Days : Witchcraft

Chapter 04 : Flash <-> Back (Bagian ke Satu dari Dua)




3 Pesan singkat membuat aku sedikit tenang. Atau sebenarnya hanya dengan satu kalimat 'Tenang saja' di pesan singkat terakhir dari Remi membuatku bisa sedikit bernafas lega.


Masih belum melepas kemejaku yang hanya kukendorkan dasi dan kancingnya, aku memandang langit-langit kamarku. Mengingat fakta bahwa tubuhku yang lelah akan membawaku ke depan pintu gerbang mimpi buruk yang pasti.




***


November 2009


Musim panas tidak pernah sepanas ini sebelumnya. Aku tidak tahu apa sekarang adalah siklus ratusan tahun matahari menggoreng bumi atau apapun itu. Keringat seakan tidak habis-habisnya. Minum berapa kalipun tetap terasa haus.

Sialnya AC di mobil rusak dan aku tidak bisa mendinginkan kepalaku di dalam mobil. Akhirnya aku memutuskan duduk di luar berteduh di bawah pohon.

Aku melihat beberapa siswa SMA yang baru saja pulang sekolah. Melihat hal itu membuatku teringat kalau aku sudah hampir satu tahun lulus, tidak melanjutkan kuliah dan belum punya pekerjaan tetap. Tapi aku tidak ingin memikirkannya sekarang, meratapi masa depanku yang tidak jelas hanya akan membuatku depresi.


Saat menengok ke arah bangunan depanku, Remi dan Ibunya sedang berjalan ke arahku. Sepertinya urusan mereka sudah selesai. Remi mengenakan kaos di dalam kemeja, memakai celana jeans. Seperti biasa sense berpakaiannya terkadang membuatku ingin menelanjanginya dan memakaikan gaun biru muda yang pernah kulihat di etalase toko beberapa hari yang lalu. Tunggu, kenapa aku terdengar seperti orang mesum?


"Maaf menunggu lama,"

Sebenarnya lama sekali, tapi aku tidak mengatakannya karena mempertimbangkan kesopanan. Yang keluar justru servis mulut.

"Tidak juga,"


Tidak seperti biasa hari ini Ibu Remi memintaku untuk menjadi supir mereka seharian. Dari pagi sampai sore mereka pergi keliling kota entah mengurusi apa. Karena sepertinya rahasia, aku tidak bertanya apapun.

Remi yang terlihat kelelahan pun diam saja meski ibunya menyeretnya ke segala penjuru kota. Sementara itu ibu Remi masih terlihat segar entah mantra apa yang dia gunakan.


"Aku kira hari ini cukup sampai di sini. Terimakasih Al atas bantuanmu hari ini,"

"Ah, tidak masalah tante Laura. Lagipula, aku banyak hutang budi dengan Remi,"


Remi yang terlihat kelelahan hanya diam saja dan masuk kursi belakang dengan wajah kusut. Aku membukakan pintu untuk Ibu Remi dan setelah itu menuju kursi pengemudi. Akhirnya hari melelahkan ini selesai juga dan bayaran yang kudapatkan juga lumayan.


***


"Eits,"

Ibu Remi menghentikan Remi saat dia hendak keluar dari mobil. Remi memasang wajah kecewa.

"Ada apa? Aku capek,"

"Al, tolong ajari Remi mengendarai mobil,"

He? Sekarang? Aku sih tidak masalah. Tapi Remi terlihat lelah sekali. Sebaiknya istirahat dulu.

"Terserah kau Al, tapi aku ingin Remi besok pagi sudah bisa mengendarai mobil,"

"AAAH! Mama! Aku capek~! Ampuni aku! Aku ingin tidur nyenyak di kasur empuk dan bantal guling yang hangat!"

"Tidak boleh. Besok kita berdua pergi ke tempat Nenek, dan Mama tidak mau menyetir tanpa membawa supir cadangan,"

Aku bisa membantu Tante kalau mau. Lagipula minggu ini aku tidak ada kerjaan. Asal di bayar sih,

"Maaf, Al. Terimakasih sudah menawarkan, tapi tempat itu jauh dan aku rasa kami bisa berbulan-bulan baru pulang," Ibu Remi memberikan ekspresi menyesal karena harus menolak bantuanku

Remi hanya menghela nafas, memandangku sambil mengangkat bahunya.

Untuk alasan yang aneh, tante Laura mengacungkan jempol kanannya kepadaku. Oh, sepertinya aku paham apa yang maksud semua ini.


***


"Perlahan..."

"Ugh,"

Remi dengan wajah yang sedikit tegang mencoba mengganti gigi mobil. Tapi karena gerakan melepas koplingnya tidak halus mobil kami berhenti.

"Coba lepas kopling dengan lebih lembut. Injak kopling, masukkan gigi, lepas kopling sambil menginjak gas pelan-pelan,"

"Dibilang seperti itu pun..."


Butuh waktu tiga puluh menit sampai Remi benar-benar menjalankan mobil dengan lancar. Kupikir karena memang reflek dan otaknya yang mudah paham dia sudah bisa melaju dengan lancar di jalan raya.

Dan beberapa saat kemudian dia sudah bisa menyetir sambil berbicara denganku. Terkadang aku lupa betapa mahir gadis ini mempelajari sesuatu yang baru.


"Ngomong-omong, kau benar-benar akan pergi ke rumah nenekmu dalam waktu lama?"

Remi berhenti sebentar, memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaanku.

"Yah begitulah. Seperti yang pernah kuceritakan, setelah kakak ku meninggalkan keluarga Cokrowinata, satu-satunya yang bisa meneruskan pekerjaan ayah adalah aku,"

Pekerjaan... Keluarga Remi adalah Spiritual Attendant, mereka menangani berbagai macam masalah spiritual di Keluarga Sabit. Belum beberapa minggu dari upacara ritual pengangkatan Remi sebagai spiritual attendant, Remi harus ke tempat neneknya untuk berlatih. Sekitar 6 bulan katanya,

"6 bulan, lama juga,"

"Yah, aku masih belum punya banyak pengalaman spiritual. Setidaknya kalau aku belajar dengan Nenek, mungkin aku bisa membawa satu atau dua karung pengalaman yang berharga,"

"Menjadi Spiritual Attendant terlalu berbahaya, apa kau tidak mau menjadi gadis biasa yang memakai gaun manis dan imut, bertingkah lebih gadis lagi dan mencari pekerjaan yang lebih aman,"


Remi tersenyum kecut.

"Apa boleh buat, kalau kakak tidak meninggalkan rumah, aku mungkin sekarang bisa kuliah atau mencari pekerjaan yang lebih aman,"

Aku rasa setiap keluarga punya masalah masing-masing.

"Tapi, bukan berarti kau mengorbankan dirimu sendiri. Kau harus belajar menolak kehendak orang tuamu. Katakan tidak suka kalau kau tidak suka. Itu sebabnya teman-temanmu selalu melimpahkan hal tidak menyenangkan padamu karena kau menerimanya dengan senyuman. Kalau begitu orang lain akan mengira kau menyukainya,"

"Geh, kenapa aku jadi diceramahi seperti ini,"


"Kau itu selalu bilang 'tidak masalah', 'tidak apa-apa kok' 'santai saja'. Padahal kau sendiri pasti repot. Selalu memasang senyum padahal tidak suka. Selalu bilang iya padahal tidak mau,"


Remi melirik ke arahku.

"Ok, ok kakek! Lalu apa yang harus kulakukan? Meludah di depan orang tuaku sambil menolaknya?"

"Siapa yang kakek? Tidak perlu sampai seperti itu. Kau bilang 'tidak' pada ayahmu saja tidak bisa. Aku jadi penasaran apa kau tidak punya fase memberontak kepada orang tua. Setiap anak normal pasti punya masa-masa emo seperti itu,"

"Apa kau baru saja menyindir kalau jadi anak patuh orang tua itu tidak normal?! Pokoknya yang sudah terjadi ya sudah. Aku memutuskan untuk meneruskan ilmu turun temurun dari keluarga Cakrawinata, titik. Akhir paragraf,"


"Sepertinya kau bakal jadi tipe yang bakal menikah karena dijodohkan orang tuamu,"

"Se-sepertinya tidak akan sampai seperti itu,"

"Kau berharap tidak akan sampai seperti itu,"

"Pokoknya aku tetap pergi. Jangan khawatir kakek Al! Aku tidak akan selamanya di sana, kok,"

"Tentu saja aku khawatir, bodoh,"

"Eh? Kenapa?"

"Haaah~ Lupakan, gadis tidak sensitif sepertimu tidak akan paham,"

"Eeeh~" Remi cemberut melihatku memalingkan wajah ke luar jendela.

Dasar anak perempuan yang tidak sensitif.




"...Mau menengok Nana?" kataku tiba-tiba.

"AH, kau mengingatkanku sesuatu,"

"Apa?"

"Yang aku khawatirkan, ada alasan eksternal yang menyebabkan Nana terkena penyakit aneh seperti ini," kata Remi terdengar serius

"Maksudmu semacam kutukan atau santet?" kataku mencoba menebak


"Yah, begitulah. Setelah ritual kemarin, mataku bisa melihat hal supernatural. Aku ingin memastikan kalau Nana tidak diguna-guna oleh seseorang,"

"Nana... aku tidak bisa membayangkan ada orang yang membenci bocah itu,"

"Jangan salah, tidak selalu orang yang dibenci yang menjadi sasaran serangan. Ada beberapa orang yang mengambil kesenangan dengan melihat musuhnya berputus asa karena kehilangan anggota keluarga,"

Dia mengimplikasi bahwa antara aku atau Ayah yang memiliki musuh. Mendengar kalimat Remi perutku sedikit mual. Jika dikuasai perasaan iri, dengki dan benci, manusia sanggup melukai seseorang yang tidak bersalah hanya demi membuat seseorang menderita.


Remi sepertinya menjadi tidak nyaman setelah menyatakan sesuatu yang membuat depresi.


"Ba-bagaimana kalau begitu kita mampir ke tempat kerja Raisen! Dia pasti juga mau ikut,"


***



"What the hell are you doin'?!"

Suara teriakan Raisen terdengar jelas sampai ke dalam mobil.

Tapi yang kupastikan pertama adalah keselamatan pengendara.

"Remi, kau tidak apa-apa?"

"Guh~ selain bibirku yang berdarah tidak ada luka parah,"


Pria berambut pirang blasteran Swiss dan Lokal ini menggedor-gedor pintu mobil kami dengan keras.

"Tidak perlu keras-keras aku juga dengar. Maaf, Remi masih newbie dan butuh waktu sampai dia parkir dengan benar," kataku sambil membuka jendela mobil.

Dia menaruh tangannya di wajah tanda tidak tahu harus bicara apa. Mobil sedan buatan lokal tahun 1999 yang masih fit kondisinya harus terjerumus dan meringsekkan kursi kafe yang di taruh di teras.

"Sebagai guru mengemudi kau gagal! Well, I demand 500,000 IDR for the compensation. Kalian ini bisa-bisanya menghancurkan kursi dan meja tamu, bagaimana kalau tadi ada orangnya?!"

"Untung saja kafe ini kosong seperti biasanya,"

"Apa kau baru saja mengimplikasi kalau kafe ini selalu kosong?"


Setelah mengeluarkan umpatan-umpatan lain, Raisen akhirnya menyerah dan mengizinkan kami masuk ke dalam kafe.


"Ada apa datang kesini?"

"Kami mau menjenguk Nana, mau ikut?" kataku segera.

"Kenapa tiba-tiba? Lagipula baru kemarin kita menjenguk. Bukannya lebih baik membiarkannya istirahat?"

"Remi akan pergi bertapa selama 6 bulan. Dia mau mengadakan perpisahan dengan Nana,"

"Bukan bertapa! Tapi begitulah, aku harus keluar kota selama enam bulan,"

"Aku baru dengar," Raisen menembakkan pandangan tajam ke arah Remi.

"Er... baru diputuskan tadi siang," kata Remi menghindari pandangan Raisen.

"Ok, I'm in. Mampir ke kontrakan ku. Aku ingin ganti baju dulu,"




***


Aku, Remi dan Raisen sampai di rumah sakit. Entah sudah berapa kali aku menaiki lift ini. Beberapa perawat sampai hafal namaku dan frekuensiku datang ke sini. Aku hafal kalimat penjual koran yang ada di ruang tunggu. Entah sejak kapan pemandangan ini menjadi terlalu familiar sampai-sampai aku bisa menunjukkan orang-orang tempat-tempat yang membingungkan untuk dijamah. Terkadang mengingatkanku betapa adik yang selalu kujenguk sudah lama sekali tidak pergi keluar dari tempat ini.


Langit sore yang terlihat hangat menyelimuti lembut bumi dengan pemandangan jingga yang indah. Cahaya yang masuk koridor melalui kaca-kaca bening seakan menjadi karpet ilusi yang mengantarkan kami ke ujung koridor tempat gadis yang mendiami bilik orang sakit.


"Oh, Kak Al. Kalau mau masuk cepetan, dan tutup pintunya. Dingin,"

Seperti biasa kau dingin pada kakakmu. Tunggu, dia bersikap seperti ini pada semua orang.


"Nana~!"

"Permisi,"

"Oh, Remi dan Raisen, silahkan masuk. Maaf terlihat berantakan, sembilan puluh persen yang melakukan Kakak, sih,"

Kenapa aku baru saja merasa terdiskriminasi dengan sambutan barusan.


Di sebelah Nana, Ayah duduk. Sepertinya dia tertidur. Aku menepuk pundaknya dan menyuruh Ayah istirahat. Sepertinya dia kelelahan.

"Maaf aku tidak bisa menemani kalian,"

"Sudah lah, Ayah tidur saja,"

Tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang pucat membuatku sedikit kasihan dengan ayah. Karena Ibu sudah mendahului kami pergi menemui sang Pencipta, aku dan Ayah terkadang bergantian menjaga Nana. Kalau Ayah sedang tidak bekerja, dia akan seharian berada di sini. Dan kalau Ayah bekerja aku akan menemani Nana seharian.


Sepertinya Remi tidak langsung 'memeriksa' Nana dari indikasi santet. Dia memilih bermain-main seperti biasa dan berbincang-bincang. Raisen yang ikut bergabung pun terlihat senang ikut terbawa suasana karena Nana dan Remi juga bersenang-senang.


Melihat pemandangan ini membuatku berharap hal ini terjadi di luar Rumah Sakit.




"Truf,"

"GAAAH!!"

Untuk kesekian kalinya Raisen kalah telak. Seperti biasa sambil berbincang-bincang kami memainkan permainan kartu favorit kami, Truf. Permainan kartu yang tidak mengandalkan keberuntungan dan lebih membutuhkan strategi daripada permainan kartu lain. Apa pun kartumu, kalau memainkan nya dengan tepat, kemenangan tidak akan jauh dari mata.

"Kalau sedikit pakai otak pasti tidak akan terbantai," kata Nana datar.

"Sori kalau aku nggak pakai otak! Kalau kau main ini judi dengan kemampuanmu yang seperti ini, entah berapa banyak uang yang kau dapatkan," kata Raisen sedikit merasa terhina kalah oleh anak perempuan yang lebih muda 3 tahun darinya.

"Ternyata selain mukamu yang garang tingkah lakumu juga garang, kau sering main judi?" Tanya Nana.

"Sometimes, Kadang-kadang kalau tamu kafe mengajakku," kata Raisen sambil mengumpulkan kartu karena dia memiliki poin paling rendah.

"Padahal judi itu perbuatan orang bodoh, ...kata Ayah,"

Aku dan Remi tertawa.


"Berarti ayahmu benar. Soalnya cuma tampangnya saja yang kelihatan intelek, Raisen mengulang kelas matematika sampai tiga kali," kata Remi.

"Shut up! Guru matematika itu punya dendam padaku, dia membuatku mengulang ujian tiga kali!"

"Aku rasa perawan tua itu cari-cari alasan supaya bisa berduaan denganmu,"

Raisen melemparku dengan bantal. Berkat reflek yang belum tumpul, bantal itu mendarat di ujung ruangan tanpa mengenaiku.


"Kalau kau bermain judi dengan kemampuan seperti barusan, itu baru namanya idiot. Berhentilah bermain judi karena satu-satunya cara untuk kaya dengan berjudi adalah curang tanpa ketahuan," kata Nana menambahkan final blow.

"Tch, no fair, ganging up on me. Okay, okay, Lad. Aku berhenti main judi, kalau ada pelanggan yang mengajakku judi akan kutolak. Sekarang kita lanjut main,"

Permainan pun lanjut ke ronde selanjutnya.


***



"Uhuk! Uhuk!"

Setelah bermain beberapa ronde, Wajah Nana semakin pucat. Aku tidak tega kalau harus membiarkannya melanjutkan main meski dia memaksa ingin menyelesaikan satu ronde lagi.

"Aku bisa sendiri-"

"Sudah, ayo bersandar di tanganku,"

Aku menidurkan tubuhnya. Entah kapan terakhir kali aku mengangkat tubuh kecilnya. Tubuhnya ringan seakan berat badannya meninggalkan Nana begitu saja.



Remi membisikkan sesuatu padaku, sepertinya dia ingin menjalankan rencana awal, melihat apakah ada faktor eksternal yang menyebabkan penyakit Nana.

Aku hanya mengangguk memberi isyarat setuju.

Dia hanya berdiri sejenak. Menutup matanya dan membukanya lagi 10 detik kemudian.


"Sedang apa?"


"-EH,"

Ayah mengagetkan Remi dengan menggetarkan pundaknya. Jujur saja bahkan aku sendiri kaget. Beberapa detik yang lalu ayah ada di kursi. Sekarang bisa berada di belakang kami benar-benar luar biasa. Mungkin tubuhnya sangat kurus sampai suara langkah kakinya tak terdengar."


Saat aku akan mengeluarkan lelucon tentang berat badan ayah, aku berhenti. Karena wajah Remi terlihat pucat seakan dia baru saja melihat sesuatu yang bukan dari dunia ini. Keringatnya deras dan bibirnya gemetar.

"Oi, oi kenapa Remi? Paman Agus cuma sedikit mengagetkanmu," kata Raisen tidak menyadari keanehan apa pun.

"Kenapa?"

Plak!

Tanganku yang hendak meraih pundak Remi ditepis dengan keras. Tentu saja aku kaget. Karena sangat kagetnya aku tidak bisa bicara. Seakan orang yang di hadapanku bukan Remi.

"O-oi, jangan bercanda Remi..." kataku menertawakan kejadian barusan.

Tapi Remi mengalihkan matanya dariku dan bergegas membawa barang bawaannya.

"A-aku tidak apa-apa. Tiba-tiba aku ada urusan,"

Remi keluar sambil berlari. Sedikit ironis padahal di depan pintu ada tulisan 'Dilarang Berlari'


***

Angin di atas atap rumah sakit benar-benar nyaman. Meski cukup kencang dan membuat rambutmu berantakan, ada perasaan tenang saat angin membelaimu dengan kecepatan konstan. Pemandangan kota sentral seakan seperti lukisan timbul yang kapan saja bisa dirusakkan. Pemandangan ini yang menjadi oasisku saat aku mulai bosan dengan bau khas rumah sakit.


Remi sepertinya sudah kembali ke rumah. Aku harap dia baik-baik saja di jalan. Karena jarak dari rumah sakit dan rumah keluarga Cokrowinata tidak terlalu jauh, aku bisa sedikit tenang membiarkannya pulang menyetir mobil sendiri.

Raisen yang ikut menikmati pemandangan dan angin hanya diam saja. Menatap kota Sentral dengan pandangan mata yang jauh.

"Kenapa Remi tadi? Seperti orang kesetanan saja,"

Mana aku tahu...

"Sekarang karena mobil jemputan sudah pulang... bagaimana aku bisa pulang ke kontrakan,"

"Jalan?"

"Fu*k it!"

"Santai saja, kuantarkan dengan sepeda,"

"Not with your pinky bicycle. Bisa-bisa kita terlihat seperti pasangan homo bahagia,"

"Kalau segitu tidak maunya, silahkan naik taksi,"

"Tch,"






"Hei Al,"

"Apa?


"... apa ada cara menyembuhkan Nana?"

"...Kalau dokter tidak tahu, bagaimana aku bisa tahu," Jawabku datar.

Kalau dokter sampai berkata tidak ada yang bisa dilakukan artinya manusia sudah menyerah untuk menyelamatkan Nana. Mereka sudah menutup jalanku untuk mempercayai manusia yang paling paham dengan penyakit.

Raisen menggeritkan giginya.


"Terkadang aku merasa semua ini tidak adil... Untukmu, Nana dan Ayahmu,"



Melihat Nana dalam kondisi seperti ini jelas membuat Ayah dan aku ketakutan. Takut akan kondisi yang sama seperti ibu akan terjadi kepada gadis mungil yang bahkan tidak berani bermimpi besar.

Di sudut hati aku sudah lelah dengan semua ini. Tanpa berharap aku tidak akan putus asa.


Tapi tidak berharap membuat hatiku terasa kosong.


***

Saat angin sore semakin dingin dan langit mulai berubah jingga, Raisen memutuskan untuk pulang. Aku juga merasa cukup sampai di situ dan ingin kembali de dalam.

"By the way, Remi akan pergi. Bagaimana dengan hubungan kalian berdua,"

"Aku belum melakukan apa-apa, setidaknya belum berencana,"

"I see,... Bodoh"

"Aku mengaku bodoh, tidak perlu kau katakan lagi,"

"And then? Kira-kira bagaimana prospek ke depan?"

"No good,"

"Sudah kubilang, di otaknya tidak ada kalimat bernama pacaran. Dia tipe orang yang lebih memilih menonton Band of Brother daripada Titanic. Lebih memilih memakai kemeja daripada gaun. Makanya dari sejak lama aku mundur dari medan pertempuran."

"Diam. Aku sedang tidak ingin memikirkannya. Kepalaku pusing,"

"Fair enough. Pikirkan dulu adikmu. Dan biaya dia di rumah sakit, bagaimana?"

"Aku tidak memberi tahu ayah. Tapi aku minta tolong Rosa,"

"Rosa... Rosa sepupumu? Berani juga kau,"

"Bukan waktunya memikirkan gengsi keluarga. Lagipula kakek dan Rosa tidak begitu menyimpan dendam padaku. Sejujurnya malah aku mengira bakal diperlakukan buruk, tapi ternyata tidak,"

"I see. Well, good luck with everything,"

Perempatan selanjutnya kami berpisah.



Hari ini aku berniat menginap di Rumah Sakit seperti biasa.


***



"Kenapa kakak melihatku dengan wajah seperti itu?"

Wa-wajah seperti apa?

"Lagipula tidak sopan memandangi orang yang sedang makan,"

Entah kenapa melihat Nana makan dengan perlahan. Memarahiku dengan suaranya yang yang lirih dan datar membuatku sedikit nyaman. Mungkin karena beberapa hari yang lalu dia sama sekali tidak menyentuh makan malamnya dan terbaring lemas. Melihat pemandangan ini artinya ada sedikit kemajuan. Aku tidak perlu memperdulikan kalimat dokter yang menyerah. Di hadapanku Nana terlihat semakin membaik dan itu sudah cukup.


"Hambar,"

"Haha, apa yang bisa kau harapkan dari makanan untuk orang sakit,"

"Paling tidak sediakan kentang goreng,"

"Memangnya ini restoran fast food,"

"Kalau sudah sembuh, aku ingin Ayam Goreng,"

"Pasti akan kubelikan,"

"Mie Instan, Bakmi Rebus,"

"Akan kubuatkan,"

"Jangan lupa, Nasi Goreng."

"Pasti... Eh, kenapa semuanya makanan?"



"...Karena aku tidak tahu harus meminta apa. Biarlah Ayam Goreng, Mie Instan, Bakmi Rebus dan Nasi Goreng menjadi harapanku untuk cepat sembuh,"

Nana tersenyum. Nana yang dingin dan terkadang berbicara terlalu jujur sampai-sampai menjadi menyebalkan itu tersenyum. Senyum yang tulus dan jujur.

Senyumnya seakan menyayat hatiku dengan lembut dan perlahan.

"Hiks-"

"Ah! Kenapa ayah menangis?!"

"Ha-habis, saat anak-anak lain berharap ingin masuk SMA favorit, memiliki gadget paling canggih, menginginkan konsol game, putriku... putriku cuma bisa meminta makanan penuh kolesterol yang bahkan bisa kubelikan sekarang,"


"Mungkin memiliki Ayah dan Kakak seperti kalian berdua yang luar biasa, sudah memakan habis keberuntunganku untuk seumur hidup,"

"...Ma-mana ada yang seperti itu!"

"Meski hanya bisa berbaring di tempat tidur, yang bahkan bukan tempat tidurku, tapi meski begitu hidup ini adalah pemberian Tuhan... Apalagi kalian berdua selalu menopangku, meski orang lain sampai lupa dan berhenti menjenguk diri ini, selama kalian berdua ada..."

Ayah berusaha keras menahan isak tangisnya. Sementara aku berusaha menahan agar wajahku tidak terlihat bodoh karena menahan air mata yang sudah ada di sudut mataku.


"...Aku pasti sembuh,"



Malam itu aku kira akan seperti malam-malam yang lain, yang akan segera berakhir setelah memejamkan mata. Tapi aku tidak bisa lebih keliru dari ini, karena malam yang setara dengan neraka dunia belum dimulai.


***

Sebenarnya saya merasa belum cukup untuk chapter buildup ini = =  tapi entah kenapa sudah ingin post chapter 06 jadi saya selesaikan dulu Flashback nya

Btw Truf / Trump permainan kartu dari indonesia yang paling imba. Setidaknya dapat kartu terburuk pun masih bisa menang :3

2 komentar:

Zetsudou Sougi mengatakan...

thanks dude
sekarang saya bisa membayangkan wajah Al; pasti mirip Blacksaber!!!

Franz Budi mengatakan...

maksude opo? :panda: