hanya karena sinyal perintah dari otakku belum mencapai syaraf ototku.


Tapi secara literal, aku benar-benar tidak bisa bergerak.

Aku bahkan tidak tahu apakah aku bernafas atau tidak.



Apa aku sudah mati?



"SIAL! SIAL!"


Aisa sepertinya berusaha melakukan sesuatu. Namun dari reaksinya, sepertinya usahanya masih belum membuahkan hasil.

Wajahnya semakin pucat. Keringatnya membasahi tubuhnya.

Matanya memandangku selama sekitar 0.5 detik. Lalu,


Entah apa yang terjadi, bibir kami bersentuhan...


...Ah, aku tahu.


CPR.


Pernafasan buatan.


Pernafasan...

Sial... Kenapa bisa-bisanya aku mati rasa di saat-saat seperti ini...

Maaf, pada akhirnya aku tidak bisa memberikan deskripsi bagaimana rasanya menerima CPR dari seorang gadis...












Pertama aku melihat diriku sendiri.

Bajuku bersih. Padahal tadi bajuku penuh noda darah Nana... Kapan aku ganti baju?

Lalu, aku mulai memindai keadaan lingkungan sekitar dengan mataku.



Ini adalah tempat di mana Eve dan Nana berbaring. Koordinat kembar yang membuat kami bertiga berpisah.




Gedung di belakang AGS.

Kalau tadi kami menyelamatkan Tifa di belakang Perpustakaan Sekolah, sekarang kami berada di gedung AGS.



Setelah aku mengerti pasti di mana ini, aku mengalihkan pandanganku ke Aisa.

Wajahnya memerah seperti tomat matang yang masih segar di rantingnya. Tangannya mengusap-usap bibirnya perlahan. Matanya berusaha menghindariku.


Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan.


Meski dari sudut pandang orang lain mungkin aku beruntung mendapat ciuman dengan kedok CPR, tapi dari sudut pandangku aku benar-benar tersiksa. Aku hampir mati. Kalau saja Aisa tidak memberikan pernafasan buatan, mungkin aku sudah mati.

Dalam kasusku, karena orang yang terdekat saat itu adalah Aisa, dia memiliki beban moral untuk menyelamatkanku. Tentu saja ini semua bukan mauku dan Aisa. Ini semua keadaan darurat.


"..Te-terimakasih..."

Aku kira itu kata-kata yang paling tepat diucapkan sekarang.


Wajahnya kaget mendengar kalimat yang keluar dari mulutku. Memandang ekspresiku yang seperti orang yang baru saja melakukan sebuah dosa, dia berkata dengan terbata-bata.


"Ya-yang tadi itu tidak di hitung, lho!"

Dihitung apa?

Aisa sepertinya cukup sebal dan mengandai-andai apa aku berpura-pura tidak paham,


"EHM! Suspended-Animation-Syndrome--Sindrom Animasi Terhenti sering terjadi pada Penjelajah Waktu pemula. Apalagi Kak Al belum 'meng-upgrade' tubuh agar sesuai dengan kondisi penjelajahan waktu yang ekstrim.

Tapi aku tidak mengira kalau Kak Al juga bisa kena Suspended-Animation-Syndrom"


Apa maksudmu? Aku manusia biasa dan baru sekali menjelajah waktu.

Itu... Suspended-Animation-Syndrom... Pernah dikatakan Eve saat kita bertemu Isaac (Tua) kan?

"Ya. Kalau Kak Al sampai melepaskan tangan Eve saat itu, bahkan bukan hanya Suspended-Animation-Syndrome yang akan terjadi... tapi... Kematian. Seketika."


Wow... Itu... mengerikan.


"Semua itu dipengaruhi seberapa kuat tubuh seseorang bekerja dalam situasi ekstrim seperti Ruang Waktu Tertutup."


Apa berarti tubuhku terlalu lemah?


"Hihi," dia tersenyum dengan ringannya.

Lalu berkata

"Jangan samakan tubuh Kak Al dengan tubuh tubuh kami yang sudah melalui berbagai proses . Kami ini dalam keadaan Post-Human. Artinya evolusi dari manusia sendiri..."


Oh... Jadi itu mengapa mereka memiliki Divisi Transhumanisme.


Pada dasarnya Transhumanisme adalah sekumpulan ide penggunaan sains dan teknologi untuk meningkatkan kemampuan mental dan karakteristik fisik serta kapasitasnya. Menghilangkan 'ketidakmampuan', 'cacat', 'kekurangan', 'penuaan', pada seorang manusia.


Kalau benar penjelajahan waktu seganas yang dikatakan Aisa, tepat sekali Organisasi mengambil langkah untuk meng 'upgrade' kemampuan tubuh manusia sendiri.


Tapi tentu saja di sudut hatiku aku tidak suka dengan ide ini. Transhumanisme selalu dalam pro kontra. Menjadikan seorang manusia sempurna, bukanlah hal yang dipandang etis bagi sebagian orang.

Sering sekali Transhumanisme disama artikan dengan 'Play God' atau bermain-main menjadi tuhan.


Saat aku tenggelam dalam pikiranku, Aku sadar ada pertanyaan yang terlintas di kepalaku,


"Ba-bagaimana dengan Isaac (Tua)? Apa tubuh tuanya itu bisa bertahan saat penjelajahan waktu,"

"Oh, Kalau Tuan Isaac, dia memakai obat-obatan saat menjelajah waktu.

Setidaknya, setiap para penjelajah waktu Organisasi akan diberi perawatan khusus di Divisi Transhumanisme minimal agar memiliki tubuh yang cocok untuk menjelajah waktu.

Pengecualian untuk Isaac dan Pemimpin Besar.

Pemimpin Besar, bagi kami, dia cukup misterius. Tubuhnya seperti manusia biasa, namun daya tahannya sangat kuat. Dia juga awet muda. Padahal dia sama sekali tidak menjalani fase Human Enhancement. Aku berpikir, bagaimana bisa?

Kalau Tuan Isaac, dia lebih memilih untuk meminum obat beracun daripada tubuhnya diotak-atik. Dia sangat benci pada kami para Eraser..."


Aisa mengatakannya sambil tersenyum kecut.



Lagi-lagi aku di masa depan, membuat sensasi. Aku juga bingung bereaksi pada suatu kejadian yang belum aku alami. Dan sepertinya Isaac (Tua) benar-benar keras kepala.


Lalu, Eraser...

"Eraser... Adalah sebutan untuk anggota Organisasi yang memiliki kemampuan lebih dalam segala bidang yang berbahaya. Em, kalau di ibaratkan, kami semacam Pasukan Khusus."


Oh begitu. Seperti setiap negara yang memiliki Tentara. Meski tidak berperang memiliki Angkatan Senjata adalah wajib. Sama halnya dengan Organisasi, apalagi mereka bergelut dengan dunia balik layar yang penuh intrik.




Aku memandang jam tangan hitam yang melingkar di pergelanganku.


...Aneh...

"Sekarang jam 6?"

"Hm?"

Aisa memandangku sesaat. Lalu seakan mengerti dengan apa yang aku bingungkan, dia menjawab,

"Ah, aku rasa Kak Al harus mengeset ulang jam itu. Sekarang jam 14.30 pada hari yang sama saat kita berangkat."


Aku mengerti. Ini yang disebut waktu relatif. Meski kami berada di pukul 14.30 tapi jam tanganku masih terus berdetik sama seperti sebelum menjelajah waktu.







"Ayo kita pergi dari sini, banyak yang harus kita lakukan,"

Aisa bangkit dari duduknya sambil membersihkan debu di roknya.

Saat aku berusaha bangkit. Rasanya gravitasi bumi lebih kuat dari biasanya. Bahkan aku tidak sanggup berdiri dengan kekuatanku sendiri.


"Ugh, kenapa badanku berat sekali," gumamku.

"Ah. Biar aku bantu."


Aisa membantu menopang tubuhku yang aku rasa berkali-kali lipat beratnya. Atau aku yang lemas?


"Sudah kubilang. Tubuh kakak masuk kategori minimal untuk menjelajah waktu. Tidak masalah... aku di sini menopang Kak Al," Aisa mengatakannya dengan santai sambil menstabilkan tubuhku.


"Terimakasih. Tapi apa aku harus berjalan seperti ini terus?" Tanyaku

"Sayangnya iya," Kata Aisa sambil mengeluarkan ekspresi minta maaf.


"O-ok. Tapi kau tahu, bergantung pada wanita untuk berdiri sedikit..."

Memalukan. Tapi aku tidak menyelesaikan kalimat tadi.


"Tidak apa-apa..."


Aku maklum kalau dia mengatakannya sambil tertawa. Tapi ekspresinya benar-benar menggambarkan penyesalan mendalam seakan jika dunia ini hancur maka dia yang bersalah.



Setelah itu, untuk beberapa menit kami berdua terdiam.









Rasanya tubuhku masih belum bisa bergerak dengan normal. Jangankan berjalan biasa, untuk bernafas saja sulitnya bukan main. Ini pertama kalinya aku merasa selemah ini.


Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran negatifku karena aroma menyegarkan dari rambut Aisa membuatku mabuk. Shampoo? Atau Aroma perawatan rambut?


"...Kak, Al!"

"E-eh. Iya?" Jawabku terkaget.

"Dengar tidak sih?"

"So-sori. Kepalaku sedikit pusing,"

"Pusing? Apa perlu kita duduk dulu?"

"TI-tidak. Setelah dikejutkan olehmu aku sudah sedikit sadar,"

Aisa tampak bingung, mengandai-andai apa hubungannya pusing dan sadar jika dikejutkan.

"Aku tadi bilang, sudah jam 14.45"

"Oh 15 menit lagi,"



Aku dan Aisa saat ini berada di loteng AGS. Tempat ini cukup lebar. Gedung AGS dan ABS tidak seperti bangunan sekolah lainnya yang mayoritas menggunakan genteng miring biasa, tapi berbentuk seperti balok. Sehingga atapnya datar dengan teralis di tepinya sebagai pengaman.


Kami berdua menyembunyikan keberadaan dibalik tumpukan balok,




"Datang..." Aisa membisikkan kata tersebut setelah sebuah suara pintu loteng terbuka.




Suara langkahnya semakin dekat. Aku menahan nafasku berharap suara nafas dan detak jantungku tidak terdengar olehnya. Aisa menundukkan kepalanya.


Suara langkah itu berhenti.


Namun kemudian suara langkah kaki itu kembali terdengar.


Suara tersebut semakin keras. Hukum Doppler membuatku sadar kalau orang itu semakin dekat.


Aku dan Aisa menunduk dan merapatkan tubuh kami. Aku tidak punya waktu untuk menikmati sensasi Aisa yang memelukku dengan sangat kuat. Karena suara tersebut berhenti tepat di belakang kami. Sial! Apa kami ketahuan?!


"Aisa"

Suara itu bukan suaraku. Juga bukan suara Aisa.

Rasanya otakku menjadi tumpul di saat seperti ini, sehingga butuh lebih dari 2 detik untuk mengenali suara ini.



"E-Eve?"


Itu suara kami berdua yang hampir bersamaan.

"Ya,"

Segera setelah kami benar-benar yakin bahwa itu adalah suara Eve. Aku berusaha bangkit dengan kekuatanku sendiri, walau ditengah-tengah Aisa membantuku berdiri. Sial, rasanya aku seperti prajurit perang yang terluka parah di tengah-tengah medan perang.




"A-apa tidak apa-apa kita bertemu dengan Eve yang ini?" Tanyaku pada Aisa.


"Sepertinya begitu," Kata Aisa ragu-ragu.


"Sedang apa kalian di sini? Bagaimana keadaan di sana?"Tanya Eve dengan ekspresi datarnya.


"Ah, anu, Kami datang dari 30 menit yang akan datang,"

Aisa merogoh kantong sakunya,

"I-ini, Ada sesuatu yang kau (masa depan) suruh berikan pada kau (sekarang)?"


Sebuah benda persegi kecil berbentuk chip kecil seperti di film-film sci-fi berada di genggaman Aisa.


Mata Eve sedikit terbuka lebar melihat benda tersebut. Matanya kemudian memandang Aisa beberapa saat sebelum tangannya yang putih pucat itu mengambil chip itu.


Lalu menelannya...


"A-..."

Aku tidak bisa bicara apa-apa.


Eve memejamkan matanya sekejap. Lalu saat dia membuka matanya dia berkata,


"Cukup buruk juga keadaanku. Tapi tenang saja, Karin bisa mengatasinya,"



"Ba-bagaimana bisa?" tanyaku bingung dengan keadaan yang baru saja terjadi.


Aisa menunduk seakan tidak ingin menjelaskannya padaku. Matanya berpaling menghindari pandangan mataku yang haus dengan rasa ingin tahu,

Saat aku akan menyerah, Eve dengan suara dinginnya menjawab.


"Memory Chip. Dengan benda ini, saya bisa mendapatkan semua informasi yang direkam dalam otak saya. Dalam kasus ini, Saya mendapatkan memori saya di 30 menit mendatang,"


H-ha? Wow... Benar-benar praktis... Apa manusia di masa depan bisa melakukan ini?




"Apa saya pernah berkata kalau saya manusia?"





Eve berkata dengan nada dingin seperti biasanya, Wajahnya datar tanpa ekspresi. Aku sama sekali tidak bisa membaca apa dia marah atau tidak,

Aku mengalihkan perhatian ke Aisa. Dia masih menghindari pandangan mataku.


Apa maksud kalian?!!



Suara bergesernya pintu loteng yang tiba-tiba terdengar membuyarkan pembicaraan kami. Dengan segera kami bertiga mengambil langkah untuk bersembunyi.


Kali ini aku memastikan bisa melihat siapa yang membuka pintu dengan sedikit mengintip.


Nana berjalan perlahan lalu berhenti seperti seorang penyanyi yang berhenti di spotlight-nya.



15.03...


Aneh sekali...


Bukankah seharusnya insiden akan terjadi jam 15.03?!

"Apa maksudnya ini?" Kata Aisa bingung.


"Aku juga bingung. Ini berarti, koordinat kalian yang dianggap insiden," Jawab Eve segera.


Nana jatuh dari atap AGS tidak dianggap insiden?! Yang benar saja!!


Saat aku mengekspresikan kebingunganku, sesuatu yang tidak di sangka-sangka terjadi...


Seseorang yang seharusnya merupakan ilusi, seseorang yang seharusnya mati, berdiri tegak di belakang Nana.


Aku dan Aisa terkejut bukan main melihat orang tersebut seperti orang yang baru saja bertemu dengan Nyi Roro Kidul. Tapi Eve terlihat biasa saja. Oh benar juga. Dia sudah tahu hal yang akan terjadi 30 kedepan.


"Bagaimana dia bisa berdiri di situ? Seharusnya dia sudah masuk daftar penjelajah waktu yang mati" Tanya Aisa

"Coba kalau kau ingat lagi. Dia tidak di klasifikasikan mati. Tapi menghilang. Meski bukti-bukti tidak langsung mengatakan dia di bunuh, tapi mayatnya masih belum di temukan. Sekarang semuanya jelas,"


"Ta-tapi... Untuk apa dia berpura-pura mati?!" Aisa masih bisa menahan suaranya meski dia terlihat sangat terkejut.


"Kau akan segera tahu," Jawab Eve singkat.


Orang tersebut memaksaku menggali memori tidak menyenangkan yang terjadi padaku.





Orang itu adalah mayat yang aku lihat di rak 17-A.

Pria itu cukup tinggi, menggunakan pakaian putih seperti sedang di lab. Brewoknya yang lebat membuatnya terlihat sangat mencolok.

Dia pasti orang yang membuat Nana jatuh, tidak salah lagi.

Saat aku berusaha keluar, menuruti reflek otakku yang menyuruhku menghajar pria itu sekarang dan sekuat yang aku bisa, Aisa dan Eve menggenggam pundakku.

"Tunggu dan lihat terlebih dulu,"






"Ada urusan apa anda dengan saya?"


"Saya percaya ini pertama kalinya kita bertemu, secara kronologis,"

"...Lalu?"


"Saya Prof. Lampard. Tidak perlu anda memperkenalkan diri. Saya sudah tahu."


"Langsung ke inti permasalahannya saja,"


Nana terlihat sangat tenang, padahal dia sedang berhadapan dengan orang asing aneh yang sama sekali tidak dia kenal.


"Anda pasti tahu Grandfather Paradox."

"Apa itu pertanyaan?"


"Saya yakin anda tahu,"


"Paradox yang mengajukan, apa yang terjadi jika sesorang penjelajah waktu membunuh kakeknya sendiri."


"Lalu bagaimana menurut anda jawabannya?"


Nana sedikit bingung dengan situasinya. Namun dia masih menjawab.


"Menurut..."

"Tidak perlu mengutip kalimat orang lain. Menurut anda, Nona Sabrina,"


"Kalau begitu, grandfather paradox tidak mungkin."

"Karena?"

"Karena Time Travel tidak bisa dilakukan, maka tidak ada yang namanya Grandfather paradox,"


Sang Professor terlihat sedikit sebal,


"Ah! Basa-basinya sudah. Saya langsung ke masalah utama...

Nona Sabrina,




Saya datang untuk membunuh anda,"

2 komentar:

Zetsudou Sougi mengatakan...

Al x Aisa = awwwwwww
tapi jangan terlena!!!!
bukankah kata anda heroinenya adalah.....

Anonim mengatakan...

FD : Jangan khawatir~ Namanya juga harem terselubung :lalala: