Memilih Ketua Kelas?? Merepotkan, Kenapa Tidak Secara Random Saja. Tunjuk Saja Si Kacamata Yang Terlihat Pintar dan Eksis Itu.

Memasuki lingkungan Kampus SMA yang baru di depan mataku merupakan hal yang menyebalkan bagiku. Kenapa? Karena ini adalah lingkungan benar-benar baru bagiku. Aku baru saja pindah dari kota besar tempatku lahir ke kota kecil di mana bahkan sebuah Mall sulit ditemukan. Sebenarnya bukan hal itu yang membuatku sebal lagipula aku juga tidak begitu suka keramaian, memikirkan banyak orang menghisap Oksigen secara bersamaan dari sebuah tempat saja sudah membuatku sulit bernafas, apalagi mengalaminya.

Yang membuatku sebal adalah, karena… tch, aku harus mengakui bahwa aku sulit menghadapi lingkungan baru. Salah satu alasannya adalah bahwa wajahku mengerikan, ya mengerikan dengan arti sesungguhnya. Kata Teman SMAku yang dulu, melihat wajahku saja sudah seperti orang mau mengajak berantem. Mereka bilang aku adalah tipe nice guy, tapi wajahku terlihat seperti preman yang sedang kekurangan uang dan sedang berusaha mencari mangsa untuk dipalak.

Beruntunglah, menghabiskan 1 tahun penuh bersama teman-teman sekelasku membuat kami bisa mengenal satu sama lain lebih jauh. Ah, baru 3 hari pindah aku sudah kangen dengan mereka…

Sekolah baru berarti lingkungan baru dan teman baru. Orang yang paling beruntung menurutku pada saat-saat seperti ini adalah Jika orang yang mendapati bahwa sahabatnya juga satu sekolah dengannya. Dengan menggunakan logika matematika, berarti negasinya adalah Orang yang tidak beruntung adalah orang yang tidak mendapati sahabatnya satu sekolahan dengannya, berarti dengan menggunakan logika ini aku termasuk orang yang tidak beruntung.

Dan begitulah, apa yang aku takutkan terjadi, baru saja aku masuk ke kelas 2-D, kelas baruku, berbagai macam reaksi bermunculan, tidak, reaksinya hanya satu varian yaitu reaksi orang yang berbisik-bisik kepada teman sebelahnya setelah melihat orang yang aneh.

Baiklah! Impresi pertama itu penting! Lakukan yang terbaik diriku!


“Nama saya Al, Saya pindahan dari SMA X di daerah Y. Mohon bantuannya. Saya memang terlihat seram, tapi saya tidak jahat.”




10 detik. Kelas 2-D terdiam selama 10 detik setelah perkenalanku. Apa aku salah?

“Gyahahahahahah! ‘Terlihat seram tapi tidak jahat’. Keren! Keren!” Seorang pemuda yang duduk disudut kanan kelas tertawa dengan sangat keras.

Sedetik kemudian seluruh kelas heboh, tertawa.

“Hahaha. Lucu sekali”

“Hahaha. Orang bilang, biasanya orang yang terlihat seram berhati lembut,”

“Ya, ya aku juga sering dengar yang seperti itu,”

“Dari perkenalannya saja, sudah innocent seperti itu, mungkin dia memang “tidak jahat” HAHAHA”


Aku tidak terlalu yakin apa yang sedang terjadi, tapi sepertinya mereka tidak salah paham dengan penampilanku. Setelah tertawa kelas reda, aku menuju kursi kosong di sebelah pemuda yang duduk di sudut kanan tadi.


“Sayang sekali, kalau kau tadi nggak memperkenalkan “ke-innocence-an mu” aku yakin aku akan ngompol jika duduk di sebelahmu, hhahahaha, Oh ya namaku Ed, senang menjadi teman sebangkumu,” Kata pemuda yang duduk di sebelahku sambil menyodorkan tangan kanannya..

“Terimakasih banyak, Saya yakin kita dapat berteman dengan baik,” Kataku menyambut uluran salamnya.

“Bfft! Bahasamu lucu sekali, biasa aja, nggak usah terlalu formal,”Katanya menepuk pundakku.

Syukurlah sepertinya ini adalah awal yang bagus.



“Baiklah, Al. Jika ada yang ingin kau tanyakan silahkan, jangan malu-malu Ibu yakin semua pasti bisa membantumu, Ok, karena ini adalah tahun ajaran baru, seperti biasa kita akan memilih ketua kelas untuk 1 semester ke depan,” Kata guru kami.

“Ah, merepotkan! Kenapa tidak biarkan saja si Remi memimpin kelas D untuk selamanya?!”

“Terserah, siapa pun ketua kelasnya,”

“Yang jelas aku tidak akan mengajukan diriku,”

“Si Remi aja yang suruh jadi ketua lagi, “

“Ya, ya”



Dan seterusnya berbagai macam komentar bermunculan. Sampai guru kami memberikan
isyarat untuk diam.

“Tidak bisa. Ini sudah jadi tradisi kelas Ibu. Remi tidak boleh jadi ketua lagi karena selama kelas 1 dia terus yang menjadi ketua kelas. Silahkan, yang mau maju silahkan. 3 kandidat. Kalau tidak ada yang maju biar ibu saja yang pilih,”


Huuuu~~ terdengar seluruh kelas menunjukkan kemalasan mereka.



“Aku mencalonkan diri,”


Seorang gadis berdiri sambil mengangkat tangannya. Seluruh kelas terdiam dan menatap ke arahnya. Termasuk juga aku. Impresi pertama yang kudapatkan dari penampilan gadis tersebut adalah dia gadis penuh percaya diri dan penuh determinasi. Rambutnya yang pendek dan matanya yang tajam menambahkan kekuatan impresi pertamaku.

Aku menyadari ada keanehan setelah gadis itu mengangkat tangannya. Pertama, seluruh kelas terlihat tidak senang. Kedua, Beberapa orang menatap tajam gadis tersebut. Apa yang terjadi? Anak baru sepertiku jelas tidak tahu apa-apa.

“Lisa karena kau mencalonkan diri, kau maju sini. Tidak ada yang mau mencalonkan diri lagi? Baiklah Ibu akan tunjuk… Iwan, kau maju. Vena, kau juga.”

Segera 2 orang tersebut berdiri dari kursinya. Satu laki-laki dan satu perempuan. Iwan memakai kacamata, dia terlihat sangat pintar dan elegan. Begitu juga Vena, rambutnya sangat panjang sampai pinggang dan wajahnya sangat manis, dan terlihat pintar juga. Aku kira keduanya memancarkan aura kepemimpinan yang sangat kuat.

“Baiklah seperti biasa kita memakai sistem voting—“

“Tunggu, Bu!” Kata gadis berambut pendek tersebut.

“Ada apa Lisa??” Tanya Ibu Guru kebingungan.

“Kali ini bisakah kita melakukan dengan cara yang lebih demokratis?” Kata Lisa

“Maksudmu?”

“Dalam setiap pemilihan jabatan pasti ada yang namanya kampanye kan? Kita harus lakukan itu juga,”

“Apa dasarmu mengajukan aturan ini?”

“Sebagai ajang promosi tentunya. Jika kita langsung melakukan voting sekarang juga, dengan asumsi bahwa banyak murid dari kelas yang berbeda saat kelas 1, dan adanya Al sebagai murid baru di sini, maka bisa dipastikan beberapa suara akan terkesan asal-asalan. Bukankah itu kurang adil.” Kata Lisa


“Ah merepotkan!”

“Sudah jelas yang bekal menang Iwan atau Vena, kau tidak akan menang,”

“Iya, iya merepotkan saja!”


“Ibu dengar komentar-komentar tadi kan? Mereka sudah mengunci kekalahanku. Dengan mengadakan kampanye, setidaknya aku punya kesempatan untuk membuat perjanjian politik dan promosi,” Kata Lisa melanjutkan.

Apa yang membuatku kagum kepada Lisa adalah meskipun sepertinya seluruh kelas seperti menekannya untuk mundur saja, dia tetap tidak bergeming dan dengan percaya diri terus berdiri di depan kelas.

“Aku mengerti maksudmu. Ibu setuju. Bagaimana dengan lawan-lawanmu?” Lanjut Ibu Guru.

“Saya tidak masalah.” Kata Iwan merespon.

“Saya juga, namun saya juga punya satu kondisi sebagai syarat, Saya meminta diadakan Temporary Vote. Atau Voting sementara. Jangan khawatir, voting sementara ini tidak berpengatuh pada hasil akhir, hanya saja dengan begitu, kami bisa tahu sampai sejauh mana kami harus berkampanye,” Kata Vena.

“Aku tidak masalah dengan peraturan itu,” Jawab Lisa.

Entah mungkin ini aku saja, tapi rasanya hawa persaingan di sini begitu ketat. Sudah seperti Obama versus McCain mungkin,

“Sepertinya kalian sudah sepakat. Ibu mengizinkan segala bentuk kampanye, kecuali kampanye kotor seperti Money Politic, Politik menjatuhkan lawan dan kawan-kawannya. Kampanye dilaksanakan selama 3 hari. Untuk sekarang, silahkan mengumpulkan secarik kertas bertuliskan nama kandidat,”


“Hahaha ini bakal seru! Dari luar Iwan orang yang tenang, tapi dia suka persaingan. Begitu juga Vena, diluar terlihat kalem tapi dia benci kalah. Apalagi Lisa, dia anak politikus jelas dia punya trump card untuk menang, hahahaha keren. Aku sih lebih suka kalau ketuanya tetap Remi.” Kata Ed sambil menuliskan nama Vena di secarik kertasnya. Hei bukankah Kerahasiaan adalah salah satu elemen voting?

Aku menatap ketiga kandidat ketua kelas di depan kelas. Tapi mataku terpaku kepada gadis yang penuh percaya diri dan mata sangat tajam itu. Dia tidak terlalu tinggi namun tidak bisa dibilang pendek.

Setelah menimbang-nimbang aku akhirnya memilih Lisa sebagai ketua kelas.

Setelah itu gadis yang bernama Remi maju ke depan kelas sebagai penghitung suara. Sekarang aku tahu kenapa Remi di elu-elukan sebagai ketua kelas lagi. Tinggi, cantik, elegan dan mudah bergaul dengan kelas adalah impresiku kepadanya. Aku tidak percaya ada wanita yang sempurna, tapi melihat Remi aku jadi tahu apa yang namanya sempurna.

HASIL VOTING SEMENTARA :
Iwan : 14 Suara
Vena : 16 Suara
Lisa : 1 Suara

Sial. Dari melihat hasilnya saja aku sudah tahu bahwa aku satu-satunya yang memilih Lisa. Seluruh kelas jelas mencari-cari satu orang yang memilih Lisa ini yang tidak lain adalah aku. Tapi aku jelas tidak akan berkata ‘Aku yang memilih Lisa’.
Begitulah akhirnya pelajaran dimulai.


“Ini,”

Dihadapanku berdiri Lisa sambil membawa kotak makanannya yang berisi Nasi Kecap. Ugh, membayangkan nasi di campur kecap saja sudah membuatku mual.

“Apa maksudmu, ini Nasi Goreng, coba dulu!” Kata Lisa.

Nasi Goreng? Akhirnya aku memutuskan mengambil satu suapan.

“Bagaimana?” Tanyanya sambil tersenyum.

“E-enak.” Kataku.

Memang enak tapi aku merasa ada yang aneh dengan senyuman gadis ini.

“Sekarang bayar Rp 100.000,”

“Ha-hah!” Kataku berekslamasi.

Tangannya menjulur kedepan masih dengan senyumannya yang sangat cerah itu.

“Kau tidak bilang kalau harus bayar, ”Kilahku

“Aku juga tidak bilang ini gratis. Aku kan cuma bilang ‘ini’. Bilang saja tidak punya uang.” Katanya mengelak.

Selain tidak punya uang aku pun tidak mau makan sesuap dinilai Rp 100.000, kecuali aku diberi saham Microsoft sebesar 50% baru aku mau membayar suapan bernilai seratus ribu itu.

“Pokoknya bayar. Tapi kalau kau membantuku kurelakan deh. Tapi kalau tidak, kusumpahi agar sesuap nasi yang telah kau makan membusuk dan menjadi belatung lalu menggerogoti perutmu!”

Cara yang unik untuk mengancam orang, kuberitahu ya, Nasi goreng di otak-atik bagaimanapun reaksi kimianya tidak akan berubah menjadi belatung. Tapi karena aku tahu dari awal dia mengincar agar aku membantunya aku hanya menghela nafas dan mengiyakan. Hah, dasar! Kalau mau minta bantuan bilang saja.

“Baiklah, apa yang harus aku lakukan?” Kataku sambil menghela nafas.

“Jadi Tim Sukses ku!” Katanya dengan nada riang gembira seperti anak TK.

“Baik. Tapi bayar.”

“Ya sudah, anggap saja hutangmu seratus ribu rupiah ku relakan,”

Sial.


Ternyata Lisa tidak selicik yang aku kira. Dengan pembawaannya yang periang dia membawaku tur keliling sekolah setelah pulang sekolah. Dia membawaku ke seluruh lokasi kampus sambil menjelaskan kebiasaan-kebiasaan sekolah kami.

“Hei, Lisa. Kau tidak perlu repot-repot. Sekarang pulang saja menyiapkan kampanye besok,” Kataku.

“Hei, Al. Kau tahu aku sedang apa sekarang?”

Terdengar seperti pertanyaan jebakan. Berdiri? Bernafas?

“Sekarang aku sedang membeli kesetiaanmu,” Katanya sambil melakukan trademark nya, tersenyum.

Membeli kesetiaan?

“Ayahku bilang dalam berpolitik, hal yang paling mahal adalah kesetiaan. Namun hal yang paling mahal tersebut bisa kita beli dengan hubungan baik. Aku harap dengan membawa mu berkeliling kampus kau akan setia kepadaku.“ Jelasnya

Setia kepadamu? Kita terdengar seperti sinetron sekarang. Hah, kau ini. Pakai membawa filosofi politik untuk event sekecil ini. Tenang saja, aku ini orang yang berkomitmen. Aku akan seti- ah pokoknya itu! Terlalu memalukan mengatakannya dengan
jelas.

“Baiklah. Karena aku sudah mendapatkan kesetiaanmu. Sekarang kau pulanglah dan aku minta kau menggambar poster untuk kampanyeku. Besok bawa ke sekolah dan tempel di depan kelas. Bye, aku mau pulang dulu,”

Bagus. Tanpa ada sepatah kata ‘tolong’ dan sepeser pun uang transport dia menghilang pulang.

***

Keesokan harinya aku berangkat pagi sekali agar tidak ada yang menggangguku melaksanakan perintah Lisa. Setelah melihat poster yang dibuat dengan kekuatanku dan adikku yang masih SD yang suka menggambar dan mewarnai itu dipasang, aku merasa cukup puas.



“Hei, Al. Kenapa kau repot-repot membantu anak koruptor itu, biarkan saja dia.”

Maaf, kau bilang apa? Aku tidak dengar Ed.

“Ayahnya baru-baru ini ditangkap karena menjadi tersangka Korupsi. Biarkan saja dia. Kami semua sekarang menghindarinya. Ada yang bilang pohon rambutan jatuh di dekat buahnya.”

Pertama, aku akan membenarkan peribahasamu itu, yang benar buah kelapa jatuh tidak jauh dari pohonnya. Namun aku terdiam dengan informasi yang diberikan yang diberikan oleh Ed.

***


“Hoi Lisa. Kenapa kau tidak menjelaskan sesuatu dahulu,” kataku sambil menulis daftar program kerja kampanye saat istirahat.

“Menjelaskan apa? Al, Aaaa… “ Kata Lisa sambil menyodorkan sesendok nasi dengan ayam ke mulutku.

Ugh. Aku bisa makan sendiri. Lagipula sendok itu kan bekasmu.

“Siapa peduli dengan detail kecil. Kau tidak akan mati makan satu sendok denganku,” katanya dengan entengnya.

“Pokoknya, aku dengar suara tidak enak. Katanya ayahmu…”

“Stop”

Aku berhenti. Sepertinya dengan menyebutkan ‘Ayah’ , Lisa sudah mengerti apa yang kumaksud.

“Bagaimana redaksi katanya?” Sekilas aku merasa Lisa sedikit sebal.

Ayahnya baru-baru ini ditangkap karena menjadi tersangka Korupsi. Biarkan saja dia. Kami semua sekarang menghindarinya. Seperti itu kira-kira.” Kataku

“Kalau kau pintar, mendengar redaksi katanya pasti kau menyadarinya,” Kata Lisa

Tersangka. Ya, tersangka. Dari kata dasar sangka yang bersinonim duga namun berkonotasi sedikit jelek.

“Kau belajar Pendidikan Kewarganegaraan, kan? Kalau iya harusnya mengerti yang namanya Praduga tak bersalah.Sebelum menjadi terdakwa seseorang berarti belum bisa dianggap bersalah. Namun sepertinya paradigma masyarakat sulit diubah,” Katanya terdengar sedih.

“Aku turut bersedih dengan apa yang kau alami. Maksudku bukan apa-apa, aku menyadari bahwa yang membuatmu nantinya sulit memperoleh suara adalah adanya rumor tidak enak ini,”

“Aku tahu itu. Sudah masuk daftar rencana, kok. Nanti saat pidato pada hari kampanye ke-2 akan kujelaskan kepada teman-teman. Sekarang, kita menyusun strategi kampanye.”

“Kenapa tidak melakukannya dari kemarin?” Tanyaku.

“Aku juga punya urusan,” Katanya sambil melahap makan siangnya.

“Urusan? “

“Kemarin dia ke rumahku dan memintaku jadi Tim Suksesnya juga,” Suara ini bukan milikku juga bukan milik Lisa. Suaranya bagaikan suara malaikat, lembut dan indah. Pemilik suara ini ternyata adalah Remi. Dia berdiri tepat di belakangku.

Aku, Remi dan Lisa melanjutkan berdiskusi di rumah Remi yang terlihat 5x lebih besar dari pada rumahku. Sial. Berarti selain manis, baik, pintar, dia juga kaya. Benar-benar kombinasi yang mengerikan.

Setelah berbasa-basi dengan ibu Remi yang terlihat seperti kakaknya, kami masuk ke kamar Remi. Ah, ini pertama kalinya aku masuk ruang seorang gadis. Kamarnya sangat rapi dan penuh nuansa elegan.

“Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa mendapatkan bala bantuan sekuat ini?” Tanyaku pada Lisa.

“Haha tentu saja bisa. Aku dan Remi adalah sahabat, iya kan?” Kata Lisa kepada Remi.

“Tentu saja,” Kata Remi dengan ramah.

“Salah satu senjata yang kuat untuk memenangkan sebuah pemilihan adalah menggunakan kekuatan orang yang berpengaruh. Aku yakin fans Remi akan memilihku jika Remi memilihku.”

“Fans? Tidak ada yang seperti itu,” kata Remi merendah.

Kau benar-benar memiliki kemampuan berpolitik seperti politikus.

“Tentu saja! Aku harus memenangkan pemilihan ketua kelas ini!”


Kami menghabiskan sore di rumah Remi membahas rencana kerja. Akhirnya aku dan Lisa memutuskan pulang karena matahari semakin tenggelam di barat.





“Dia gadis baik ya?” kata Lisa tiba-tiba.

“Iya,”

“Sudah baik, manis, pandai, kaya. Satu-satunya kekurangannya adalah kurang kekurangan.”

Ap- ya memang sih.

“Aku yakin kau pasti suka padanya, kan?” Kata Lisa

Kalau ditanya begitu, di antara suka atau tidak suka, jelas aku pilih suka.

Begitu sadar ternyata kami sudah berada di pertigaan dimana kami harus berpisah.

Tapi karena sudah sore, aku putuskan untuk mengantarnya pulang, aku harus melakukan apa yang gentleman lakukan pada saat seperti ini.

“Tidak perlu. Nanti Ibumu khawatir, Bye”

Dengan memberikan senyuman terakhir, Lisa berjalan menyusuri arah rumahnya.


***

Sudah kuduga aku khawatir. Kata Ibu daerah sini adalah daerah rawan preman. Waktu kecil, aku dan nenek berjalan-jalan di sekitar sini, kami pernah dipalak. Dan dugaanku benar, Lisa dikelilingi orang yang terlihat mabuk,

“OI!! MINGGIR!!” Suaraku terdengar menggelegar di gang sempit ini.



“Bfft! Sungguh aku masih tak bisa percaya mereka lagi begitu mendengar suaramu. Kau ini harusnya jadi preman sekolah saja, aku yakin tidak ada yang berani menatap matamu yang tajam dan suara seperti singa itu hahahaha,” Kata Lisa sambil memegang perutnya.

Berisik. Sudah kuduga akan terjadi sesuatu jika aku meninggalkanmu sendirian. Kali ini aku harus mengantarkanmu sampai rumah. Kalau kau sampai celaka saat pulang bersamaku aku bisa merasa bersalah seumur hidup.

“Ya, ya. Pokoknya terimakasih. Dulu mereka sering minta uang keamanan dariku. Tapi kau tahu, kan? Banyak hal terjadi akhir-akhir ini. Aku tidak bisa mengeluarkan uang untuk hal yang tidak perlu. Untuk makan saja kami harus berhemat,”

Aku paham apa yang Lisa maksud. Berhadapan dengan hukum di Indonesia sama sama dengan perang kekayaan. Untuk menyewa pengacara pun tidak murah.

Aku terus diam sambil memikirkan topik apa yang harus dibicarakan untuk mengalihkan perhatiannya agar dia tidak terus bersedih seperti itu. Namun, saat aku melihatnya, dia berdiri mematung.

“A…Ayah? Ayah!” Lisa mengeluarkan kata-kata ini dengan suara serak.

Seorang Lelaki berumur sekitar 40 tahunan berdiri di depan rumah yang sepertinya rumah Lisa. Dia terlihat lelah, namun meskipun begitu dia memaksakan tersenyum karena melihat anak perempuannya.

Lisa menjatuhkan tasnya dan berlari memeluk ayahnya. Aku yakin Lisa memeluk ayahnya erat-erat. Sementara Ayah Lisa membelai kepala anaknya, suara isak tangis Lisa terdengar lirih karena dia membenamkan wajahnya di dada ayahnya. Saat aku memutuskan untuk pulang, ayahnya memanggilku dan mempersilahkan aku masuk.


“Maaf merepotkan,” kataku setelah Ibu Lisa membawakan teh hangat.

“Nggak kok dik Al, Silahkan diminum,”

Beberapa saat kemudian Ayah Lisa dan Lisa menuju ruang tamu dan menyambutku.

“Terimakasih lho dik Al, repot-repot mengantarkan Lisa sampai rumah,” Kata Ayahnya.

“Dia tim sukses ku yah, hehehe”

Aw, aku melihat Lisa senang rasanya aku juga senang, melihatnya sedih bukan pemandangan yang bagus. Lisa terlihat seperti anak manja kepada ayahnya, padahal di sekolah dia sangat mandiri dan berpendirian kuat. Yah mau bagaimana lagi, sepertinya Ayahnya bebas dari segala tuntutan.

“Kok, ayah tidak kasih kabar padaku, sih. Aku tidak tahu kalau ayah pulang hari ini,”

“Haha ayah ingin berikan kejutan, padamu. Ayah sudah bilang keadilan pasti menang, sekarang ayah bisa bekerja seperti sedia kala kok,”

“Saya turut senang, Om,” Kataku sebagai respon

“Ayah, kau mencalonkan diri sebagai ketua kelas lho!” Katanya sambil tersenyum riang



Kami terus mengobrol sampai larut. Kita bicara dari objek ke objek tanpa ada batasan, Pembicaraan ini benar-benar… menyenangkan.


***


Ini pertama kalinya dalam hidupku aku benar-benar ingin menghajar seseorang. Kalau aku menemukan siapa pelakunya aku akan menghajarnya sampai tidak bisa bergerak.

“Su-sudahlah, Al, Kita bisa bikin lagi kan,” kata Remi menghiburku.

“I-iya jangan dipikirkan,” tambah Lisa. Sepertinya dia menyembunyikan kesedihannya.

Dihadapanku poster buatanku di coret-coret dengan kata-kata kotor dan menghina Lisa.
Bagaimana tidak bisa dipikirkan! Hasil kerja kita di injak-injak!! Aku harus menemukan pelakunya!!

Namun seperti yang sudah kuduga, dicari bagaimanapun tidak akan ketemu. Seperti kata orang, kalau maling mengaku penjara pasti penuh.

“Kalau teman-teman segitu tidak sukanya kepadaku, mungkin harusnya aku mundur,ya?”

Meskipun mengatakan ini sambil tersenyum aku yakin Lisa tidak sedikitpun merasa senang.

“Apa maksudmu? Kita sudah sejau ini! Ini hanya oknum yang tidak suka padamu saja,” Kataku.

“Tapi, kau tahu… mungkin menyerah lebih baik, aku tidak ingin…”

“Cukup! Kalau kau bicara menyerah lagi aku marah!” Kataku

Ya aku akan marah, karena aku yakin kau tidak akan tersenyum jika kau menyerah sekarang.

***

Iwan dan Vena mengakhiri pidato mereka dengan memukau. Seperti layaknya orator handal mereka menghandel penonton dengan sangat pintar. Tapi aku yakin, kalau masalah persuasi, Lisa juga tidak akan kalah.



Aku harap Lisa berhasil.


***
HASIL AKHIR SUARA
Jumlah Siswa : 34
Iwan : 9
Vena : 12
Lisa : 13

Aku hampir menangis kegirangan karena usaha keras kami membuahkan hasil. Tapi keberhasilan tersebut sepertinya tidak semua orang senang.

“Huh, bagaimana mungkin anak koruptor itu menang,”

Mendengar kata-kata ini emosiku langsung memuncak seperti petasan bersumbu pendek, jika dinyalakan langsung meledak.

AKU MINTA TARIK KATA-KATAMU ITU, IWAN!!!

“Hei kenapa kau marah? Aku kan tidak membicarakanmu,”

Aku merasa kepalan ini melayang begitu saja ke wajahnya yang seperti artis itu, membuat pipinya membesar.

“Uhuk! MAU APA KAU?! TERNYATA KAU MEMANG PREMAN, BUKAN WAJAHMU SAJA! TAPI TINGKAHMU JUGA!”

BERISIK! BERISIK! TAHU APA KAU?!

“AL! HENTIKAN!” Kata Lisa sambil menggengam lenganku.

“Huh dasar, Koruptor memang biasanya di back-up oleh preman, mungkin ayahnya berhasil keluar juga karena menyuap, dasar menjijikkan! Pemakan uang rakyat! Kau juga! Dasar murid preman! Memangnya kau bisa kabur setelah melakukan ini!” Kata Iwan sambil memegangi pipinya.

“Kau tidak tahu apa-apa! Kalau kau mau sedikit mengenal Lisa, kau pasti tidak akan berpikir seperti itu,” Kataku menahan emosiku.

Kau tidak tahu betapa keras usaha Lisa.

Kau tidak tahu betapa sedihnya dia saat orang lain membicarakan ayahnya.

Kau tidak tahu betapa rapuhnya sebenarnya dia di balik senyumannya.

Tapi dengan kekuatannya dia bangkit dan menelan segala hinaan tersebut dan terus percaya bahwa ayahnya tidak bersalah.

TAHU APA KAU! Dan kau menjelek-jelekkannya, aku tidak akan memaafkanmu!

***


“Haah, dan kukira kau adalah orang yang tenang,” Kata Remi kepadaku.

“Aku kira juga seperti itu, haaah sekarang aku bagaimana aku menghadapi wajah Lisa,” Kataku sambil menghela nafas.

Aku diskors gara-gara perkelahian denga Iwan. Dan gara-gara itu Lisa terancam tidak boleh mengambil haknya, menjabat ketua kelas. Aku juga dimarahi habis-habisan oleh Ibu. Ah. Ini semua salahku. Remi mengunjungiku kerumah karena mengantarkan surat pemberitahuan dari sekolah.

“Di mana Lisa,” kataku pada Remi

“Dia di sekolah, di panggil guru,”

“Aku bodoh!” kataku sambil mengacak-acak rambutku

“Jangan khawatir, aku yakin semua baik-baik saja,” Kata Remi.

Oh ya jadi ingat, saat temporary vote kenapa hanya aku yang memilih Lisa, bukankah kau temannya?

“Aku memilih Vena, dia temanku juga,” Kata Remi.

Menjadi teman semua orang berat ya? Dan aku baru saja membuat satu musuh. AH! Bagaimana masa depanku?!


“Oh itu dia Lisa,”

Lisa berjalan menuju ke arah rumahku, wajahnya dilipat. Aku merasakan tanda-tanda sesuatu tidak enak terjadi.


“Ha-hai Lisa,” kataku dengan nada kaku.

“Hai kepalamu! Kau ini ya! Membuat repot ketua kelas baru saja!” Katanya sambil tersenyum.

Eh, berarti?

“Aku terpilih! Hahaha. TUnggu bukan itu masalahnya sekarang. Dasar Al bodooooooh, bisa-bisanya membuat kekacauan sesaat setelah pemilihan berakhir, kau ini ya!” Lisa mencubit pipiku yang sakit gara-gara berkelahi.

Aw sakit!


“Nah, sekarang selain aku ingin mencubit Al. Aku juga ingin mendiskusikan Pengurus Kelas dengan kalian,”

“ini dia yang aku tunggu-tunggu, Seperti perjanjian aku jadi sekretaris ya?” Tiba-tiba Remi berbicara.

Tunggu sebentar aku tidak paham.

“Ah, aku belum beri tahu Al. Remi suka ketua kelas A siapa namanya??”

“Robby,” Kata Remi

“Ya, Robby. Karena Remi tidak boleh jadi ketua lagi, Remi tidak bisa ketemu dia lagi saat Rapat Majelis Perwakilan Kelas. Makanya aku menawari Remi kalau dia mau membantuku, aku akan mengangkatnya jadi sekretaris supaya bisa ikut Rapat MPK.”

Kenapa tidak minta Vena atau Iwan?

“Hehe yang tahu ini baru aku dan kau,” kata Lisa

Bukankah ini termasuk Nepotisme.

“Nepotisme itu tradisi di Indonesia yang seperti pedang bermata dua. Di sisi satu merupakan perbuatan melanggar undang-undang, namun di sisi lain merupakan kekuatan untuk memperkuat kepemimpinan. Terkadang kalau kita menggunakan objektifitas saat memilih ‘menteri’, chemistry*-nya tidak ada.”

*)chemistry = ikatan

Aku selalu terpukau mendengar ceramahnya tentang politik. Sambil melihat Lisa melakukan trademarknya, aku berkata

“Kalau aku jadi apa?”

“Kau cukup jadi pendampingku saja,”

“Tuh Al, kau di tembak, hehe” Kata Remi

“Bu-bukan! Maksudku jadi ajudan!” Jawab Lisa segera

“Yah… sayaing sekali ya Al?” Kata Remi

“Ya. Tadinya aku berharap itu sungguhan,” Kataku

“Ka-kalau kau mau, sih nggak apa-apa,” kata Lisa

“Jadi yang mana ini, jadi ajudan atau pendamping,” Tanya Remi nakal.

“Pen-damping”

Aku tidak dengar.

“PE-PENDAMPING! PUAS?!!” Katanya dengan wajah memerah.

Baiklah kalau kau memang memaksa.

“Si-siapa yang memaksa!”

“Nah. Mari rayakan dengan berciuman seperti komik-komik shojo!” kata Remi tiba-tiba.

“NGGAK!”

***

Author Note:

For me actually make an shojo-like novel was surprising. Sebenarnya saya ingin sekali membuat short novel sci-fi seperti Isaac Asimov, novel keren karya Dan Brown, atau Urasawa Naoki. Kadang juga ingin membuat gothic –fantasy ataupun drama ala Jun Maeda. Tapi karena belakangan ini sepertinya sedang senang cerita school-life saya coba go for it. As usual, I don’t like being typical. Saya nggak suka membuat karya yang tipikal mainstream, makanya memasukkan elemen politik.

Ah dipikir-pikir kenapa saya selalu end up bikin heroine tsundere = =a. dan juga kemampuan saya memberi nama payah sekali. Harusnya saya memaksimalkan buku nama-nama bayi terbitan ayah saya. It can’t be helped, semoga kemampuan member nama dan memberi judul lebih baik di tahun ini dan berikutnya.

Ok! Tahun ini harus lebih baik dari yang kemarin! Harus menyelesaikan Jump!! Dan Days.

Btw, saya ingin sekali punya G-Pen.

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Wahahahahaha.. gila, keren.. XDD Sebagai fans drama saya suka yg ini. Karakternya solid, chemistrynya mantap dan twist di bagian akhirnya (Ah, aku belum beri tahu Al. Remi suka ketua kelas A siapa namanya??) benar-benar lol. Saya bisa bayangin ekspresinya Al is, like, haeeeeeeeeeeeeeeeeeee? XDDDD

Dan pacing anda bisa bagus gitu, itu udah melewati berapa kali pengeditan? Saya biasanya cepet bosen kalo baca cerita yang pacingnya jelek (banyak fanfic2 bagus yang saya males nerusin bacanya hanya gara2 kombinasi penempatan dan panjang narasi, dialog dan monolognya bikin "capek")

Iya, heroine anda kayaknya emang sangat typikal. Tapi ya, kalo saya sih fine-fine aja. Kemungkinan terburuk anda cuma bakal menjaring ke niche (fans kecil tapi loyal). Dan bukan tsundere kalo saya bilang, lebih ke manipulator, wkwkwk.

btw bro, kalo anda bisa download dari MU
ini another recomended manga dari kotonoha
http://www.megaupload.com/?d=424QWWQM

gecd mengatakan...

selagi anda bisa bikin cerita dgn setting school-life, bikin aja! ga usah ragu!! btw di bagian tengah : “Hei, Al. Kau tahu aku sedang apa sekarang?”
saya kira terusannya adalah : "aku sedang memikirkan dirimu!!" dengan teks biru. Sorry, tapi impact "postingan yg satu itu" memang luar biasa....lol

Franz Budi mengatakan...

ah! senpai-senpai sekalian, tahun ini juga mohon bantuannya X3

kalau Pacing memang udah ditata daro awal biar nggak repot. Sya mengerti sekali maksudnya bikin "capek". dari awal bikin blog ini saya juga cari-cari cara-cara bikin layout cerita ini dari Light novel2 di baka-tsuki.

>selagi anda bisa....
Are??? nantinya saya nggak bisa XDD

kalo saya nerusin pake kata2 itu saya melanggar hak cipta Ikemasen Ojousama dong wkkwkwkwkw

Anonim mengatakan...

wiw....
keren keren keren

tapi ada yg ganjil dikid
jumlah suara pas temporary vote sama yg hasil akhir koq beda?
apa ada yg belum masuk skul ato ada yg tidak memilih?
tidak dijelaskan di ceritanya....
CMIIW

Franz Budi mengatakan...

LOL itu waktu temporary vote ke 3 calonnya nggak ikut. ^^

Black_Saber mengatakan...

er ini cerita beneran ato asli? eh, palsu?

meh, overall saya suka jalan ceritanya :))

3 hari yg singkat, padat dan tidak bertele2. Kewl.