Days : Witchcraft

Chapter 6: Flash <-> Back (Bagian Satu koma Sembilan dari Dua)


Saat Raisen dan Nana berhasil terevakuasi, aku segera berlari kembali ke lantai 4. Mereka bertanya-tanya kebingungan dan aku hanya memberikan kalimat penenang kosong. Aku tahu itu tindakan bodoh. Tapi logika ku tidak cukup untuk menghentikan keinginanku menyelamatkan Ayah dari gelapnya jurang balas dendam.


Tapi lariku terhambat oleh tangan Remi.

PLAK!


Remi yang baru saja membuat pipiku merah terlihat begitu kesal.


"Sadarkah kau Al, kau tidak bisa menghadapi kenyataan,"


Ah, rasa perih di pipi ini menyadarkan aku satu hal.

Aku tidak ingin hal yang buruk terjadi pada hari-hari damaiku. Aku ingin semua kembali seperti semula. Ayah bisa kembali bercanda dan meminta maaf atas semua kejadian barusan. Nana mungkin akan bertanya-tanya dan kami berdua akan sedikit menjahilinya sambil menyimpan rahasia barusan seumur hidup. Remi yang ikut memaafkan hanya bisa tersenyum melihat tingkahku dan ayah. Raisen akan mengalihkan pembicaraan dan kami semua tertawa.


Tapi semua tidak bisa kembali.

Ayah tetap bersikeras mencabut nyawa Subagyo Sarjono. Dia tidak ingin kembali lagi ke hari-hari damai walau sedikit melankolik itu. Remi yang sekarang adalah penerus keluarga Cakrawinata, dia tidak akan kembali dan bersenang-senang seperti gadis-gadis seumurannya. Pemahamannya tentang santet dan sihir memperburuk impresinya pada Ayah. Satu hal yang paling Remi benci adalah seseorang yang mengorbankan orang lain untuk dirinya sendiri.

Raisen tidak akan bisa menghapus pemandangan mengerikan yang terhampar di depan matanya. Beban tubuh Nana seakan terabaikan karena ketakutannya atau mungkin tubuh Nana yang semakin ringan karena kesehatannya semakin memburuk. Nana terlihat semakin lemah dan nafasnya memburu.


Saat semua orang memahami dan bertingkah sesuai dengan kondisi riil yang terjadi. Sedangkan aku masih saja memiliki bermimpi kembali ke hari-hari yang damai bersama orang-orang tersebut.



"Sudah terlambat, Al. Ayahmu sudah memasang bom waktu, yang hanya bisa diperlambat dengan bayaran yang mahal. Namun tidak bisa dihindarkan bahwa suatu hari bom itu akan meledak. Di saat dia menyerahkan dirinya kepada kontrak iblis, saat itu juga semua menjadi terlambat. Tidak ada hal yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya,"


Remi mencoba membuatku paham. Matanya penuh dengan keinginan untuk membuatku terpersuasi.


Hatiku penuh kebimbangan.



Apa tidak ada hal yang bisa ku lakukan...

Perasaan putus asa saat aku tidak bisa melakukan apa pun. Saat sesuatu yang berharga di depan mataku terenggut namun aku hanya bisa menatapnya perlahan-lahan menghilang terhapus masa. Dadaku terasa sesak hanya dengan mengingat waktu-waktu indah yang tidak akan kembali.



Remi bukannya tidak mengerti keadaanku. Dia menatapku dengan iba. Perlahan tubuhnya mendekat dan tangannya meraih kepalaku. Pelukannya yang begitu hangat belum mampu menghilangkan segala perasaan negatif yang melayang-layang di otakku.


Aku benci kepada diriku yang lemah. Terlalu lemah sampai tidak ada hal yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan keluarga kecilku yang sudah pincang.



"Aku tidak tahu kalau ada kalimat yang bisa membuatmu nyaman sekarang. Kau sudah menjalani hidup yang sulit, kau bukan orang lemah. Masih berdiri dengan tegar saat segala ujian berada di depan mata membuatmu orang yang kuat,"


Kalimat penuh kasih sayang tersebut membuatku ingin meneteskan air mata. Tidak tertahankan.

"Sekarang mari kita kembali, ayahmu sudah tidak bisa kita selamatkan," kata Remi menatapku lembut.



Apa semua ini benar? Aku seakan, membiarkan ayah tenggelam di jurang tanpa mencoba meraih tangannya.



"Ternyata aku tidak bisa meninggalkan Ayah," Aku mendorong Remi perlahan.


"Al..." Ekspresi Remi berubah menjadi kekecewaan mendalam.


"Aku tidak bisa membiarkan Ayah begitu saja,"

"Apa yang bisa kau lakukan? Kalaupun kau menyelamatkan Ayahmu, Nana juga yang akan menjadi korban. Kalau Ayahmu mati, Nana akan terselamatkan dari jeratan iblis,"


"Apa kau memintaku meninggalkan salah satu dari orang yang kusayangi?"

"Aku memintamu menyelamatkan Nana yang lebih logis untuk di selamatkan, kau tidak bisa menyelamatkan semua orang,"


"Aku memang lemah dan tidak berdaya dibandingkan ayah, tapi setidaknya aku tidak ingin menyerah sebelum mencoba,"


Remi memasang ekspresi tidak percaya dengan keputusanku.

"Kenapa kau ingin menyelamatkan Ayahmu... Dia mengorbankan nyawa Nana dan Ibumu, dia bahkan sudah tidak peduli dengan dirimu. Matanya sudah dibutakan oleh balas dendam... Kau memaafkan orang semacam itu?!"

"Memaafkan? Kalau aku sudah memberinya satu atau dua pukulan,"

"Aku tidak bercanda, Al,"


"Aku juga Remi. Kau tahu apa kalimat terakhir Ibu padaku? Dia memintaku menjaga keluarga ini baik-baik... Kalau aku tidak bisa memaafkan ayah, bagaimana keluargaku bisa terjaga?"



Remi terdiam membuang mukanya.

"Kalau itu pilihanmu, aku tidak akan menghentikan keidiotanmu. Tapi aku tidak membantumu," Remi membalikkan badannya.


"Maaf," kataku secara reflek.





Aku berlari sekuat tenaga menuju lantai atas, meninggalkan siluet Remi yang semakin hilang di telan kegelapan.



***


Seluruh penghuni rumah sakit sudah menyadari teror yang menyelimuti mereka malam ini. Suara dering alarm kebakaran membuat malam tidak lagi senyap. Lift yang penuh membuatku berlari ke arah tangga darurat, melawan arus beberapa orang yang berusaha menyelamatkan diri.


Lantai 4 adalah lantai tertinggi dari rumah sakit ini. Di ujung koridor tempat aku, Remi dan ayah bertemu adalah ruangan yang di huni Subagyo Sarjono. Aku tahu aku terlalu lambat, tapi sebagian dari diriku masih memiliki harapan bahwa ayah belum melakukan apa pun.


Beberapa meter lagi adalah ruangan itu. Pintu terbuka dan lampu menyala. Aku berdoa dalam hati pemandangan yang akan terpapar di depan mataku bukan sesuatu yang mengerikan.




Saat aku masuk ke ruangan itu, yang kudapati adalah Subagyo Sarjono yang duduk di kasur pasien dan Ayah yang duduk berseberangan dengannya. Seakan-akan mereka seperti kawan lama yang baru saja bertukar pikiran. Saling pandang dan tidak melakukan apa pun.

Di sebelah Ayah, seorang gadis dengan gaun putih dan rambut biru tua berdiri dengan ekspresi yang sama. Tangannya yang penuh darah membuatku sedikit gentar.


"Ayah?"

Mendengar suaraku, orang bernama Subagyo itu tersenyum.

"Membawa anakmu?"


Ayah diam saja dan masih menatap Subagyo dengan penuh kebencian. Ini pertama kalinya aku melihat Ayah menatap lawan bicaranya dengan mata ingin membunuh.

"Agus, Agus... Kau masih saja membiarkan anak sulungmu hidup? Dia bisa menjadi pengorbanan yang bagus untuk mengendalikan Iblis terkuat," kata gadis berambut biru dingin.

"Tanpa Iblis terkuat pun, aku masih bisa mengalahkan si Brengsek satu ini," jawab Ayah dingin.


"Hehehehe... Menarik. Manusia waras tidak akan ada yang berani melawanku... Mendapatkan sedikit tantangan seperti ini membuatku merasa sedikit lebih muda,"

Tidak ada sedikitpun rasa gentar di wajah Subagyo Sarjono. Dia benar-benar terlihat percaya diri meski keadaan dua melawan satu.



Tiba-tiba leherku seakan dicekik oleh tangan raksasa. Tekanannya sangat kuat sampai dadaku terkejut dan terasa sangat sesak. Suplai oksigen ke otakku semakin tipis dan pandanganku mulai kabur.


"PENGECUT!" teriak Ayah.


Aku terlalu sibuk mencari nafas dan tidak bisa mencerna kejadian barusan.


Setelah aku sadar, tubuhku terjatuh di antara dua bayangan hitam yang saling mendorong seperti pemain pro-westler. Aku berusaha melarikan diri dengan menggunakan kakiku untuk menjejak lantai.


Sementara gadis berambut biru itu memberikan aba-aba agar bayangan yang dikendalikannya menyerang Subagyo yang sedang sibuk melawan Ifrit milik ayah.

Kecepatan luar biasa dan tenaga yang besar membuat Subagyo menyeret tubuhnya yang sedikit gemuk menghindar.

Namun ayah tidak memberikan sedikit celah pun untuk Subagyo bernafas. Menarik pistol dari sarung pistol di balik bajunya, Ayah segera menembakkan timah panas ke arah Subagyo.

Subagyo yang seakan sudah menduga serangan barusan, membalik kasur rumah sakit yang bahkan harus diangkat 4 orang dewasa. Tenaga yang luar biasa besar untuk orang yang sudah tua.



"Fia!"

"Ok,"

Ayah memberi perintah pada gadis berambut biru itu. Meski perintah tersebut itu tidak jelas, tapi gadis bernama Fia itu paham betul apa yang Ayah maksud.

Ledakan besar tepat di bawah kaki Subagyo. Subagyo seakan tertelan bumi. Terjatuh ke lubang.


Beberapa menit berlalu. Kesunyian malam dikalahkan oleh suara orang di luar yang sibuk memadamkan bangunan terbakar ini.




"Dengan ini, Subagyo Sarjono mati karena jatuh dari ketinggian. Tidak ada manusia bisa selamat jatuh dari ketinggian lantai 4 sampai dengan lantai dasar," kata Fia menghembuskan nafas lega.


Aku masih berusaha menormalkan nafasku. Kejadian barusan terlalu cepat, debu-debu ledakan bom barusan masuk ke hidung, mata dan mulutku. Aku berusaha menghilangkan siksaan itu dengan menggeleng-gelengkan kepalaku.


"Aneh, Iblisnya masih belum mundur,"

Ayah menunjuk ke arah Ifrit dan iblis milik Subagyo.


Hanya sepersekian detik kemudian. Bayangan yang luar biasa besar muncul dari lubang bekas ledakan dan meluluh lantak kan ruangan ini. Aku yang tidak bisa bergerak dengan bebas mendapat uluran tangan dari Ayah. Suara beton yang dihancurkan memekakkan telingaku.


Di detik aku membuka mataku, kami berada di lantai 3. Lantai 4 sudah hancur porak poranda dan penuh api yang menyambar. Sepertinya properti dari bom tersebut tidak hanya sebagai peledak, tapi juga membakar dengan mudah.


"Ayah..."

Aku berusaha mendapatkan respon dari pria yang barusan menyelamatkanku.

"Lari, Al," kata Ayah tanpa melihatku.


Sebelum aku sempat merespon, Subagyo muncul dengan senyumnya yang busuk.


"Ronde ke dua?" katanya santai.


"Sial, dia bisa mengendalikan dua iblis?! Yang benar saja!" kata Fia terlihat khawatir.


Di kubu Subagyo terdapat satu iblis yang ukurannya setara dengan Ifrit milik ayah dan satu iblis yang 4 kali lebih besar. Bahkan lantai 3 dan 4 hanya menunjukkan setengah tubuhnya. Meski ukurannya sebesar itu, mobilitas dan tenaganya tidak kalah dengan yang ukurannya lebih kecil. Kegilaan ini membuat Ayah dan Fia sedikit panik.


Sementara kami terpengah dengan ukuran Iblis milik Subagyo, iblis 'kecil' milik Subagyo menyerang kami. Ifrit berusaha melindungi Ayah dari serangan.


"Lari, AL!!"

Ayah mendorong tubuhku ke luar dari radius pertempuran.

Aku yang tidak siap dengan dorongan ayah, hanya terlempar tidak berdaya.



Sementara meski Ifrit milik ayah dibantu oleh iblis milik Fia, tidak mampu menahan serangan Iblis 'kecil' yang kekuatannya tiba-tiba membesar. Ayah dan Fia terlihat benar-benar kewalahan.


"Hei, hei, ayolah... Ifrit milikmu bisa-bisanya kewalahan dengan iblis kelas rendahan semacam itu," kata Subagyo terlihat senang.




"Tentu saja. Paman Agus sudah di batas kemampuannya. Butuh 'bahan bakar' lain selain pengorbanan, yaitu energi spiritual diri sendiri untuk mengendalikan Ifrit."



Suara Remi yang menyela pertempuran membuat kami semua terdiam.


"Re-remi?!"


"Aku ke sini tidak ingin ikut campur. Tapi aku akan membawa pulang Al," kata Remi masih yang masih menggenggam pisaunya.


Subagyo yang tidak terpengaruh dengan gangguan kecil tersebut melanjutkan serangannya. Kekuatan iblis 'kecil' milik Subagyo tidak bisa dianggap enteng. Dengan bertambahnya serangan dari iblis 'besar' membuat Ayah dan Fia berpencar merusak fokus serangan. Sementara sesuai dengan perkataannya, Remi melesat menarik tanganku.


Saat aku kira kami bisa kabur dari medan pertempuran. Fia muncul di hadapan kami dan menendang Remi kembali ke radius pertempuran.


Aku yang ikut terlempar berada di dekat Ayah yang sedang melindungi dirinya dari serangan kepalan iblis besar dan iblis kecil secara bersamaan. Entah sejak kapan iblis di kubu Ayah dan Fia bertambah satu.


Dibelakang punggung ayah yang sedang melindungi dirinya dan diriku, aku tidak tahu harus berkata apa. Keringat bercucuran, wajah ayah terlihat pucat seakan tidak kuat lagi dengan serangan ini.

Subagyo masih dengan tawa busuknya terlihat tidak lelah sedikitpun. Benar-benar gila orang yang berani melawan Subagyo.


Entah kenapa Fia malah berkelahi dengan Remi. Remi yang tidak tahu apa-apa hanya bisa bertahan dan membalas karena dirinya diserang.

"Minggir! Aku tidak ingin ikut campur!"

"Kalau kau ingin membawa bocah Al itu, berarti kau harus melangkahiku dulu,"





"Maafkan aku Al,"

Ayah berkata dengan suara yang sangat lemah. Aku tidak ingin melihat perkelahian yang tidak jelas artinya ini.


Aku menarik kemeja ayah,

"Ayah, kembalilah... Kalau ayah tidak ada...,"

Sial, suaraku serak. Entah ini karena debu yang masuk ke tenggorokan atau alasan lain.


"Maaf,"


Ayah terus-terusan mengeluar kata-kata itu. Seperti orang yang telah melakukan kesalahan benar-benar besar, satu kata maaf tidak cukup baginya. Tubuhnya yang kurus itu terlihat benar-benar berusaha berdiri tegap seakan melindungi tubuhku.


Sedetik kemudian serangan kedua datang dari iblis 'besar'. Ayah mencoba melompat kebelakang sambil menyeretku.


Tapi Subagyo Sarjono membawa tiang infus yang terhunus. Tiang infus tersebut sudah patah ujungnya, meninggalkan ujung yang tajam.



Saat aku sadar perut ayah sudah ditembus besi tajam. Darah segar terbang ke segala arah.



"AYAH!"

Tusukan itu benar-benar dalam, saat ayah akan terjatuh ke lantai dia sempat mencabut tiang infus itu agar tidak mengoyak organ dalamnya.


Yang bisa kulakukan hanya khawatir dan mengejar tubuh ayah yang terlempar.


Subagyo Sarjono tersenyum menang.


Tapi sedetik kemudian, Ayah bangkit lagi. Seakan serangan barusan tidak ada apa-apanya.


"Mengendalikan dua Ifrit, memiliki pistol revolver suci, dan kanuragan? Tidak... Ilmu apa yang kau pakai?" Subagyo semakin tertarik dengan Ayah yang terus menerus mengeluarkan kartu-kartu as nya yang mengejutkan.


Kegilaan malam ini benar-benar diluar fantasiku. Aku hanya bisa terkejut setiap kali kartu-kartu andalan mereka tunjukkan.


Ayah menarikku berdiri, dan merangkul leherku.

Awalnya aku kira dia ingin membisikkan sesuatu, tapi berbeda. Dia membaca sesuatu yang terdengar aneh. Semacam bahasa daerah kuno... Semacam mantra.


"AL!!"

Remi yang sibuk dengan Fia langsung meninggalkan lawannya dan berlari menuju ke arahku.


Mantra itu memabukkan. Kepalaku benar-benar sakit saat mendengarkannya. Meski aku tidak paham artinya, rasanya kalimat-kalimat yang dikeluarkan ayah benar-benar penuh dengan dosa.


Subagyo hanya tersenyum menatap tingkah ayah, dia lebih tertarik dengan apa yang akan dilakukan dari pada menghabisi Ayah.



Saat rasa kantuk tiba-tiba menyerangku, teriakan Remi yang samar membuatku berusaha untuk tetap membuka mata,

Disudut mataku aku hanya bisa melihat kaki Ayah.


Tubuh Remi tergeletak di dekat kaki Ayah.


"Tidak perlu ikut campur, Remi,"

"Ugh," Remi terlihat menahan rasa sakit di perutnya.


"Kau memegang pisaumu dengan tangan kanan? Aku dengar kau kidal..."


Tidak,


"Aku harus menghukum mu..."


Tidak, Tidak, Tidak...


"...Tangan yang merepotkan ini suatu saat akan membuatku kewalahan,"


Tidak, tidak, tidak, hentikan....


Krash!

Tenaga Ifrit yang sangat besar lebih dari cukup untuk menghancurkan sebuah tangan lembut milik seorang gadis.

Suara tulang yang remuk dengan bantalan daging terdengar begitu renyah di telingaku. Teriakan melengking yang terjadi sepersekian detik kemudian membuat telingaku perih.


"Fia... hancurkan.... gedung..."

Bangunan Rumah sakit ini seakan seperti benteng yang di serbu oleh ribuan balista. Bergetar berkali-kali seperti lonceng yang mengingatkan waktu kematian sudah dekat.


Suara ledakan yang terus menerus menggetarkan bangunan ini membuat kepalaku semakin sakit.

Aku hanya memandang kosong wajah ayah.


Dari wajahnya terlihat penyesalan yang amat mendalam. Dengan satu sentuhan terakhir dia mengarahkan pistolnya ke arah Remi.


"Maaf,"



Kemudian kepalaku terasa berat dan tidak bisa kukontrol seakan gunung baru saja tumbuh di atas kepalaku.



Hitam.




***


Aku terbangun dari tidur.


Mimpi panjang itu berakhir seakan aku baru saja menonton selesai menonton film tentang diriku sendiri.


Mimpi yang sangat buruk dalam berbagai arti. Kali ini benar-benar buruk. Sensasi basah pipiku yang basah karena air mataku sendiri membuatku teringat betapa menyedihkannya kejadian hari itu.





Aku berdiri, menahan rasa sakit karena efek samping mimpi buruk yang kualami, menuju meja kecil. Meja kecil itu memiliki loker yang kuncinya harus dibuka ditempat tersembunyi.

Loker kecil itu terbuka, dan sebuah monster kecil Ruger Redhawk yang mampu menembakkan peluru dengan kaliber .44 magnum. Beratnya sekitar satu setengah kilogram, aku yang masih lemas memerlukan tenaga ekstra untuk mengangkatnya.


Puluhan kali aku berlatih menggunakan ini baru satu kali aku bisa menembakkan tepat sasaran. Tapi ini satu-satunya kekuatanku. Hanya pistol ini yang bisa menghancurkan ayah dan Subagyo Sarjono.


Aku tidak boleh kehilangan tujuanku.

Pertama, aku harus sembuh dari kutukan ini.

Kedua, aku harus mencari akar dari pelaku malam berdarah 2009.


Dan yang terakhir, Kali ini aku yang akan menghukum Ayah dan teman-temannya, Subagyo Sarjono dan orang-orang gila lain yang terbuai sihir dengan caraku sendiri.



Ya, dengan pistol ini.


"Hari-hari damaiku tidak akan kembali lagi,"


***


Remi terbangun.


Rasa sakit di tangan kirinya benar-benar menyiksa dan membangunkannya.


Malam Berdarah 2009, Tangan kirinya hancur, tulang-tulangnya remuk dan serpihan-serpihannya bersatu dengan daging yang hancur di dalamnya. Hanya dengan amputasi masalah bisa selesai.


Bagi seorang gadis yang masih punya mimpi dan harapan, kehilangan salah satu tangannya membuatnya depresi. Tekanan keras dari penyembuhan alternatif oleh neneknya juga membuatnya semakin depresi.


Terkadang Remi berpikir bagaimana dia bisa lepas dari neraka itu. Apa yang membuatnya bertahan sampai akhir.


Hari demi hari, latihan keras neneknya benar-benar menyiksa. Manusia tidak memiliki kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan masa-masa dengan neneknya.


Apa yang membuat Remi bisa bertahan? Gadis itu terkadang bingung dengan dirinya sendiri. Tapi satu hal yang bisa menjadi jawaban sementara.


"Mungkin aku hanya ingin kembali ke hari-hari damaiku," katanya lirih.


Remi menatap tangan palsunya, Al pasti menyadari kalau ini bukan tangannya yang dulu. Tapi mungkin dia terlalu merasa bersalah untuk mengatakannya. Atau bahkan memikirkannya


Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi.



Minggu pagi di Sentral baru saja dimulai.


***

1. FUFUFUUF, saya lupa punya hutang sub. :v

2. Apakah format tulisan di blog ini nyaman di mata anda?

3. ...and RIP Marco Simoncelli... ;_;

6 komentar:

minoru mengatakan...

Wow

Zetsudou Sougi mengatakan...

untuk orang yg oake ilmu hitam, sitilah revolver suci rasanya kurang tepat
btw Agus's CV = Rikiya Koyama

Franz Budi mengatakan...

@minoru

what wow

@ZS
As It Says On Its Tin. Literally Holy Revolver.

Rikiya Koyama (y)

Anonim mengatakan...

GILA, ini IMBA sugiru!
I'm glad saya menyisihkan free time weekend buat baca daripada harus membaca dengan terburu di sela-sela kesibukan weekday

JANGAN DI DROP! :v

Franz Budi mengatakan...

thank you-thank you (y)

Zetsudou Sougi mengatakan...

mengulangi kata Kai
JANGAN DIDROP! :v