Saat itu adalah musim hujan 3 tahun yang lalu.


Aku masih ingat senyuman, tawa, raut muka bahagia dari adik laki-lakiku. Aku juga masih ingat suara tawa orang tuaku yang menggoda adik laki-lakiku karena dimalam ulang tahunnya yang ke 12, dia minta tidur ditemani olehku karena dia baru saja menonton film horror.

"Hahahaha Kalau takut bilang saja!" Kataku padanya.

"A-Aku tidak takut!!" Dengan sekuat tenaga dia menyangkal kalau semalam dia menyembunyikan kepalanya di punggungku.

"hee~~ Berlagak sok berani kau..." Kataku sambil mencubit pipinya.


Hari itu, meski sepertinya langit sepertinya tidak setuju dengan kepergian kami, kami tetap bertekad bulat untuk merayakan hari lahirnya adikku ke dunia ini. Ayah dan Ibu rela mengambil cuti hari itu, aku bahkan meninggalkan pekerjaan rumahku. Waktu yang kau habiskan dengan keluargamu tidaklah ternilai dengan isi dunia ini.


Aku masih ingat, mobil kami melaju perlahan-lahan. 50 km/jam, aku yakin. Ayah sangat berhati-hati. Dia tidak ingin terjadi hal buruk di hari semakin dewasanya adikku. Aku, Ayah, dan Ibu mengantar adikku ke restoran tradisional favoritnya, mengantarkannya ke pertandingan sepak bola tim lokal favoritnya dan membelikannya sepatu sepak bola baru. Atau setidaknya rencana awalnya begitu.


Dengan kecepatan seperti itu, kami masih bisa berbincang-bincang dan bercanda ria. Aku merasa hari itu adalah hari paling bahagia sepanjang hidupku.





Itu yang kupikirkan sampai kami berada di sebuah perempatan besar. Sebuah truk melaju kencang dari kanan. Aku yang melihat pertama kali. Kupikir truk itu akan menerobos lampu merah. Tapi ayah sepertinya sudah menyadari itu dan dia memperlambat mobilnya.


Saat aku sudah merasa aman, ternyata sebuah sepeda motor melaju dari arah berlawanan dari mobil kami. Karena lampu masih hijau di sisi kami dan sisi lawan kami, selain itu sepertinya jalur tempat truk berada merupakan sudut mati dari si pengendara motor.


Saat mereka bertemu tepat di tengah, sesuatu yang tidak pernah melintas di benakku terjadi. Entah apa yang merasuki sang supir,


...dia membanting setir ke kiri.


Truk besar itu meluncur tepat ke arah mobil kami.




Sebuah pemandangan yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup.




***


Aku mendapatkan perawatan untuk lengan kiriku yang patah. Saat dokter memberi tahu bahwa ayah dan ibu meninggal seketika di tempat kejadian, rasanya pijakanku di bumi ini sudah tidak ada lagi. Dadaku sesak, nafasku berhenti seakan aku sudah lupa bagaimana cara bernafas. Aku menangis, aku menangis sampai aku tidak bisa mengeluarkan air mata lagi. Aku menangis sampai paru-paruku terasa sakit setiap aku terisak.


Seorang suster mendekatiku saat aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menangis.

"Kau masih punya seorang adik lelaki yang membutuhkan dirimu,"

Sang suster membelai punggungku.



Dia benar.


Aku masih punya Reiza...


Aku segera minta untuk dipertemukan dengan adikku.


Namun anehnya, mereka menyuruhku istirahat terlebih dahulu. Aku terus memaksa mereka. Namun mereka memintaku bersabar karena adikku sedang mendapat perawatan.


Kepalaku dipenuhi pikiran buruk dengan keadaan adikku, tapi aku harus percaya kalau adikku baik-baik saja. Kalau aku selemah ini, siapa yang akan menjadi tumpuan hidupnya.












"Ka-kakak,"


"Re-reiza,"

Aku mendekati adikku. Syukurlah dia baik-baik saja. Meski perban di kepalanya tidak bisa dibilang baik-baik saja.

Aku mendekatinya dengan senyuman dan keteguhan hati untuk tidak memperlihatkan kelemahanku. Dia terlihat benar-benar pucat. Dari wajahnya aku bisa tahu kalau dia baru saja menangis semalaman.

Saat seperti ini aku harus menjadi pengayom adikku.


"Ka-kakak,"


Dia memanggilku dengan suaranya yang sedikit serak.


"A-ada apa, Reiza? Ha-haus?"






"A-aku tidak bisa merasakan kakiku..."




***












"KENAPA KAU MENGAMPUTASINYA!!!"

"No-nona, tenang!"

Dokter dihadapanku hanya melihatku dengan pandangan iba. Suster yang kemarin menenangkanku berusaha mengunci gerakanku, apa pun yang akan kulakukan kepada si dokter.

"Nak, dengar..." Sang dokter berusaha setenang mungkin dalam menghadapi situasi ini.

"TIDAK! KENAPA KAU MELAKUKAN ITU TANPA SEIZINKU!!," Aku berusaha memberontak, tapi tenagaku tidak bisa berkumpul. Aku hanya bisa menfokuskannya kepada suaraku.


"Kalau kami tidak melakukannya, nyawa adikmu dalam bahaya..."

"DIAM! DIAM! DIAM! KARENA KALIAN BODOH!! KARENA KALIAN BODOH, KALIAN TIDAK BISA MENGAMBIL ALTERNATIF LAIN DAN MENGAMBIL KAKINYA!!"


Sang Suster sudah berhasil mengunci gerakanku dengan sempurna. Meski aku menghentak dengan sekuat tenaga, dengan tanganku yang masih di gips, rasanya tidak akan bisa,


"...Kalian tidak tahu bagaimana dia membanggakan gol yang dia diciptakan, kalian tidak tahu bagaimana dia membanggakan diri saat berhasil masuk tim junior tingkat nasional, kalian tidak tahu bagaimana wajahnya matanya bersinar dengan mimpi-mimpinya menjadi pemain pro,, ...tapi... KALIAN MENGAMBILNYA!! KALIAN MENGAMBIL SEMUANYA!!! KALIAN TOLOL!! SEMUANYA!!"


Dadaku semakin sakit.


Sang dokter dengan perlahan berkata,


"Maaf, kami tidak punya jalan lain,"




***




"Aaa...."


"Tidak usah, aku sudah kenyang,"


Reiza memaksakan senyum saat menolak suapan dariku. Yah, Ini lebih baik daripada dia memaksakan memakan makanan yang tidak ingin dimakannya. Aku akan merasa sangat bersalah.

Sudah beberapa bulan sejak kejadian itu. Sekarang kami berdua berada dalam naungan dari salah satu bibi kami. Reiza masih dalam masa penyembuhan, sedangkan aku sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Walau begitu aku lebih memilih membolos dan tinggal di rumah.

Pagi ini, aku sedang tidak dalam mood untuk sekolah. Jadi aku tinggal di rumah dan menemani Reiza. Tanpa sadar aku sudah berada dikamarnya selama lebih dari 6 jam tanpa melakukan apa pun yang berarti.

Setelah dia mengisi perutnya, dia lalu mengambil kertas berukuran A4 dan mulai menggambar diatas kertas yang masih putih bersih.


Tentu saja karena aku yang menyuruhnya. Dia tidak pernah suka menggambar. Aku menyuruhnya menggambar untuk membuatnya sibuk sehingga dia tidak menengok keluar jendela. Sebuah lapangan bola kecil yang biasa digunakan anak-anak di lingkungan kami untuk bermain futsal berada tepat di luar jendela kamarnya.


Aku memperhatikan tangannya menari di atas kertas, dia benar-benar adik manis yang patuh pada kakaknya. Terkadang rasanya aku merasa bahwa berkat dialah aku masih punya alasan untuk menjalani keseharian kami yang semakin sulit.





"GOOOOLL!!!!!!!!!!"


TCH! Dasar anak-anak bandel! Sudah kubilang jangan berteriak keras-keras jika bermain bola!



Saat aku berusaha menutup rapat jendela, Reiza mengentikanku.


"Ka-Kakak. Boleh aku melihat mereka bermain?"

...Ja-jangan melihatku dengan mata seperti itu!


...


....Ok~ Kalau kau memintaku dengan nada seperti itu aku tidak akan bisa menolaknya.



Aku membuka jendela sambil menghela nafas. Yang kutakutkan cuma satu, Reiza akan semakin sedih jika dia melihat lapangan dan bola yang bergulir.




"AH! Nenek sihir keluar!"

"Kabur~!"


"SIAPA NENEK SIHIR!! Oi! Tidak perlu lari, bermainlah seperti biasa..." Kataku pada bocah-bocah itu.


Awalnya para bocah itu bingung, mereka saling berbisik. Sepertinya mereka pun masih punya sedikit rasa toleransi.


"Bermainlah," Kata Reiza tersenyum.

Selama beberapa detik, para bocah itu sempat ragu. Namun sekali bola bergulir, mereka lupa segalanya dan berkonsentrasi dalam permainan mereka. Sesekali saat bola sedang dalam keadaan mati, ada beberapa bocah yang melirik ke arah jendela rumah kami. Tapi saat permainan kembali di mulai, mereka kembali bermain.


Reiza memandang mereka dengan ekspresi serius. Seakan dia menganalisa sesuatu. Tapi apa pun itu, dia memperlihatkan ekspresi yang membuatku tidak tahan melihatnya.


"Memang sebaiknya aku tutup jendela ini," Kataku setelah melihat senyum kecut Reiza.

"He~ Jangan!"

"...Aku tidak tega melihatmu seperti ini," kataku.

"..." Dia diam saja dan melanjutkan menyaksikan para bocah itu.



Suasana senyap.


"Hei, Reiza."

"Ada apa?"

"Kupikir aku akan jadi Dokter,"

"...Kenapa tiba-tiba?" Reiza masih saja menatap lapangan.

"Aku harus menemukan cara bagaimana mengembalikan kakimu kembali,"


Momen senyap lagi.


"...Mana mungkin bisa, paling bagus kau hanya memberikanku kaki palsu,"


"...Otak kita menyimpan memori bawah sadar tentang anatomi tubuh kita masing-masing. Menurutku, seharusnya tidak sulit menumbuhkan kembali kakimu..."


Reiza terdiam sesaat, mencerna kata-kataku, lalu kembali berkata.

"Kalau tidak sulit, kenapa para dokter tidak bisa melakukannya?"


"...Karena mereka bodoh. Aku akan jadi dokter yang jenius dan serba bisa. Aku bersumpah, akan mengembalikannya." Kataku penuh determinasi.

Hatiku rasanya terbakar oleh semangat yang tidak bisa tergambar dengan kata-kata. Aku tidak akan menyerah sampai aku berhasil mencapai tujuanku.




"...Berhentilah memberi harapan kosong,"


Eh?


"Aku tahu hal seperti itu tidak mungkin." Reiza masih saja menatap lapangan tanpa melihat ke arahku sedikitpun

"Ka-kau meragukanku?"


"Kalau kakak bisa, mungkin akan menghabiskan waktu bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun... Yang jelas bukan besok. ...Maaf, aku tidak percaya kalau Kakak bisa melakukannya..."


Dia terdiam dan aku hanya bisa menatap wajahnya yang semakin terlihat sedih.






***



Satu bulan setelah pemakaman orang tuaku, aku tidak menyangka kalau aku lagi-lagi aku mengunjungi pemakaman anggota keluargaku yang lain,



"Nak Karin... Kami turut berduka cita,"

Heh, Diam. Kalimat itu cuma sebuah kata-kata yang selalu dikatakan tanpa arti. Semacam burung beo yang meniru kata-kata manusia. Kalimat basa-basi saat berada dirumah duka.

"Kami tahu perasaanmu,"

Diam. Mana mungkin kalian tahu rasanya kehilangan seperti ini. Duduk diam saja dikursi kalian, dan berhenti bertingkah kalian memahami perasaanku. Kalian tidak pernah merasakannya!

"Kasihan sekali... Ditinggal ayahnya dan ibunya. Sekarang adik satu-satunya yang dia sayangi bunuh diri..."

Diam. Dia tidak bunuh diri. Dia sudah mati sejak para dokter tidak becus itu merenggut kakinya. Heh, tentu saja dengan logika sempit kalian, kalian tidak akan paham.

"Karin... Kami ingin kau tinggal bersama kami,"

Diam. Aku tidak butuh rasa kasihanmu. Aku yakin kalian cuma akan menjadikanku pesuruh karena nantinya aku akan merasa berhutang budi pada kalian,

"Karin..."


"Karin,"


Kenapa kalian semua melihatku dengan pandangan seperti itu?! AKU TIDAK BUTUH RASA IBA KALIAN!!





***



Saat semua orang kembali kerumah masing-masing, aku yakin mereka akan kembali bercanda ria dengan keluarga mereka. Melupakan rasa simpati mereka padaku,...


Sambil memandang langit malam, aku tidur di samping makam adikku.

"Hei, Reiza... Apa disitu dingin?"

Tentu saja tidak ada jawaban.


"... Oh Tuhan..."


Aku mengacungkan tanganku ke langit.




"KENAPA KAU TIDAK ADIL PADA KAMI?!!"


Aku tidak percaya kalau aku baru saja mengatakannya.


Masih sambil berbaring aku menatap langit malam yang gelap, dan menantangnya.


"Kau tahu, aku tidak terima dengan semua ini. Aku, Karin, Hari ini menantang Mu! Mari kita bertaruh!! Aku, SENDIRIAN, hari ini bersumpah! Aku akan membawa keluargaku kembali hidup!!"

Benar sekali. Aku akan membawa mereka kembali ke tanganku.


"TERTAWA! SILAHKAN TERTAWA! Aku tidak akan berhenti sampai aku berhasil atau sampai waktu yang Kau berikan padaku habis... Khuhuhuu...HAhahaHAHAH!!..."

...

"Yang kau lakukan hanya memberikan kebahagian singkat dan merenggutnya! MERENGGUUTNYA begitu saja... Aku akan mengambilnya kembali... Heh... Bukankah itu hak ku?! JAWAB!!!"


Tentu saja tidak ada jawaban.


"Haha.....*hiks* Reiza~... *hiks* Reiza..."


Aku memeluk gundukan tanah yang masih basah, tempat adikku bersemayam.



"HUWAAAAAAAAAAAA~~~"


Hanya suara tangisku yang terdengar di gelapnya malam ini, aku memeluk gundukan tanah tersebut sebisaku.

"KENAPA KAU MENYERAH!! KAU BODOH!!! SUDAH KUBILANG AKU AKAN MENGEMBALIKANNYA!!! HUWAAA~~"






"Maaf, Selamat sore..."


Tiba-tiba muncul seorang Pria dari entah darimana. Dia berdiri tepat di sampingku yang sedang berbaring. Melihatnya tentu saja aku segera bangun dan menatapnya dengan ekspresi curiga. Sial! Aku juga harus menghapus air mataku. Ini memalukan...


Setelah aku mengusap mataku, aku menatapnya dengan ekspresi mengutuk. Dia terlihat sedikit ragu-ragu. Tapi aku tidak pungkiri dia semacam memiliki kharisma tersendiri. Rambutnya sedikit berantakan dan dia memakai setelah jas hitam. Dari wajahnya terlihat dia lumayan muda... Mungkin 24-27 an?

Disebelahnya ada seorang anak perempuan kecil. Dia bersembunyi di balik tubuh Pria tersebut. Gadis tersebut terlihat ketakutan melihatku.


"Hau~"

Hau?


"Nona Karin? Benar?"

Apa yang diinginkannya? Tapi sepertinya aku tidak punya jawaban lain selain,

"Iya. Siapa kau?" Kataku dengan pedas.


"Whoops, maaf. Tapi saya membawa berita baik.... dan mungkin berita buruk
untuk anda," Katanya sambil tersenyum tanpa gentar sedikitpun.


"..." Aku diam saja. Lagipula kenapa aku mendengarkan orang ini?! Tapi sepertinya ada sebuah magnet yang membuatku tetap mendengarkannya dengan setia.


"Er... mungkin kau ingin berita buruk dulu? Biasanya orang memilih berita buruk terlebih dahulu dan baru mendengarkan berita baik sebagai penawarnya, kan? Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian? Memakan stroberi paling akhir jika kau memakan Strawberry Shortcake?" Katanya masih sambil tersenyum


"...Cepat katakan,"


"Berita Buruknya, anda belum berhasil menghidupkan seseorang sejauh ini. Berita baiknya : Kenapa tidak mencobanya? Siapa tahu anda benar-benar bisa?

Yah, walau aku tahu tidak akan ada orang yang bisa bermain-main menjadi Tuhan," Katanya mengakhiri kalimat cepatnya.


Apa itu? Kau bicara tidak jelas. Kalau sudah selesai bicara, tinggalkan aku. Aku masih punya urusan di sini.



"Bergabunglah dengan Organisasi,"



Wajahnya benar-benar serius. Matanya yang tajam seakan menusuk kedua bola mataku dengan garpu. Cahaya bulan yang memantul dari matanya benar-benar mengerikan. Pupil merah itu benar-benar membuatku tidak bisa bergerak...


Dia menjelaskan dengan singkat apa itu Organisasi. Tentu saja aku tidak percaya awalnya, sampai dia membuktikannya padaku...


Dia membawaku ke hari di mana Insiden kecelakaan yang merenggut keluargaku.


...


"Hei, Bagaimana aku memanggilmu?" Kataku pada Pria tersebut.

"Panggil saja aku Ketua Besar, semua orang memanggilku begitu. Tapi kau boleh memanggilku Al," Katanya padaku.

"Al... Nama yang aneh."

"Asal kau tidak memanggilku dengan nama itu saat ada orang lain."

"...Terserah. Sekarang aku percaya padamu. ...Bisa pinjamkan aku bazooka atau sesuatu?" Tanyaku sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

"Untuk apa?" Tanyanya sambil mengangkat alis.

"Akan kuhancurkan Truk itu,"

"Sayang sekali, tidak bisa" Dia tersenyum dengan ekspresi minta maaf.



"Kenapa?!!"


"...Karena kau tidak bisa bermain-main menjadi Tuhan," Dia mengatakannya dengan ekspresi yang sangat serius.

Tapi dia melanjutkan,


"Tapi mungkin aku bisa mempertimbangkannya jika kau masuk Organisasi,"

Benarkah?!


"Ya, tentu saja"



----------------



Aku membuka mataku. Lagi-lagi bayangan hari itu menghantui kepalaku.

Ingatan saat aku pertama kali bertemu dengan Ketua Besar. Hari dimana aku memutuskan untuk mengabdikan diriku kepada Organisasi. Hari itu benar-benar mengubah hidupku.



...Bukan waktunya untuk bersantai-santai dan melamunkan masa lalu. Aku harus segera berangkat.



Aku sudah menghubungi Aisa dan Eve. Mereka seharusnya sudah berada di koordinat misi.


Aku perlahan mengikuti Nana. Tampaknya dia sama sekali tidak sadar.


Seharusnya setelah ini Nana akan naik keloteng dan menemui 'dia'. Semua sudah tertulis di mission disk. Semalam aku menghapalkannya, aku bukan Eraser yang memiliki perfect memorization, namun aku cukup percaya diri dengan otakku.


[Ka-kak Karin! Aku sudah berada di lokasi. Tifa dalam bahaya! Sepertinya dia dalam bahaya!]

Aku membisikkan jawabanku di sudut kerah bajuku. Di sudut kerah baju terdapat semacam alat kecil yang bisa membuat kami berkomunikasi dengan lancar. Sebenarnya ada 2 jenis alat komunikasi, dan sepertinya para Eraser lebih memilih menggunakan jam tangan dari pada alat kecil yang di selipkan di kerah baju.




[Ba-baik! Saya out!]


Aku kembali mengekor Nana dengan perlahan, perlu jarak cukup jauh untuk membuatnya tidak sadar. Sesekali aku harus bersembunyi dari jarak pandangnya untuk memastikan bahwa saat Nana menengok ke belakang dia tidak melihatku.




Setelah Nana mencapai loteng, aku segera bersembunyi di balik pintu. Sepertinya 'dia' sudah datang.



...

......

...........



"Aku datang untuk membunuhmu,"


Aku bisa mendengar jelas suara 'orang itu'


.....


.....


....


Eve sedang berkonfrontasi dengan Lampard. Aku tidak perlu keluar jika tidak diperlukan.

Aku berusaha menggenggam kondisi dengan mendengar suara-suara yang kudengar dari balik pintu. Sepertinya Nana pingsan... Eve harusnya tidak memiliki kesulitan dalam menghadapi Lampard.

Tapi Lampard sepertinya melempar Nana dari Atap! Sial! Seharusnya Eve bisa menyelamatkannya...

Aku terus dihantui perasaan takut untuk melakukan 'itu'



Sampai suara itu muncul...


"Hah~ Menjelajah Waktu benar-benar merepotkan..."

Al?! Apa yang dia lakukan di sini?!


"Hoo... Ketua tentu saja tidak akan kabur, kan?" Kata Lampard.

Sepertinya Lampard sudah menunggu-nunggu kedatangan Al.

"Tentu saja, silahkan tembak. Aku tidak akan melawan,"

"Apa barusan anda menantang saya, Ketua?"


"Oh, tentu saja. Kita buktikan kalau solusi Grandfather Paradox adalah : Kau tidak bisa mengubah masa depan! ... tanpa energi yang cukup besar"



Sial!! Kenapa bisa melenceng dari rencana seperti ini!


Apa aku harus benar-benar melakukannya?!

...Ok pertama-tama aku harus dinginkan kepalaku.

Alasan melakukannya? Sudah jelas.

Tubuh manusia adalah kumpulan komponen-komponen sistem yang saling bekerja sama. Dari beberapa kompponen ini, ada bagian disebut vital. Dan apa bila bagian vital di hancurkan, terluka, rusak, atau diambil dari tubuh, manusia tersebut akan mati. Sangat penting menidentifikasi komponen sasaran untuk menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi yang ada.

Ada berbagai macam kelemahan dari tubuh manusia yang menguntungkanku. Otak mengontrol fungsi tubuh melalui sistem syaraf, jika otak rusak atau diambil dari tubuh, orang tersebut akan 'berhenti berfungsi' dan mati.

Paru-paru merevitalisasi darah dengan oksigen bersih dan ini dibutuhkan untuk memberi makan organ-organ vital. Menghancurkan paru-paru juga salah satu jalan untuk membunuh.

Jantung memompa darah ke seluruh tubuh bekerja sama dengan paru-paru untuk menjaga agar oksigen tetap tersirkulasi, darah yang dipompa dari jantung sangat dibutuhkan oleh otak. Jika jantung tidak berfungsi atau benar-benar rusak parah, oksigen tidak akan mencapai otak dan mengakibatkan orang kehilangan kesadaran dan mati. Menghancurkan jantung adalah salah satu cara untuk membunuh.

Cara lain, menghentikan suplai darah bisa dengan cara menyayat nadi.

Sistem syaraf manusia juga area yang sensitif. Dilindungi oleh syaraf tulang belakang, namun jika di hancurkan di tempat yang tepat, akan menyebabkan syaraf yang mengontrol jantung dan paru-paru terputus dan menyebabkan mereka berhenti berfungsi, dan mati.

Sekarang metode...

Ok. Aku punya pistol,... revolver di tanganku...

Colt Anaconda, kaliber : .44 magnum, dual-action hand gun...




Sebuah pistol. Sebuah tembakan dari pistol paling ideal diarahkan tepat ke otak dan jantung untuk hasil maksimal. Sebagai tambahan, pistol terbuat dari metal; artinya bisa digunakan untuk menghantam kepala untuk melukai otak atau tengkorak.

Setelah itu, Memastikan korban telah mati... kalau sudah sampai sini, orang yang bukan dokter pun bisa memastikannya.



Ok... Aku sudah paham manual untuk membunuh.


Siap tidak siap aku harus melakukannya.


Huf....





Reiza, tolong beri aku keberanian untuk melakukannya!

========================================


Entah saya udah berapa kali mengulang ch 4 :panda:

Er.. Sebelum terlalu basi, saya mengucapkan Mohon Maaf Lahir dan Batin!!


... I miss AL's POV...

4 komentar:

gecd mengatakan...

hmmmm:panda:
ini...Karin dari dunia yg mana ya? yg episode 1
atau.......
kuukan ga yuganderurashii na

Anonim mengatakan...

Hoo, backstory nya Karin, dari 1.0 atau 2.0 sama aja kan? sama-sama dari awal sudah orang organisasi. Atau saya salah nangkep? :panda:

Bakal lebih moe kalo adiknya cewek, tapi sepak bola jadi nggak mungkin sih ya (maaf saya byoujaku moe =w=)

Lailaturrahmi mengatakan...

aku udah baca dari jump 1.0, tp baru beraniin diri komen di sini..
mungkin aku belum bs komen secara kritis, tp aku suka ceritanya, bukan tipe cerita anak sekolahan biasa..
ga sabar nunggu lanjutannya

Franz Budi mengatakan...

@gecd
Sepertinya memang 'closure' nya terlalu lebar jangkauannya.

@kai
Ya maksudnya seperti itu :hahai:

>Bakal lebih moe kalo adiknya cewek, tapi sepak bola jadi nggak mungkin sih ya (maaf saya byoujaku moe =w=)

saya merasa deja vu :hihi:

@amitokugawa
Oh ya? Terimakasih banyak. Semoga saya bisa memenuhi ekspektasi anda