Yeah, saya dari kemarin sibuk dengan berbagai macam hal, dari lembur (ping pong) dan membuat draft untuk impresi anime Fall yang akhirnya jadi terlalu tl;dr.


Menyingkat waktu,



Days : Witchcraft

Chapter 05 : Flash <-> Back (Bagian Satu Setengah dari Dua)



Ayah menyodorkan segelas minuman jahe hangat kepadaku. Aku menerimanya dan mencoba satu teguk. Rasa hangat jahe serasa sangat pas di tenggorokan di malam yang dingin ini.

Jam besuk sudah lewat sejak lama. Tapi itu semua tidak ada artinya. Toh setiap anggota keluarga berhak menjaga anggota keluarganya sendiri. Meski rumah sakit ini mengklaim bahwa mereka sudah menerima banyak penghargaan, tapi rasanya pelayanannya tidak cukup memuaskan. Para anggota keluarga masih harus menjaga baik-baik sang pasien. Tidak ingin infus pasien habis dan tidak ada satu suster pun yang menyadari.

Ruangan ini seperti sudah menjadi rumah kedua bagiku dan Ayah. Nana yang kesehatannya tidak stabil terpaksa keluar dan masuk rumah sakit. Tapi untuk alasan yang aneh, kami selalu mendapatkan ruangan ujung koridor di lantai 3.


Termos yang baru saja mengisi gelas kami berdua terasa semakin ringan. Artinya tidak ada air hangat lagi untuk menambah porsi minuman hangat sebagai teman begadang.

"Setelah ini sebaiknya kita tidur," kata Ayah sambil menggoyang-goyangkan termos yang tidak berisi.



Nana tidur dengan sangat lelap. Tidak bisa dipercaya, meski dokter tidak bisa memahami penyakitnya, meski dokter sudah menyerah untuk menyembuhkannya dan merujuk kami ke rumah sakit luar negeri, tapi aku bisa melihat sedikit cahaya harapan bahwa kesehatannya semakin membaik.

Nana terlihat begitu optimis. Tidak ada alasan bahwa aku harus terus meratapi kesehatan Nana.


"Nana semakin membaik dari hari ke hari," kataku

"Hm," Ayah menyetujui dengan gumamannya. Matanya melihat jauh ke depan.

"Ayah terlihat tidak senang,"

Mendengar komentarku ayah segera menatapku dengan senyum lemahnya yang seperti biasa.

"Tentu saja aku senang, Al. Tapi belakangan ini rasanya aku benar-benar kurang istirahat,"

"Masalah pekerjaan?"

"Y-Ya semacam itulah,"

Ayah hanya pekerja kantoran biasa. Gajinya tidak terlalu besar, wajar kalau mengincar lembur.

"Lemburan?"

"Di-dibilang lemburan tidak bisa juga. Semacam event, ya, semacam itu. Ayah dan teman-teman sudah mempersiapkannya sejak jauh-jauh hari. Hari H nya sebentar lagi,"

"Hmm... Daripada terlihat khawatir seperti itu, lebih baik segera istirahat,"

"Ha-haha, meski terlihat khawatir, tapi aku sambil menyusun pikiranku... Siapa tahu ada yang tertinggal. Aku tidak ingin pelaksanaan menjadi kacau,"

Ayah meneguk minuman jahenya. Terlihat begitu menikmati setiap tegukannya.

"Daripada itu, bagaimana hubunganmu dengan Remi,"

"...Rasanya belakangan ini banyak sekali yang bertanya seperti itu padaku,".


Di sudut ruangan, aku melihat sebuah ponsel yang tidak asing.

***


Melihat tingkah Ayah yang aneh aku berpura-pura tidur.

Tingkah ayah tidak wajar. Sesekali dia menengok apakah aku sudah tertidur atau belum. Keraguannya seakan tergambar dari suara gerakan-gerakan yang dibuatnya.

Beberapa saat kemudian semua terdengar sunyi.

Tiba-tiba Ayah berdiri dan beranjak keluar kamar.






Jam menunjukkan pukul 11 tepat. Setidaknya itu tanda waktu yang terakhir kulihat.

Aku jadi menginginkan jam tangan analog sebagai pengingat waktu.

Memperkirakan waktu bukan keahlianku, aku tidak bisa mengira-ira berapa menit waktu yang sudah terlewat.


Rasa penasaranku mengalahkan rasa bersalah menguntit ayahku sendiri. Ayah berjalan dengan interval yang santai. Tidak terlalu terburu-buru namun terlihat sigap. Seakan-akan siap menghadapi apa pun yang ada di ujung perjalanannya.



Saat aku kira ayah akan mengambil jalur elevator, ternyata dia terus berjalan melalui tangga darurat.


Rumah sakit ini memiliki 4 lantai. Ruangan Nana berada di lantai 3. Sedangkan Ayah mengambil jalur tangga ke arah atas. Sudah bisa di pastikan tujuannya adalah lantai 4.

Dipenuhi dengan tanda tanya, aku terus mengikutinya. Sampai ayah berhenti di ujung lorong. Ruang Rawat Inap VVIP. Hanya orang-orang berkantong lebih dari tebal yang mampu menghuni ruangan itu. Tidak ada memori tentang ayah yang memiliki teman yang di rawat inap di lantai 4.



"Keluarlah,"

Aku terkejut bukan main.

"Aku tahu kau di situ,"

Aku bisa bertindak bodoh dengan keluar dari persembunyian. Atau tetap di tempat dan mundur di saat yang tepat. Masih ada kemungkinan Ayah hanya melakukan hal tersebut untuk mengecek aku mengikutinya atau tidak.


Saat aku memutuskan untuk diam, Tangan ayah tiba-tiba meraih kerah bajuku dan menarikku keluar dari persembunyiann.


"Kebiasaan burukmu membuntuti orang,"

"Aku tidak sesering itu membuntuti orang," Aku mencoba berdiri setelah dilempar. Menggunakan gagang pintu putar kamar rawat inap VVIP sebagai penopang.

Aku sempat melirik papan nama penghuni ruangan ini.


Subagyo Sarjono. Orang besar, ya? Apa hubungan ayah dengan ketua anggota DPR Kota Sentral yang terkenal dengan tiraninya memonopoli kekuasaan di Sentral?

Orang waras dianjurkan untuk tidak macam-macam dengan Subagyo Sarjono. Rumornya, geng Kapak pun bisa dihancurkan kapan pun kalau orang ini menginginkannya.

"Sedang apa ayah di sini?"

"Al, kembalilah ke kamar. Ada yang harus kulakukan,"

Ayah tidak pernah terlihat seserius ini. Dan aku tidak pernah menganggapnya terlalu serius. Tapi mulutku berhenti saat ingin bertanya lebih lanjut.


Sebuah bayangan hitam seakan membuntuti Ayah. Tubuhnya seperti manusia namun dengan otot yang lebih kekar dan wajah yang lebih buruk dari makhluk apapun yang pernah kulihat.


Raksasa.

Dengan ukuran luar biasa besar seperti itu, tubuhnya menjulang sampai ke atas atap.

Pemandangan yang tidak biasa. Teriakanku berhenti di tenggorokan. Rasa takut menyelimutiku.

Apa-apaan makhluk ini?!


Ayah terlihat sedikit terkejut dengan reaksiku.



"Bagaimana kau bisa melihatnya?"

Aku terlalu takut untuk menjawab. Ayah yang mencoba meraih pundakku, namun terhalang seseorang yang menyerangnya dari belakang.



Gadis berambut hitam panjang itu muncul dan melompat di antara aku dan Ayah. Menghunuskan pisau tajam yang bentuknya mengintimidasi siapapun yang berhadapan dengannya. Ukiran-ukiran di bilah pisau itu menambah kesan 'Mulia' dan 'Berat'.


"Remi?!"


Ayah menghindar mengandalkan reflek. Remi yang melancarkan serangan kedua terlihat tidak main-main dan segan untuk menyayat Ayah dengan sekuat tenaga. Meski aku tidak bisa membaca pikirannya, tapi aku tahu kalau Remi yang membawa pisau ini memiliki niat untuk menghabisi Ayah. Tidak ada jejak keraguan sedikit pun.


Ayah melompat mundur sekali lagi dan menganalisa siapa musuhnya,

"Aku tahu kalau kau bisa melihat Ifrit, tapi aku tidak tahu kalau kau punya cukup keberanian untuk melawannya,

Apalagi membuat Al bisa melihatnya,"

Ayah terlihat percaya diri. Bukan tubuh kurusnya yang mendatangkan kepercayaan diri itu, tapi bayangan hitam raksasa yang berada di sisinya.


"Ya... Aku terkejut melihat Ifrit ada di tempat seperti ini... Tapi aku lebih terkejut lagi dengan orang yang mampu mengendalikan dan mematerialisasikan nya ternyata Paman Agus. Peliharaan yang ganas, Paman."

Kalau diperhatikan, kaki Remi sedikit gemetar. Mencoba menopang tubuhnya yang seakan diselimuti ketakutan.

"Kenapa kau kembali, Remi?!"

"Setelah melihat seekor iblis raksasa berada di belakang tubuh Nana, mana mungkin aku tidak kembali,"


Apa maksud semua ini?!


"Kalau kau ingin tahu kenapa penyakit Nana tidak pernah bisa disembuhkan, coba kau tanyakan pada Ayahmu. Kenapa dia menjadikan anaknya sendiri sebagai tumbal untuk mengendalikan iblis," kata Remi dengan nada penuh rasa muak.

Ayah menatap dingin kami berdua.

"Apa benar ayah?"


"Tentu saja tidak. Mana mungkin," kata ayah mengeluarkan senyum lemah seperti biasa


"Jangan bohong! Mana mungkin Ifrit bisa menikmati Nana seakan dia makan siangnya seperti itu kalau tidak ada kontrak sebelumnya,"

Aku tidak ingin percaya pada Remi dan ingin mempercayai Ayah. Tapi mendengar kata-kata Remi membuka mataku tentang probabilitas yang paling buruk. Ayah sudah menjual Nana kepada Iblis.


Aku orang yang percaya dengan hal gaib. Karena orang-orang di sekitarku percaya, dan bimbingan sejak kecil membuatku mengakui keberadaan makhluk gaib.

Melihat bayangan hitam itu membuatku semakin percaya kalau Iblis itu eksis. Makhluk yang mengeluarkan hawa memualkan dan membuat putus asa itu tidak mungkin makhluk yang di sayangi Tuhan.



Ayah menarik nafas dalam-dalam,

"Ada perbedaan besar antara tumbal dan pengorbanan. Seseorang yang menjadi tumbal adalah siapa pun yang memenuhi kriteria untuk dijadikan korban agar orang-orang lain selamat.

Pengorbanan membutuhkan sesuatu yang benar-benar berharga bagi seseorang untuk mencapai tujuan yang lebih mulia. Kadar cinta yang harus ditinggalkan benar-benar tidak bisa dibandingkan,"

Saat ayah berbicara, ekspresinya benar-benar penuh rasa penyesalan. Matanya memandang ke arah luar jendela, pemandangan kota Sentral.


"Tapi fakta bahwa kau menggunakan nyawa Nana untuk mengendalikan Ifrit, tidak berubah,"

"Aku rasa begitu,"


Pijakan kakiku seakan hilang. Ayah menggunakan Nana sebagai pengorbanan. Meski perutku mual dan kepalaku semakin sakit, aku masih berdiri mencoba mendengar alasan Ayah.

Permasalahan klasik manusia adalah ketidakmauan untuk memahami satu sama lain. Aku mencoba membuka sedikit pintu hatiku untuk memahami perbuatan ayah.


"Kenapa... Ayah, kau menyayangi keluargamu lebih dari apa pun, Aku selalu percaya padamu dan bangga padamu...Kenapa?"

"Karena itulah, keluarga adalah hal yang Iblis itu minta. Keluarga ini benar-benar sangat berharga untukku,"

"Uang?! Apa harta yang Ayah inginkan?! Kalau cuma itu, keluarga Suryohadikusumo bisa memberikannya tanpa meminta nyawa Nana!"

Ayah terlihat sedikit kecewa.

"Kau seharusnya orang yang paling paham kalau harta duniawi tidak akan membuatku silau,"

"LALU APA?! KATAKAN ORANG TUA SIALAN!!"

Itu pertama kalinya aku mengumpat di depan Ayah. Tubuhku dikuasai amarah yang mengalahkan rasa takutku.


"Kita masih bisa menyelamatkan Nana kalau kita melukai Ayahmu dan memusnahkan Ifrit. Walau mungkin cukup sulit mengalahkan Jin dengan kelas terkuat,"



"Remi... Aku tidak ingin menumpahkan darah yang tidak perlu. Aku hanya perlu mengakhiri nafas koruptor yang berada di balik ruangan itu, dan pekerjaanku selesai,"


"Koruptor?" tanya Remi tidak paham.


"Ayah! Apa maksud dari semua ini?!"



"Aku adalah seseorang yang lemah dan tidak punya kekuatan. Aku hanyalah budak yang hanya bisa berteriak dalam hati melihat tirani sang raja..."

Ayah menatapku dan Remi, seakan meminta kami memahaminya.


"Sentral adalah tempat busuk di mana konspirasi selalu menang. Di mana kemenangan sudah ditentukan sebelum pertandingan di mulai. Tempat di mana Rakyat terlihat damai sedangkan di bawah permukaan mereka dihisap oleh lintah-lintah darat yang haus kekuasaan dan kekayaan,

Dan gara-gara orang itu... Ibumu..."

"Aku tidak mengerti, Ayah. Tapi apa membunuh manusia seperti ini terjustifikasi oleh hukum?!"

"Hukum? Maksudmu sekumpulan pasal yang dibuat manusia dan penuh kecacatan itu? Yang saling mengkontradiksi dirinya sendiri dan tidak pernah diterapkan dengan adil?

Pada akhirnya hukum manusia tidak ada yang bisa dipercaya. Aku akan melakukan hal yang aku yakini benar... Hasil akhir yang akan menentukan semuanya, nyawa koruptor itu tidak lagi berharga di mata Tuhan,"




"Cukup arogan untuk paman berbicara mengatas namakan Tuhan,"


"Meski begitu, ada orang yang lebih pantas menghukum koruptor itu!"

"Kalau yang kau maksud adalah kepolisian, jaksa dan hakim, aku sudah lama menyerah dengan badut-badut yang mengatas namakan keadilan itu. Pada akhirnya mereka juga manusia yang silau dengan harta. Dan meski beberapa orang memiliki rasa keadilan yang murni, mereka tidak akan bisa melawan arus kolusi, korupsi dan nepotisme yang sudah menjadi kanker di lingkungan pemerintah.

Anak muda seperti kalian... Acuh terhadap penderitaan orang lain. Hanya peduli dengan kemakmuran kalian sendiri. Aku yang telah melihat puluhan orang hancur di depan mataku, tidak ingin melihat ketidak adilan ini terus berlanjut,

Al, Mungkin aku hanyalah pemimpi, tapi selagi api mimpiku masih belum padam, aku akan mengorbankan Nana... dan bahkan dirimu,"




Aku tidak tahan lagi. Setiap kejadian barusan membuat otakku menerima informasi aneh yang tidak kupahami. Amarah, kebingungan, takut, dan rasa mual menjadi satu.



"Orang ini yang membuat Nana menderita, Orang ini akan menjadikanmu tumbal selanjutnya, LIHAT DENGAN MATA KEPALAMU SENDIRI! Apapun alasannya, jangan dengarkan!" Remi berteriak di depan wajahku seakan aku manusia yang sudah tidak lagi mempan dibujuk.


Di sudut hatiku aku merasa hal yang dilakukan ayah adalah hal yang valid secara subjektif. Tapi di sisi lain, mengorbankan Nana sangatlah tidak adil.


"Aku tidak tahu kalau yang paman Agus lakukan benar atau salah. Tapi yang jelas paman telah terbujuk rayuan iblis. Iblis memberikan harapan kepada mimpi Paman... tapi satu hal yang aku tahu, Iblis tidak akan pernah memberikan happy ending,"


Ayah terdiam mendengar jawaban Remi.

"Berapa banyak sesuatu yang berharga untuk paman jadikan tumbal? Berhentilah sebelum terlambat, Paman!" Remi masih mencoba membujuk Ayah dengan pisau yang terhunus.

"Sepertinya membuat kalian paham akan menghabiskan waktuku yang semakin sempit,"

Orang tua ini benar-benar keras kepala kalau masalah pendirian.


"Kalau aku berhenti sekarang... Apa arti pengorbanan Ibumu dan Nana..."


Mendengar kalimat itu, rasanya aku seperti baru mendengar bahasa alien dan berusaha mencerna arti kalimat barusan.

"Apa maksud kalimat barusan?"

"Apa arti semua penderitaan dan rasa sakit dari Ibumu dan Nana,"


Aku masih tidak bisa memahami kalimat barusan.

"Mengendalikan setan tingkat tinggi seperti itu membutuhkan bayaran yang tidak murah,"

Artinya, Orang ini mengorbankan Ibu dan Nana untuk mengendalikan makhluk ini?!


"Aku tidak suka pilihan katamu, Nak Remi. Sudah kubilang ada perbedaan antara Tumbal dan Pengorbanan,"


"Tutup mulutmu! Dan kau sebut dirimu seorang manusia?!"



Remi melangkah perlahan dan mempercepat langkahnya beberapa meter di depan Ayah. Melompat dan memanfaatkan massa tubuh dan akselerasi untuk memperbesar gaya yang dihasilkan dari serangannya.

Ayah yang tidak memiliki pelindung serangan jarak dekat terpaksa menggunakan pistolnya untuk menghentikan serangan Remi.

Saat tangan ayah sibuk menerima serangan atas tersebut, Remi melemparkan kakinya membentuk gerakan salto dan menjadikan tubuh ayah tembok untuk kembali di darat dengan anggun.


Ayah menahan rasa sakit karena dadanya ditendang. Dia menggerakkan tangan kirinya ke depan. Seakan merespon kode tersebut, bayangan hitam di samping Ayah menerkam dengan segera.

Remi yang memiliki sepersekian detik untuk berpikir memutuskan untuk menangkis kepalan hitam yang entah bisa disebut tangan atau tidak. Yang jelas bermodal sisi tajam pisau di luar dan sisi tumpul pisau ditahan oleh telapak tangannya, Remi menerima serangan itu.

Sepertinya karena kekuatan bayangan besar itu tidak bisa diremehkan, Remi dengan mudah terpental ke arah tembok. Tanpa pikir panjang aku melompat dan menjadikan diriku medium di antara tembok dan Remi. Tubuh Remi benar-benar terlempar, tapi sepertinya karena Remi mengikuti momen pukulan makhluk itu, tubuhnya tidak mengalami luka. Menahan serangan seperti itu bisa-bisa mati konyol.


Menghiraukan rasa sakit sementara yang kurasakan, aku bangkit sambil membimbing Remi.

"Thanks, Al. Menabrak tembok rasanya benar-benar sakit,"

"Memang kau pernah?"

"Setidaknya 2 kali sehari kalau sedang latihan dengan Ayahku. Tapi melihat kekuatan Ifrit, rasanya kita kabur saja, melawannya adalah perbuatan konyol,"



Bayangan hitam itu melesat dengan kecepatan yang tidak bisa dipercaya untuk makhluk sebesar itu. Massa dikali akselerasi sama dengan gaya. Sudah jelas menerima serangan ini mengakibatkan kerusakan yang fatal.

Remi menarik kerahku dan melempar tubuhku ke arah samping. Sial, sudah berapa kali tubuhku dilempar-lempar seperti sampah permen karet seperti ini.

Remi berhasil menunduk dan menghindari kepalan makhluk bernama Ifrit itu. Kesempatan itu tidak di sia-siakan Remi untuk berlari sekuat tenaga ke arah Ayah.

Serangan pisau selanjutnya mengarah ke perut, namun reflek Ayah tidak bisa diremehkan. Pistol di tangan kanannya masih setia menjadi perisai. Sapuan kaki Remi pun bisa di hindari dengan mudah. Ayah mengarahkan pistolnya tepat ke arah kepala Remi.


Sial!

Aku berlari seperti pemain rugby yang kesetanan.

Tapi sepertinya menarik pelatuk itu hanya membutuhkan sepersekian detik. Kecepatan lariku tidak akan bisa melindungi Remi. Saat aku pikir 'habislah sudah', Remi memutar kakinya dan menendang ke arah atas.

Tendangan itu dihindari juga, dan sekali lagi pistol mengarah ke kepala Remi. Remi melempar tangan kanannya yang lagi-lagi dengan mudah dihindari Ayah.

Aku lemparkan tubuhku menggenggam perut Ayah dan menubruknya jatuh. Melempar pistolnya yang tidak tergenggam dengan sempurna karena seranganku barusan. Walau saat hampir mendarat Ayah menendang perutku sekuat tenaga.


Sensasi yang benar-benar luar biasa. Aku pernah sekali kena tendang di perut, merasakan sensasi itu lagi membuatku ingat betapa aku tidak ingin lagi berkelahi.


Kami bertiga lelah dengan perkelahian cepat barusan yang bisa saja merenggut nyawa salah satu dari kami bertiga.


"Ka-kalau Paman Agus mau, aku sudah mati 3 kali tadi," kata Remi sambil mengatur nafasnya.

Ayah hanya diam saja dan berdiri lagi.

Saat aku ingin berbicara, hantaman yang sangat kuat dari arah punggungku datang. Rasa sakitnya benar-benar mengalahkan rasa sakit yang pernah kualami selama ini. Hantaman Ifrit melemparku jatuh ke depan kaki Ayah.


Saat aku bisa berpikir dengan tenang. Tubuhku sudah tergeletak tidak bertenaga di bawah. Tapi aku masih berusaha bangkit.

Remi yang juga terkena serangan tiba-tiba barusan, tergeletak lemas di lantai.


"Remi!"

Muntahku dan Remi yang entah sejak kapan berserakan di lantai tanpa kusadari. Ayah meski terlihat tenang walau keringatnya membasahi sekujur tubuh.

Aku berlari memastikan keselamatan Remi. Dia masih bernafas dan berusaha berdiri. Sedangkan ayah berdiri di dekat kami.


Benar kata Remi. Kalau ayah ingin membunuh, dia bisa melakukannya daritadi.


"Tolong berhenti..." Ayah terlihat penuh rasa bersalah.

Ayah mengarahkan pistolnya ke arah kami.

Itu cuma gertakan. Ayah tidak akan menembakkan pistol itu. Karena percaya dengan fakta itu, aku berdiri dan menatapnya tajam.

Ayah menurunkan tangannya.


Melihat kesempatan itu, Remi berdiri dan menarik tanganku untuk berlari sekuat tenaga.


***

"Stop!"

Aku berhenti berlari dan melepas genggaman Remi.

"Kita kembali," kataku

"HAH?! Kita sudah susah payah lari dari makhluk ganas yang bisa merontokkan tulangmu hanya dengan sekali pukul. Sekarang kau ingin kembali?!" Remi terlihat sedikit kecewa

"Tapi aku tidak ingin ayahku menjadi seorang pembunuh. Dia belum melakukannya, masih ada kesempatan!"

Ayah benar-benar terlihat bingung dan penuh rasa bersalah. Ayah pasti tidak menginginkan ini semua.

Remi menatapku bingung. Dia menggigit bibirnya seakan menimbang-nimbang kalimatku.

"Apa lagi yang akan kau lakukan? Arggh! Kenapa aku juga jadi ikut bingung?!"


Saat itu terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Seketika perhatian kami tertuju ke arah suara itu.

Pria pirang membawa seorang gadis di belakang punggungnya. Dia terlihat begitu lelah, tapi kilau matanya sama sekali tidak terlihat akan menyerah.


"Raisen!"

"Al? Remi? Syukurlah kalian selamat." Raisen terlihat benar-benar lega melihat sosok kami berdua.

"Mau kau bawa ke mana, Nana?! Aku kira kau temanku!" kataku setengah bercanda.


"--Mayat,"

Eh? Apa yang baru saja dia katakan?

"Aku buru-buru kembali ke sini karena ponselku ketinggalan... Tapi saat aku lewat di lantai satu, aku mendengar suara aneh. Lantai satu penuh dengan ruangan VIP, karena aku penasaran, aku mampir sebentar.

Yang kudapat adalah kumpulan mayat yang berserakan--Ugh,"

Raisen terlihat pucat dan menahan keinginannya untuk muntah di depan kami.


Aku menatap Remi.

Ayah berada di lantai 4, di depan ruang VVIP. Sedangkan pembunuhan justru terjadi di lantai dasar. Saat aku mencoba memutar otakku, aku baru ingat kalau beberapa petinggi daerah terkena keracunan makanan. Berita itu aku lihat tadi pagi, tapi karena sesuatu seperti itu tidak menarik perhatianku aku tidak membacanya secara detil.

Sedangkan petinggi lantai 4 yang berada di ruang VVIP...

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sentral... Subagyo Sarjono.


"Festival" berdarah malam ini, tidak hanya diramaikan oleh satu orang saja.


***

Yeah another chapter. I have to keep the pace.

2 komentar:

Zetsudou Sougi mengatakan...

Ayah menyodorkan segelas minuman jahe hangat kepadaku. Aku menerimanya dan mencoba satu teguk. Rasa hangat jahe serasa sangat pas di tenggorokan di malam yang dingin ini.
^
THIS. Auto LOL!

Anonim mengatakan...

saya late read juga, lol
BRUTAL dan INTENSE :top:
+1 untuk wedang jahe nya