Akhirnya update juga. Btw, kalau anda liat di bagian kanan bawah ada satu blogger lagi yang nambah di daftar, yeah, That's Shuten. I like his writing, I've read his 'Reeve and Eve' and it's very good. Kalau ada waktu tengoklah tulisannya,


Without further ado,



Days Witchcraft Chapter 02


Head <-> Bomb




Sentral Park.
13.14



"Lihat-lihat! Jam ku menunjukkan pukul 13.13! Say, say~ lihat dong~ Ah! Berubah deh! Kamu sih kelamaan!"

Jim hanya garuk-garuk kepala melihat tingkah pacarnya yang berlebihan. Apa lagi dia sekarang sedang dalam teror atasannya yang melakukan spam SMS, E-mail dan Telepon terus menerus. Rasanya berpura-pura ponsel ketinggalan di rumah sudah tidak bisa.

"Sebentar, bos menelepon,"

Gadis yang ada disamping Jim diam dengan segera.


"Ha-halo Bos,"

"Gajimu kuputong"

"A-ada apa sih, Bos? Panas-panas gini bikin ribut aja,"

"Sedang apa kau? Aku butuh bantuanmu sekarang,"

Jim hanya menundukkan kepala tanda tidak bisa menolaknya. Nona Rosa Suryohadikusumo tidak menerima kata 'tidak' di setiap perintah yang dia berikan. Meski dia tidak bisa memecat Jim, tapi perintahnya hampir setara dengan melayani Tuan Djoyo.

"Aku sedang kencan, ada masalah?"

"Tinggalkan urusanmu, ada yang ingin ku bicarakan. Dalam waktu 15 menit kutunggu di depan terminal,"

Langsung ditutup.

"Hah~ Sepertinya aku harus pergi sekarang," kata Jim dengan nada malas.

"EEHH~~ Kita kan baru aja nyampe,"

"Si bos sudah sewot menungguku, kita tunda minggu depan, Ok?"

"Nggak! Nggak mauuu~! Sekarang pilih! Aku atau Pekerjaanmu!"



"Tentu saja pekerjaan,"


Meninggalkan pacarnya yang mengeluarkan sumpah-sumpah kotor, Jim bergegas menuju ke arah terminal.


***

Sentral Bus Station
13.20


"Jadi, sekarang kau tinggal di Rumah Utama Keluarga Suryohadikusumo? Lalu adik-adikmu tinggal di tempat Nenek dari keluarga ibu. Hm... padahal aku kangen dengan si Nana,"

"Yah apa boleh buat. Di sana lebih nyaman daripada tinggal di kota ini. Aku juga tidak ingin mengingatkan hal-hal buruk yang di alami Nana,"


"Apa boleh buat. Lain kali kalau dia liburan ke sini, ajaklah dia ke rumahku,"

"Kalau situasi sudah memungkinkan, pasti,"


Remi dan aku berjalan menuju arah terminal. Sepertinya dia mendapat perintah dari bosnya. Aku tidak tahu urusan macam apa yang akan dilakukannya. Begitu aku sadar tiba-tiba rasa paranoid menyelimuti diriku.


"Sayang sekali padahal aku masih ingin berbincang denganmu setelah sekian lama, tapi apa boleh buat Tuan Sabit sudah menungguku. Tidak baik membiarkan atasan dan orang yang lebih tua menunggu."

"E-eh, O-oke,"

Remi menghela nafas.

"Kalau kau ingin mengunjungi tempat pengobatan alternatif itu, beritahu aku. Kita bertemu lagi dalam waktu dekat,"

...

"Lalu kenapa kau tidak melepaskan tanganmu dari jaketku?" kata Remi sambil tersenyum meski nada bicaranya sedikit aneh.


Er... Kenapa?

"Maka dari itu, lepaskan! Kalau kau memegangi jaketku seperti ini aku tidak bisa jalan,"

Aku tetap memengangi jaket Remi sekuat tenaga. Aku sendiri baru sadar kalau tanganku bisa bergerak sendiri seperti ini. Apa ini reflek? Atau mungkin pengaruh dari Setan yang menguasaiku? Jangan-jangan aku mengidap DID?!

"Jangan bohong! Kau melakukannya dengan sengaja,"

Ok. Aku bohong. Aku sengaja.

"Tolong, kau sudah bukan anak kecil lagi. Lepaskan baik-baik karena aku ada urusan penting."

"Kalau aku tidak mau melepasnya?"


Remi menaruh telapak tangannya di dahi sambil menghela nafas.

"Aku kira setelah dua tahun kau lebih cool dan dewasa. Mau kuberitahu pun aku tidak bisa. Apa tidak cukup identitas rahasiaku terbongkar di depanmu?"

Memang menjadi Spiritual Attendant bukan sesuatu yang boleh dipamerkan kepada orang lain. Apalagi keluarga Suryohadikusumo tempatku tinggal dan Sabit Agency tempat Remi mengabdi tidak dalam hubungan yang baik. Mengadakan pertemuan seperti ini dengan salah satu kubu lawan jelas mengundang kecurigaan bila sampai ketahuan. Aku bisa memaklumi kalau Remi harus menjaga rahasia perusahaan.

"Lalu kenapa kau masih memegangi jaketku?!"




"...Terakhir kali kau mengatakan 'sampai jumpa besok' kau bertingkah seperti orang idiot tanpa memberitahu dan berakhir di rumah sakit selama dua minggu dan 2 tahun tidak kembali," mengatakannya dengan pelan aku mengalihkan pandanganku ke tanah.


Aku memindahkan pegangan tanganku dari sudut jaketnya menuju tangan kirinya. Tangan kiri yang benar-benar terlihat lemah dan tidak memiliki tenaga. Tangan itu seperti kristal rapuh yang seakan akan hancur begitu saja jika digenggam terlalu kuat.



"Ka-kau masih mengungkit kejadian it-"


"Maafkan aku," aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh seakan-akan hidupku bergantung dengan ucapan ini.


Aku melirik ke arahnya.

Dia tersenyum kecil sambil menaruh tangannya di dagu.


"Ya, ya aku maafkan,"

Dia menjawab dengan enteng seakan-akan memaafkan dosa sebesar yang kulakukan semudah membalikkan tangan. Karena terlalu mudahnya aku sampai ragu kalau dia sudah memaafkan.


"Kenapa kau ragu? Aku sudah memaafkanmu sebelum kau minta maaf. Kalau orang-orang di TV pasti akan bilang 'Itulah gunanya teman,'"

Senyum itu lagi.


Dia mungkin tidak secantik anggota keluarga Aristokrates ataupun memiliki kharisma seperti Fera Gunawan dari Geng Kapak. Tapi disaat seperti ini 'sihirnya' keluar. Senyumnya itu membuatku tidak sanggup memandang matanya secara langsung. Aku yakin wajahku semerah tomat yang sudah matang.


Remi memberi lambaian tangan terakhir sebelum masuk terminal.

Meski sudah dua tahun berlalu, perasaan ini tidak pernah berubah. Aku baru sadar kalau barusan aku bertingkah seperti orang autis. Sial, sekarang aku butuh mesin waktu untuk kembali ke 10 menit yang lalu.


***

Kafe Laba-Laba Merah
13.40

Di sebuah kafe tua di dekat stasiun Sentral. Orang-orang menghindarinya karena kafe tersebut tidak cukup memiliki ventilasi dan meski di siang hari, kafe itu membutuhkan lampu penerangan. Cahaya matahari tidak mampu menyusup kafe yang sebenarnya merupakan tempat temanku bekerja.

Kafe Laba-Laba Merah.

"Ohoho, Al. Ada yang bisa kubantu?"

Segera setelah aku duduk tepat di depan manajer kafe yang duduk satu ruangan dengan konsumennya, dia segera menawarkan jasanya.

"Di mana Raisen?"

"Dia sedang keluar. Sepertinya dia sedang mencari info dari dalam Geng Kapak. Aku harap dia baik-baik saja," kata orang tua itu.

Dia memakai topi. Tubuhnya besar dan berotot. Jenggotnya putih seputih rambutnya. Orang tua ini adalah harddisk dari rahasia kota Sentral. Meski tidak terlihat dari penampilan luarnya, orang ini adalah informan nomor satu di Sentral.

Raisen sepertinya belum pulang. Aku lebih tertarik meminta informasi dari sahabatku sendiri daripada orang asing di depanku. Bukan masalah ketidak percayaan tapi biaya untuk info yang dimilikinya sering kali melebihi 6 digit IDR.

"Sedang mencari info apa?"

"Aku yakin kau akan memasang harga selangit. Tapi aku ingin tahu organisasi atau kelompok atau sekte yang berlambang seperti ini,"

Aku menyodorkan kertas dengan lambang lingkaran aneh itu.

"Lambang menarik yang kau miliki, Anak Muda. Aku punya beberapa info menarik. 300,000 IDR,"

"...Tumben kau memberikan info murah, kau tidak akan menjawab hanya dengan satu dua kalimat, kan?"

"Anak muda, aku tidak pernah menjual info yang tidak lengkap,"

Aku menarik dompetku dan menaruh 3 lembar 100,000. Dengan berat hati.


"Ini lambang perkumpulan religius. Aku punya beberapa lembar selebarannya. Sayangnya mereka tidak memberikan ini seperti orang yang sedang menyebarkan selebaran penipuan di jalan. Mereka bermain lebih bersih dan pilih target. Raisen punya file lengkapnya setelah dia pura-pura menjadi anggota,"

Aku kagum dengan orang tua yang bisa menyuruh Raisen untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya hanya untuk mengorek informasi-informasi yang belum tentu orang lain ingin tanyakan.

"Lambangnya persis seperti ini? Ceritakan semua yang kau ketahui,"

"Hm... untuk 300,000 IDR? ... Ya sudah, anggap saja aku sedang baik hati.

Begini, aku pertama kali mendengarnya 2 bulan yang lalu. Mereka terdiri dari 6 sampai 10 pengikut. Jumlahnya fluktuatif. Tapi belakangan mereka mulai mendapatkan 31-38 pengikut. Jumlah yang cukup besar,"

"Apa saja kegiatan yang mereka lakukan,"

"Aku tidak tahu detilnya. Tapi mereka mengadakan perkumpulan dua minggu sekali. Lokasi nya berpindah-pindah tapi aku yakin mereka tidak seenaknya menarik perhatian masyarakat umum,"

"Apa kau pernah dengar kalau mereka ada hubungannya dengan peristiwa Malam Berdarah 2009?"

"Sebenarnya sampai sekarang aku pun masih mencari keberadaan pelaku malam itu. Polisi mau membayarku dengan jumlah cukup besar, sayangnya dia seperti Iblis. Membunuh orang sebanyak itu tanpa meninggalkan petunjuk sedikit pun,"

Sedetik dadaku terasa berhenti. Orang yang tahu identitas pelaku itu cuma Remi dan Aku. Remi diam karena aku menyuruhnya diam. Bahkan Jenggot Putih sang Informan pun tidak bisa melacak keberadaannya. Tapi aku yakin 'Orang itu' masih hidup di kota ini, di salah satu sudut Sentral, menikmati kopinya dan tertawa melihat kejadian-kejadian di kota ini.

"Nak, aku beri kau bonus. Kau tahu Franz Budi?"

"Siapa itu?"

"Siang ini dia di makam kan, dia salah satu anggota Geng Kapak,"

Ah, siang ini saat aku akan pergi bertemu Remi, di dekat Pemakaman Umum Sentral ada pemakaman yang benar-benar ramai.

"Apa dia petinggi Geng Kapak?"

"Bukan. Kalau dianalogikan dengan totem pole, bisa dibilang dia yang paling bawah,"

Serius? Untuk seseorang yang bukan siapa-siapa dia benar-benar menarik perhatian yang besar.


"Dia sepertinya ada hubungannya dengan perkumpulan ini,"

Hubungan?

"400.000 IDR,"

Kakek sialan ini main kotor.

"Aku tidak bawa uang cash lagi,"

"Kau bisa titipkan kartu kreditmu,"

"Kalau kau tidak mau cerita, aku akan tanya ke Raisen. Aku yakin dia lebih mudah di ajak negosiasi. Dan kau masih berhutang info tentang Insiden Aristokrates 2 bulan yang lalu,"

"Geh, untuk seorang bocah ingusan daya ingatmu seperti gajah,"

Terimakasih gara-gara sepupuku yang materialistis. Dia memaksaku mengingat seluruh pengeluaranku dengan terperinci. Dari membeli informasi sampai membayar parkir.


"Dan aku masih belum puas dengan informasi seharga 300,000 IDR barusan. Lain kali aku datang lagi,"

Aku meninggalkan kafe Laba-Laba Merah dan segera menghubungi Raisen. Harusnya aku melakukan ini dari awal.


***

Sentral Bus Station
14.40

Jim yang sedang menunggu Rosa di depan terminal hanya bisa memasang wajah penuh amarah.

"Dia yang bilang 'Aku tunggu di depan terminal~' dan dia sendiri belum datang! Gadis sial itu! Membuatku meninggalkan kencanku, awas kalau bukan hal penting yang dibicarakan, akan kukuliti dia!"



"Permisi, Tuan"

Seorang gadis bergaun putih menghampiri Jim. Rambutnya berwarna biru gelap dan membawa selebaran di tangan kanannya.

"Punya waktu sebentar?"

"Untuk nona manis dengan gaun yang indah seperti ini, waktu berhargaku akan kuluangkan kapan saja,"

Gadis itu tersipu mendengar kalimat Jim.

"Sa-saya bisa minta bantuan sebentar?"


***


Remi Cakrawinata, berjalan perlahan di koridor utama Rumah Keluarga Sabit. Beberapa orang yang dia temui berlalu lalang dengan sibuk, Malam ini adalah pertemuan tahunan antara Keluarga Cakrawinata dan Sabit.


Rumah besar yang jadi satu dengan markas Sabit Agency ini selalu membuat Remi kagum. Ornamen-ornamen megah selalu bertambah tiap kali dia berkunjung.

Sabit Agency baru sekitar 8 tahun memasuki kota Sentral, namun bisa mencapai kejayaan seperti ini tidak lain karena sang Jenius Sabit Wijaya, kepala keluarga saat ini. Dulunya keluarga Sabit bergelut dibidang agraris, jauh dari keramaian kota dan memiliki ratusan hektar tanah. Sabit Wijaya, setelah mendapatkan seluruh warisan dari keluarga Sabit, membangun rumah di Sentral dan menjadi salah satu orang paling berpengaruh di kota ini.

Keluarga Cakrawinata yang bersanding dengan keluarga Sabit sebagai penasihat spiritual di belakang layar, tentu saja ikut mengalami perubahan besar-besaran. Salah satu alasan mengapa Remi pindah dari desa menuju Sentral 4 tahun yang lalu.



"Kau telat Remi, darimana saja kau?"

Suara berat yang menyambut Remi itu terlihat tidak senang. Tubuhnya kekar dan terlihat tegas. Berdiri di depan pintu menunggu puteri satu-satunya.

"Maafkan saya, Ayahanda. Saya baru saja bertemu dengan teman lama, sekedar melepas rindu karena lama tidak bertemu,"

Ayah Remi mengangkat alisnya.

"Kau tidak bertemu dengan bocah terkutuk itu, kan?"

Remi terdiam sesaat. Sepertinya tanpa menjawab pun rasanya ayah Remi sudah tahu siapa yang Remi temui. Di sudut hatinya dia merasa tidak nyaman teman baiknya disebut 'terkutuk'. Walau secara teknis Al masih belum lepas dari kutukan yang diakibatkan Malam Berdarah 2009.


"...Apa ayahanda tidak suka saya bertemu dengannya?" Remi memutuskan untuk tidak menjawab dan memilih balik bertanya.

"Tidak suka. Kalau aku menyuruhmu untuk tidak lagi bertemu dengannya, apa kau akan mengikuti perintahku?"

"Kalau Ayahanda melarang, beritahu kenapa?"

Ayah Remi memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan sambil berjalan.


"Dia terkutuk, selain itu dia tahu kalau kau Spiritual Attendant. Dia adalah salah satu penerus Suryohadikusumo, mereka racun kota ini yang mengedepankan logika dan tidak punya hati saat berbisnis. Mereka yang menggusur rumah-rumah ilegal milik kaum pinggiran dengan tawa di wajahnya. Dan lagi dia yang membuat tangan kirimu cacat. Apa aku perlu menambahkan lagi alasan? Bagimu mungkin alasan itu tidak cukup untuk membencinya, tapi bagi Ayah, nyawanya sekali pun tidak akan menghapus kesalahannya,"

Remi meraba tangan kirinya yang tidak mampu menggenggam dengan sempurna. Meski terapi bersama neneknya selama dua tahun belum cukup menyembuhkannya.


"..." Remi terdiam dan tidak membalas satu kalimat pun. Perintah dari ayahnya adalah absolut.

Meski Al adalah salah satu calon penerus keluarga Suryohadikusumo, dia jauh berbeda dengan sepupu maupun kakeknya. Remi paham betul dengan fakta itu. Tapi untuk mengatakan itu pun Remi tidak berani.

"Ayah berharap kau tidak bertindak bodoh seperti kakak laki-lakimu,"


Sambil mempercepat langkahnya, Ayah Remi meninggalkan Remi yang tenggelam dalam pikirannya.



"Padahal, aku benar-benar mencintainya, bisik Sang Gadis dalam hati. Ayahnya yang menentang keras hubungan dengan sang kekasih--"


"Mama?!"

Remi kaget dengan kemunculan ibunya yang tiba-tiba hadir dan mengucapkan narasi yang tidak jelas.

"Bagaimana kencanmu?"

"Ke-kencan apa?"

"Ah~ Jangan pura-pura bodoh, kau ketemuan dengan Al di kafe dekat terminal, kan?"

"K-kok Mama tahu?"

"Aku mengintip e-mail di HP mu,"

"..."

Remi hanya menghela nafas dan melanjutkan berjalan menuju aula pertemuan.

"Kapan Mama datang?"

"Dari kemarin aku di sini. Ngomong-omong Remi, bagaimana kabar Al? Apa dia tambah cool?"

"Ngomong apa Mama ini, Al baik-Baik saja... sepertinya," jawab Remi tidak antusias.

"Hm~ 'Ah, di tengah-tengah pergumulan mereka di dekat semak-semak, nafas memburu dan keringat yang menetes deras seperti hujan di akhir Oktober. Suara ponsel menghentikan mereka. Remi segera mengangkat telepon dari Sang ayah.

Remi bertukar kalimat dengan sang Ayah. Ternyata dia harus segera pulang. Melihat ekspresi kecewa Remi, Al hanya membelai lembut pipi Remi yang seperti--"

"STOP! STOP! STOP!! Hentikan... TOLONG!"

"Aha~ Kenapa wajahmu memerah~?"

"GGGAAAAAAHH!! Tolong jangan gunakan anakmu sendiri sebagai karakter untuk berkhayal. Yang lebih penting jaga khayalan Mama di kepala dan tidak perlu mengatakannya keras-keras!!" Remi berusaha keras meluruskan perbuatan amoral ibunya sendiri.

"Khuhukhu, sepertinya kemampuanku sebagai penulis novel dewasa belum luntur,"

"Tunggu dulu, kenapa Mama terlihat sangat bangga?!"



***



"Kenapa dengan wajahmu? Baru saja bertarung melawan raja lebah?"

Aku miris melihat wajah Raisen yang babak belur seperti maling ayam baru diamuk massa. Rambut pirangnya hasil dari pernikahan ayahnya Swiss dan ibunya orang lokal asli, terlihat berantakan.

"Oh shut up. Aku beruntung hanya mendapat 3 atau 4 pukulan diwajah dan bonus 6 pukulan tepat ke perut. Damn, the pain!"

"Aku heran kau masih saja mengumpulkan informasi langsung ke sarangnya. Bukannya kau punya banyak koneksi dalam?"

Aku sudah mengenalnya lebih dari 5 tahun dan dia masih saja seorang laki-laki yang rasa ingin tahunya lebih dari ilmuwan sinting dan mengejar secuil data seperti paparazzi. Kalau dia jadi reporter infotaimen entah berapa artis yang akan hancur masa depannya karena mengungkap skandal mereka semudah memasak air.



"Justru karena aku punya koneksi ke dalam aku berani melakukan semua ini. Hari ini aku hanya tidak beruntung,"

Raisen mengatakan itu sambil mengompress pipinya yang bengkak dengan es yang ditawarkan penjaga warung.

"Lalu bagaimana dengan Remi? Kau dapat sesuatu darinya?"

"Oh ya, dia mengatakan sesuatu tentang sekte ini,"

Aku mengambil kertas di kantong jasku dan memberikannya pada Raisen. Dia mengangkat alisnya.

"Persaudaraan Syurga?"

Telingaku tergelitik mendengar nama yang terdengar norak dan unik. Kelihatannya dia tahu satu atau dua informasi penting.

"300,000 IDR sudah kubuang percuma ke Kakek sialan itu,"

"Kalau kau bertanya padaku, 1,200,000 IDR"

"...Serius?"


"Serius. Belakangan ini aku sedang kurang uang. Memangnya uang segitu susah untuk Tuan Al Suryohadikusumo?"

Menghiraukan nada mengejeknya, aku menjawab.

"Aku bayar akhir bulan. Beritahu apa yang kau ketahui,"


"2 bulan yang lalu saat insiden pembunuhan massal Keluarga Aristokrat, aku mendapat benang merah menuju kelompok ini. Awalnya aku kira mereka sekte aneh semacam pemuja setan. Cukup kaget saat aku tahu kalau beberapa dari mereka adalah pengusaha cukup besar di kota Sentral dan beberapa aktivitasnya melibatkan kedermawanan yang luar biasa.

Selain itu lambang ini mengingatkanku dengan insiden 2 tahun lalu,"

"Malam Berdarah 2009..."

"Yeah, that's right. Malam itu aku juga terjebak di Rumah Sakit Umum Sentral... Malam yang tidak menyenangkan,"




Aku masih menyembunyikan fakta bahwa aku tahu identitas dari pelaku sebenarnya. Tapi kau tidak akan bisa menangkap pelaku tanpa bukti, apalah kekuatan testimoni tanpa bukti yang kuat.


"Mungkinkah Persaudaraan itu adalah otak dibalik Malam Berdarah itu?"

Raisen memandangku sebentar.

"Maybe. Aku juga berpikir seperti itu. Sampai sekarang aku belum bertemu orang yang mungkin melakukan Malam Berdarah 2009. Tapi yang lebih sulit daripada mencari pelaku adalah mencari buktinya.

Sampai sekarang aku masih tidak bisa mengorek banyak informasi bagus dari Persaudaraan ini. Aku juga perlu hati-hati, salah langkah bisa-bisa aku di anggap murtad dan tidak tahu apa yang akan mereka lakukan padaku.

Selain itu, kau tahu kan kalau beberapa minggu terakhir 4 kubu berpengaruh di kota ini terus-terusan mendapat insiden aneh?

Di mulai dari insiden Keluarga Aristokrates 2 bulan yang lalu, kematian Franz Budi dari Geng kapak yang misterius. Setelah itu keluarga Sabit yang diserang penyakit aneh..."



Insiden Keluarga Aristokrates yang kehilangan separuh dari anggota keluarganya 2 bulan yang lalu... Lalu, Franz Budi dan Penyakit aneh... Aku belum tahu detail Franz Budi, kalau penyakit aneh aku sudah dengar dari Remi kalau itu 'santet' kecil-kecilan yang belakangan terus menyerang Keluarga Sabit.

Aku yakin, orang yang bisa melakukan semua ini bukan orang sembarangan. Manusia biasa tidak bisa melakukan semua ini.


Raisen mengambil sebatang rokok dari kantung bajunya. Sebelum dia menyalakannya dia masih memiliki satu berita,"

"Dan yang terbaru..."


***



"Nona, tolong mundur ke belakang garis polisi!" Salah satu petugas mencoba mendorong Rosa ke belakang.

"Saya, adik dari korban," Meski terlihat sedikit khawatir, Rosa masih menjaga ketenangannya. Dia masih bisa berbohong tanpa terlihat sedang menipu.

Eve segera mengajak petugas bernegosiasi. Setelah beberapa saat, pemimpin investigasi datang dan Eve bertukar pembicaraan dengannya. Rosa melihat dari kejauhan sambil melihat asistennya dengan lihai membujuk petugas.


"Bagaimana, Eve?"

"Saya sarankan agar Nona tidak melihat, kondisinya benar-benar mengerikan. Tapi kalau Nona memaksa, mari ikut saya,"

Eve dengan tenang membimbing Rosa menuju sudut gang sempit yang gelap karena cahaya matahari terhalang oleh gedung tinggi di sekitarnya. Beberapa petugas forensik mondar-mandir di TKP menatap Rosa dan Eve dengan pandangan tidak biasa.


Di sudut gang, terdapat tempat pembuangan sampah. Di tempat itu tergeletak mayat. Mudah mengenalinya karena baju yang dikenakan adalah kemeja favoritnya. Terduduk di antara sampah yang berbau busuk seakan tubuh yang dulunya milik makhluk bernama manusia itu sudah tidak berharga lagi.

Keanehan yang tidak bisa dipungkiri dari mayat itu adalah dia sudah tidak memiliki kepala. Manusia yang mati dengan kondisi seperti ini sudah tidak bisa diperlakukan dengan hormat. Pembunuhnya sudah merenggut kehormatan mayat ini dengan meledakkan kepalanya tanpa ampun.

Bekas-bekas daging yang bercipratan ke segala arah membuat pemandangan semakin menjijikkan.


Rosa tak tahan dengan sensasi yang menggeliat di perutnya dan menumpahkan isi perut karena pemandangan yang sadis itu.

"Nona!"

Eve yang segera melindungi bosnya dari pemandangan asing yang tidak akan pernah ditemukan jika kau hidup sebagai manusia biasa.

Saat Eve mengira Rosa kehilangan tenaganya, Rosa mengisyaratkan kalau dia baik-baik saja.


"Heh... Aku tahu kalau Jim manusia gagal. Tapi mati dengan kondisi seperti ini... Pelakunya seakan menantang seluruh keluarga Suryohadikusumo,"



***



"Jim..."

Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Eve baru saja menelepon kalau Jim mati dibunuh. Eve yang hendak menceritakan kondisi secara detail pun tidak kuizinkan meneruskan. Aku mual hanya dengan membayangkannya.

Disisi lain, Raisen terlihat tenang.


"Jim... Spiritual Attendant, kan?"

Aku terkejut mendengarnya. Meski aku sering meminta informasi dari Raisen, bukan berarti aku seenaknya membocorkan rahasia keluarga dengan mengatakan identitas Spiritual Attendant kami.

Tapi baru saja aku menyadari kalau reaksiku membuat Raisen menjadi lebih yakin.


"Dari mana kau tahu?"

Raisen menutup matanya seakan membongkar gudang memori dalam otaknya.

"Rega, Vega, Helga... Pelayan Keluarga Aristokrates, merangkap sebagai Penasihat Spiritual. Dibunuh 2 bulan lalu tanpa sebab yang jelas. Ketiga mayat ditemukan di dalam ruangan tertutup, dengan kondisi terbelah menjadi tiga. Posisi ketiga potongan itu ditukar-tukar dengan mayat lain yang kondisinya tidak jauh berbeda.

Franz Budi, penasihat spiritual Geng Kapak. Baru 1 bulan menjalankan perannya. Dua hari yang lalu mati karena penyakit tiba-tiba. Keluarga meyakinkan kalau Franz tidak punya penyakit keturunan apalagi penyakit kronis menahun.

Jim, bekerja 5 tahun di bawah keluarga Suryohadikusumo. Di kenal sebagai asisten langsung Djoyo Suryohadikusumo. Siang ini meninggal karena kepalanya diledakkan dengan bahan peledak..."

Raisen hanya menebak pola kasus-kasus ini. Tapi tidak sulit setelah melihat 2 kasus sebelumnya. Kalau informasi tentang orang-orang yang terlibat dalam kasus ini lengkap siapa saja pasti segera menemukan polanya.


Raisen tersenyum seakan baru saja memenangkan sesuatu. Dia seperti anak kecil yang baru saja mengalahkan orang dewasa dalam pengetahuan umum.


"Aku tidak menebaknya,"

Eh?

"Aku sudah tahu dari awal kalau penasihat spiritual Keluarga Suryohadikusumo adalah Jim, tepatnya Chief dari Spiritual Attendant Team"


Sedetik kemudian merasa merinding. Betapa berbahanya orang di depanku kalau dia adalah musuh. Tapi otakku dipenuhi dengan implikasi bahwa jika mengikuti pola selanjutnya...


"Dan Bambang Cokrowinata...Tidak, Remi Cokrowinata, seharusnya menjadi target selanjutnya,"


***

Author Note :

.......

7 komentar:

minoru mengatakan...

Oh Remi ( ゚ Д゚)

Great chapter dude. +1 for guro.

Zetsudou Sougi mengatakan...

aw damn
chapter yg menarik ini lagi2 memicu kebiasaan buruk saya!!
I demand chara desain now

Anonim mengatakan...

Very nice, saya baca ini sambil muter bgm Umineko dan tentu saja nyambung

Dan ojou-sama yang memanggil Ayahanda dan Mama, imba sekali :3

Ngomong-ngomong di sini gak ada yang twintail ya :3c

Anonim mengatakan...

pfft comment barengan sama gecd

minoru mengatakan...

Eh iya, jadi penasaran ama desain karakternya.

Franz Budi mengatakan...

Setelah dipikir2 semua LN saya ada adegan matinya :v

@minoru
thanks, thanks glad you like it. Chara design eh

@Zetsudou sougi
I can't draw man. Gambar saya aneh :v

@Kai
loh emang saya belum bilang kalau Rosa itu twintail :???:
Pasti kelupaan

Zetsudou Sougi mengatakan...

setidaknya anda ga bakal keliru menentukan letak kuping dan mata kan?
dah gambar aja
ntar saya benerin ( dah bisa pake tablet jadi ga perlu ribet ngescan lagi )