Kak Rossa menjemputku yang sedang berjalan sempoyongan berusaha menolak ditumpu oleh Eve dan Aisa.

"Al, kenapa wajahmu pucat seperti baru melihat pembunuhan sadis?"

Memang. Aku baru saja melihatnya.

Tapi aku tidak mengatakannya karena terlalu bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Mayat itu menghilang begitu saja setelah aku berbalik dan melihatnya untuk ke dua kalinya.


"Kenapa kau Al? Baru makan kecoa?"

Diam kau Isaac! Aku sedang berpikir.



"Dia bilang dia melihat mayat di rak 17A." Kata Eve menjelaskan dengan suara datarnya.


"Mayat? Yang benar saja! Apa benar?" Isaac mengeluarkan ekspresi tidak percaya.

"Tapi aku tidak melihat apa-apa..." Kata Aisa menambahkan.



"Rossa, mana Nana?" Tanyaku setelah menyadari bahwa adikku itu tidak hadir

"Ah dia bilang mau pulang duluan karena ada urusan,"


Aku melihat alat penunjuk waktu yang ada di dinding perpustakaan menunjukkan pukul 4 sore.


Aku kira aku juga akan pulang. Rasanya kepalaku tidak beres. Melihat halusinasi di siang hari saat tubuh dalam kondisi fit jelas bukan tanda-tanda yang bagus.

"Aku juga mau pulang. Aku ada janji," Isaac menambahkan.

"Hee! Kalian mau pulang sekarang?!"

Kak Rossa terlihat kaget karena sebenarnya pekerjaan kami tinggal sedikit sangat tanggung kalau ditinggalkan.

"Kami juga mau pulang. Masih harus beres-beres rumah,"

Aisa mengatakannya mewakili dirinya dan Eve.


Kak Rossa sedikit menekuk wajahnya lalu berkata,

"Ya sudah, silahkan pulang. Aku mau menyelesaikan daftar buku ini. Sebentar lagi selesai,"





Aku berjalan perlahan sambil memahami apa yang baru saja terjadi.


Aku melihat mayat.

Eve yang menyusul berada di belakangku tidak melihat apapun.

Setelah aku berpaling dan melihatnya untuk ke dua kalinya mayat tersebut hilang.


Dari sudut pandang mana pun aku terlihat sedang berhalusinasi.


Tapi apa halusinasi benar-benar senyata itu? Bau amis darah yang benar-benar segar dan menyengat itu, Sensasi visual itu, semua terlihat nyata.


"Sudah jangan dipikirkan, Kak Al"

Aisa yang berjalan di depanku menyadari bahwa aku dalam mode berpikir keras dari tadi.

Senyumannya yang seperti bulan sabit itu membuatku sedikit merasa santai.

"Iya," Jawabku singkat.



Aku, Isaac, Eve, dan Aisa berjalan menuju gerbang tengah sekolah yang merupakan gerbang bersama ABS dan AGS.


Aku menghabiskan waktu membicarakan liga inggris dengan Isaac supaya pikiranku sedikit tenang.


Langit mulai gelap karena kumpulan awan mulai berkondensasi dan menjadi hitam. Jutaan titik air mulai berjatuhan membasahi bumi.

"Oops. Hujan. Aku harus segera pulang, kalau tidak kakakku akan khawatir," Kata Isaac bersiap menerobos hujan menuju bus kota jurusannya.

"Hati-hati," Kataku sambil melambaikan tangan.

Isaac membalas lambaiaku dan menghilang ke dalam bus.

Ah, Isaac sudah berpisah pulang sedangkan aku duduk di halte menunggu angkutan kota.




"Kak Al, mau mampir ke rumah kami?"

He?

"Mampir," Kali ini Aisa mengatakannya dengan menarik tanganku.

"Bukannya kalian Kos?"

Kalau benar bukankah biasanya kos wanita tidak boleh membawa lawan jenis?

"Hmm... Kami tidak kos, kok. Kami kontrak. Tenang saja... Tidak ada orang satu pun di rumah. Kami cuma tinggal berdua,"


Cukup 4 detik untuk membuat mulutku terbuka dengan lebar.

"Kontrak? Maksudmu, menyewa seluruh rumah? Tahunan? Membayar listrik dan telepon sendiri? dan kalian tinggal cuma berdua dan tidak ada yang mengawasi?!!"

"Iya,"


Aku tidak tahu kalau ada anak SMA yang bisa menyewa rumah sendiri. Aku khawatir apa orang tua Aisa dan Eve sudah tidak waras.

Mungkin kalau mereka di tinggal di rumah saudara atau sesuatu masih sedikit masuk akal. Kontrak? Aku rasa mustahil.

Karena aku penasaran rumah mereka seperti apa, aku mengikuti mereka pulang.


Dalam perjalanan Eve diam saja. Sedangkan Aisa memakai headset sambil bersenandung lagu pop barat yang belum pernah kudengar. Aku mengikuti mereka dari belakang dengan tenang.



"Silahkan masuk,"

"Ini... Rumah kalian?"

"Iya!"

"SEWA RUMAH INI 20X LIPAT LEBIH BIAYA SEKOLAH KALIAN!!"

"He? Ya sekitar segitu. Hebat juga bisa menebak harga sewa rumah ini"

"Kau masih bisa bilang 'he'?! Orang tua kalian kerja apa bisa sampai memberikan kalian kontrakan?!"


"Ahaha itu rahasia. Kak Al duduk dulu saja, anggap saja rumah sendiri"


Rumah ini tidak cukup besar namun untuk hunian 2 orang rumah ini cukup mewah. Desain modern yang menurutku membuat rumah ini seperti balok-balok mainan anak-anak sangat mencolok perhatian. Kau tidak akan pernah lupa sekali melihat rumah seperti ini.

Sepertinya belum terlalu lama sejak mereka tinggal di rumah ini. Di sudut ruangan ini masih terlihat beberapa kardus tersegel yang mungkin adalah barang-barang mereka berdua. Satu-satunya yang terlihat jelas di ruang tamu ini adalah sofa bercorak papan catur dan sebuah meja kaca yang memiliki vas bunga indah di atasnya.

Tidak beberapa lama kemudian Aisa membawa segelas air putih dan sekaleng roti.

Aisa sudah berganti dengan pakaian santai. Sebuah kaos hitam lengan pendek bergambar seorang pria memegang gitar dengan pose power stance melekat di tubuhnya. Karena gambarnya terlalu abstrak aku tidak bisa mengenali gambar siapa itu. Bawahan celana santai selutut berwarna biru tua sangat cocok dengan pakaiannya.


"Maaf, cuma ada air putih. Kami belum selesai beres-beres,"

Tidak apa-apa. Air putih yang dibawa olehmu akan terasa sama saja seperti kumpulan embun segar gunung Slamet di pagi hari, jadi tidak masalah bagiku.

Aisa menaruh gelas di meja lalu duduk.

Aku kira aku harus memulai pembicaraan, tapi seperti dugaanku Aisa tipe yang mudah berkomunikasi dengan orang lain sehingga dia duluan yang mengambil inisiatif.

"Jadi, Kak Al, Bagaimana rasanya jadi Komite?"

Tadinya aku menjawab 'tidak enak karena tidak bisa dimakan'. Tapi rasanya bahkan orang sesantai Aisa tidak akan tertawa dengan lelucon dari zaman paleolithicum.

"Hm. Rasanya sih menyenangkan. Apalagi kalau antar komite sudah akrab, Ngomong-omong, Eve mana?"

"Ah, dia tadi sedang ganti baju mungkin sebentar lagi turun. Ah. Kak Al bisa pasang set Televisi dan DVD?"

Bisa, memang nya kenapa?

"Anu sebenarnya aku tidak bisa memasangnya dari kemarin. Aku mau nonton TV tapi belum dipasang, Eve pelit sekali tidak mau memasangkan" Katanya sambil melipat wajahnya.

Aku bisa bantu. Mana TV dan DVD nya? Ah jangan lupa manualnya.

"Maaf ya, jadi merepotkan,"

Oh tidak, kalau membantu gadis manis merepotkan maka tidak akan ada pria yang melakukannya.



Tidak butuh lama mengeset satu perangkat televisi dan DVD sehingga tidak sampai setengah jam aku sudah selesai memasangnya.

Hujan yang dari tadi turun belum menunjukkan tanda-tanda akah berhenti. Aku memandang tetes hujan yang berjatuhan dengan pandangan kosong sampai aku menyadari kalau seseorang berdiri tidak jauh di dekatku,


"Apa yang sedang kau lakukan?"

Eve bertanya dengan suara dinginnya yang sulit dijelaskan dia sedang bertanya atau memberikan kalimat berita.

"He? Aku memasang TV ini,"

"Tidak usah. Bilang saja rusak. Aisa tidak akan tahu."

He? Aku bingung dengan kata-kata Eve dan menjadi bisu beberapa saat sampai ada suara malaikat menggema di ruangan itu.

"Hah! Kata siapa aku tidak akan tahu," Aisa muncul tiba-tiba dari arah belakang Eve.

Meski sulit dibaca ekspresinya, aku yakin Eve tidak sedikit pun kaget kalau orang yang baru saja dibicarakan muncul tiba-tiba.

"Kalau TV dan DVD dipasang kau selalu berisik menyetel DVD Konser Band Metal dan genjrengan gitarmu membuat telingaku sakit,"

"Uu~~ Kau kan sudah punya hiburan komputer dan internet! Aku juga butuh hiburan!"

"Kalau begitu lakukan tanpa merusak pendengaran orang lain,"

"Tidak bisa! Lagu seperti ini harus dimainkan dengan Speaker kelas atas berdiameter 18 inchi! dan volume maksimal!! Hei, kau belum ganti baju!"

"Kau kabur dari topik pembicaraan,"

"Tidak! Kau masih memakai rok seragam sekolah! Ganti celana sana! Nanti kotor!"


Aku diam saja melihat pertengkaran konyol ini. Satunya penuh semangat mengeluarkan uneg-unegnya satunya lagi tanpa berkeringat membalasnya dengan suara datar. Benar-benar pemandangan yang aneh.


Singkat cerita aku kembali duduk dan meneguk segelas air minum yang ada di meja.

Aisa kembali ke dalam sedangkan Eve tetap berdiri di tempat. Kukira momen ini akan bertahan lama, sampai akhirnya dia memecahkan keheningan.




"Aku melihatnya,"



He?


"Mayat,"


Otakku serasa disambar petir setelah Eve dengan santainya mengeluarkan satu kata yang dari tadi aku pikirkan.

"Maksudmu... Mayat di Rak 17A?"

Dia mengangguk, menjawab pertanyaanku cukup dengan bahasa tubuh.

"Jadi aku tidak berhalusinasi," Gumamku.

"Tapi kenyataan mayat itu lalu menghilang begitu saja,"

Apa berarti kita berdua berhalusinasi?

"Kemungkinan dua orang memiliki halusinasi yang sama tanpa campur tangan pihak ke tiga sangatlah kecil dibawah satu per sepuluh juta,"

Aku tidak bertanya darimana Eve mendapatkan angka satu per sepuluh juta itu, tapi yang aku dapatkan dari kata-kata Eve adalah kemungkinan ada pihak ke tiga yang terkait.

"Masih ada satu kemungkinan lagi,"

Apa?

"Selain manipulasi sugesti ke otak dan manipulasi lingkungan yang dilakukan pihak ke tiga, gerakan abnormal dari ruang waktu memungkinkan satu kejadian..."

Eve berhenti dan memandangku dengan matanya yang tajam.



"Time slip,"


Terpelesetnya waktu?

"Secara literal memang seperti itu. Tapi maksudnya adalah kacaunya ruang waktu yang disebabkan goncangan waktu yang cukup kuat. Menyebabkan kemungkinan terjadinya penjelajahan waktu secara tidak sengaja.

Karena tidak ada ruang waktu yang absolut.

Dan kejadian tadi kemungkinan besar adalah kacaunya geometri ruang waktu di sekitar rak 17 A dan masuknya informasi dari ruang waktu lain."


...


......




Aku tidak mengerti.


"Mudahnya, Informasi dari masa depan atau masa lalu tertukar dengan kondisi asli rak 17 A. Menyebabkan kita melihat 'halusinasi'."


...

Baik. Apa judul film ini?

Meskipun aku sepertinya bercanda, aku sangat serius menanyakannya.


"Kalau kau tidak percaya akan kupotong lehermu,"


...HAH?!



"Maaf, tadi itu bercanda,"

Bagaimana kau bisa bercanda menggunakan kata-kata seseram itu?! Lagipula, bagaimana aku bisa tahu kalau kau bercanda kalau mukamu serius seperti itu?!


"Hm... Ternyata memang time slip..."

Suara Aisa tiba-tiba terdengar. Aku yang dari tadi memperhatikan Eve dengan serius sampai tidak sadar bahwa dari tadi Aisa memperhatikan pembicaraan kami.



"Aku tadi sempat merasakan goncangan waktu yang cukup kuat," Kata Eve

"Aku juga, Awalnya aku kira karena ruang waktu menanggung massa yang berlebihan membuat time slip. Sehingga kalian melihat bayangan itu,"

"Yang membuatku khawatir adalah bayangan tadi adalah pembunuhan antar ruang waktu yang pertama. Pembunuhan Prof. Lampard,"

"Mungkin itu kebetulan, maksudku saat time slip apa pun bisa terjadi,"

"Jangan pernah menutup kemungkinan,"

"Aku tahu. Tapi, tugas kita di sini cuma menjadi observer saja,"

"Untuk jaga-jaga aku akan lapor ke Organisasi dulu,"

"Kalau situasi bertambah rumit status observer bisa jadi eksekutor,"

"Atau kalau lebih buruk lagi, terminator"

"Aku tidak mau memikirkan kemungkinan itu,"



Aku tidak mengerti kalian bicara apa. Apa kalian sedang membicarakan Doctor Who?

"Sudah kubilang ini bukan film, apa aku harus melemparmu ke zaman jurassic supaya kau percaya." Eve mengatakan ini dengan suara sangat dingin padaku.

"Ah, maaf, Kak Al. Sebenarnya ada alasan khusus mengapa kami mengundang Kak Al ke sini." Kata Aisa.




"Kami adalah penjelajah waktu,"




"Kami dalam tugas menjadi observer di bentang waktu ini untuk mengawasi dan melindungi beberapa orang yang penting bagi masa depan,

Tuan Isaac

Nona Rossa

dan Nana,

Ketiga orang ini dalam pengawasan Organisasi kami.

Jangan khawatir, kami tidak memiliki maksud jahat sama sekali terhadap mereka. Justru kami melakukan ini karena ingin mereka bertiga dalam kondisi aman terjaga.

Untuk itu kami..."

Stop! Stop! Stop!

Kalian bicara apa, sih?! Aku tidak mengerti!


"Sudah kami bilang kami Penjelajah Waktu, kau tidak pernah baca Mahabaratha atau sesuatu yang berhubungan dengan itu?"

Bukan begitu. Aku mentolerir kalau kalian sedang membicarakan novel, animasi, komik atau film. Tapi kalian bertingkah seperti ini sungguhan! Seram tahu!


"Sudah kubilang menjelaskan pada dia tidak akan berhasil. Manusia di bentang waktu ini masih belum menggenggam dasar penjelajahan waktu... Ah mungkin sudah, tapi terbatas. Aku kira di zaman ini baru CERN yang berhasil memahaminya,"

Eve menyelesaikan satu paragraf tersebut dengan satu nafas dan tanpa menggerakkan otot wajahnya.

"Uh kalau begitu biar aku jelaskan," Aisa mengeluarkan ekspresi canggung dan berpikir. Dia mengambil nafas sebelum di sela Eve,


"Biar aku saja.

Pertama kau harus paham dasar-dasar hukum fisika untuk penjelajahan waktu.

Apa kau sudah memahami Teori Relativitas Khusus, Relativitas Umum, Transformasi Lorentz, Diagram 4 dimensi Minkowski, Gravitasi Quantum, String Theory..."

Stop! Stop! Stop!

Aku tidak paham semua teori itu.


"Geh. Menjelaskan itu semua membutuhkan waktu yang lama, jadi untuk teknis penjelajahan waktu tidak usah. Karena kau bodoh,"

Meski baru saja mengeluarkan kata-kata sedikit kejam Eve tetap saja otot wajahnya tidak bergerak sedikit pun.

"Karena kau belum paham teori-teori tadi, aku tidak akan menjejali otakmu dengan Perhitungan Matematis Sabrina, dan lain-lainnya. Kita langsung ke..."

Perhitungan matematis Sabrina?

"Perhitungan Indeks Penjelajahan waktu. Itu Perhitungan matematis penjelajahan waktu di atas kertas, menjelaskan hubungan massa, energi, gravitasi, ..."

Belum sempat Eve menyelesaikan kata-katanya, aku menyela.

"Sabrina?"

"Sabrina, adikmu yang pertama kali menyajikan perhitungan indeks penjelajahan waktu yang sekarang kami gunakan,"

TUNGGU! Nana?!

"Tentu saja, siapa lagi adikmu?"

DIa masih kelas 1 SMA! Aku tidak ingat dia pernah menciptakan sesuatu seperti itu.

"Bodoh. Tentu saja Nana di masa depan yang menemukannya. Nana di masa ini belum melakukannya,"

Ini kedua kalinya Eve mengatakan aku bodoh.

Ini semua terdengar terlalu konyol. Tapi aura keseriusan Eve membuatku tidak bisa tertawa bahkan tersenyum sedikit pun.


"Kak Al..."

Aisa meraih tanganku sambil memandang mataku dengan matanya yang penuh harap dan berkata,

"Percayalah pada kami..."





Menyuruh seseorang percaya akan penjelajahan waktu sama saja menyuruhku percaya bahwa barusan ada UFO lewat lalu alien turun dan menari poco-poco bersama para lansia.

Meski terdengar riil, dengan teori fisika sungguhan. Satu gram fiksi cukup bisa membelokkan realitas dan jadilah fiksi sains.

Aku tahu! Eve dan Aisa pasti mengerjaiku. Pasti. Tidak salah lagi. Mereka dalam hati tertawa!


Aku tadinya ingin berpikir seperti itu, tapi pandangan mata Aisa benar-benar bisa membuatmu lemas dan patuh seperti terhipnotis. Sehingga tanpa sadar aku berkata,

"O-Ok, Aku percaya. Tapi kau harus buktikan dulu,"

"Bukti termudah adalah melemparmu ke Zaman Jurassic dan membuatmu dikejar kejar puluhan Raptor atau Mengirimmu ke Hiroshima dan Nagasaki di tahun 1945,"

Tidak terimakasih. Meskipun kau bercanda, jangan gunakan canda yang seram dan dengan muka serius seperti itu, Eve.

Melempar ekspresi minta maaf Aisa berkata

"Maafkan Eve kak Al. Dia lagi dap-"

"Ai."

Eve menembakan pandangan setajam pisau damaskus ke arah Aisa sehingga Aisa berhenti bicara dan mengalihkan topik pembicaraan.

"Po-pokoknya waktunya akan tiba. Untuk sekarang Kak Al boleh percaya atau tidak,"





Karena sudah terlalu sore, aku ingin segera pulang. Namun sepertinya hujan masih turun dengan deras sehingga membuatku berpikir 2 kali.

"Aisa, aku boleh pinjam payung. Kalau bisa aku pinjam dua," Kataku pada Aisa di depan pintu setelah melihat tidak mungkin menerobos hujan sederas ini tanpa kena masuk angin.

"Hm? Ada sih, tapi cuma ada satu. Kenapa tidak pulang nanti malam saja,"

Aku kira hujan ini akan awet sampai malam, jadi sebaiknya aku pulang.

"Kenapa tidak menginap di sini saja?"

Ok. Itu berbahaya.

"Kenapa berbahaya?"

Jangan menyuruhku mengatakan sesuatu yang tidak perlu. Pokoknya berbahaya. Apa yang harus dikatakan pada pak RT jika kita di grebeg warga?

"Ok kalau begitu. Akan aku ambil dulu payungnya,"


"Tidak perlu. Ini,"

Ternyata bergerak lebih cepat daripada pikiranku, Eve sudah mempersiapkannya dari awal,

Hm payungnya kecil.

"Maaf, Kak Al, cuma ada itu,"

"Oh tidak. Terimakasih. Besok akan ku kembalikan. Sampai besok,"

"Sampai besok,"

Aisa melemparkan senyuman sambil melambaikan tangannya. Aw~ dia terlihat manis sekali.

"Oi,"

Saat aku sudah melangkah beberapa meter meninggalkan pintu suara dingin Eve membuatku berpaling ke belakang,

"Tidak. Tidak ada apa-apa,"

Dia masih seperti biasa, tidak menampilkan ekspresi khusus. Tapi dari keadaannya, aku kira dia ingin mengatakan sesuatu,






"Yo," Kataku sambil melambaikan tanganku.

"Hm, kau belum pulang?"

"Sudah setengah perjalanan, tapi aku balik ke sini karena ingat ada seorang putri yang tidak mungkin menerobos hujan deras ini dan terjebak di perpustakaannya. Aku juga ragu dia akan menghubungi orang tua nya untuk menjemput karena dia terlalu takut merepotkan mereka,"

"Heh. Siapa yang putri? Lagipula mana ada putri yang mau dijemput pria berpayung. Setidaknya harus membawa limo atau sesuatu,"

Kak Rossa berdiri sambil melepaskan senyum tipis.

"Jadi, apakah tuan putri siap pulang dengan resiko 18,28 % terkena masuk angin?" Kataku setengah bercanda.

"Hee... Jadi kau siap mengantarkanku sampai pulang ke rumah dengan selamat?" Dia mengikuti nada bicaraku yang seperti pelayan restoran.

"Siap. Tapi jangan lupa bayarannya,"


"Jadi, payung siapa ini?"

"Aisa dan Eve. Barusan aku dari rumah mereka,"

"Hoo... Buat apa kau kesana?"

"Alasan utamanya adalah berteduh,"

"Di mana sih rumah mereka?"

Aku mengatakan daerah rumah Aisa dan Eve tinggal beserta ciri-ciri rumah mereka,

"Itu kontrakan, kan?" Rossa menaruh jemarinya di dagu.

"Iya. Dan anehnya mereka tinggal berdua saja?"

"Bahaya sekali,"

"Menurutku juga begitu,"


"Hm~ Ayo pulang, sudah semakin gelap,"

Kak Rossa berteduh di payung yang aku bawa dan kami beranjak dari tempat karena hari semakin gelap.



Hujan sudah cukup mereda namun belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Berjalan dengan kecepatan konstan aku dan Kak Rossa berteduh di satu payung yang sama.

"Kenapa kau tidak pinjam 2 payung?"

"Aisa bilang dia punya 1,"

"Satu dan kecil,"

"Sudah jangan protes,"


"Jadi, apa yang kau lakukan di sana?"

"Hm? Memasang set televisi dan DVD,"

"Itu saja?"

Aku juga mendapat diklat dari Eve tentang sci-fi, walau aku tidak paham sedikit pun.

"Terdengar menyenangkan,"

Lumayan.


"Kau, tidak melakukan yang aneh-aneh, kan?"

Melakukan yang aneh apa? Aku tidak paham bahasa yang ambigu seperti itu.

"Lupakan. Walau kau melihat Aisa seperti penguntit, aku tidak yakin kau punya keberanian untuk melakukan hal yang aneh-aneh,"

Penguntit?

"Kalau kau kira aku tidak sadar dari tadi kau melihat Aisa dengan mesum, kau salah besar," Kak Rossa melepaskan senyum licik ke arahku.

Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal sambil menahan 4 kilogram rasa malu. Apa memang terlihat sejelas itu?

"Lupakan. Setidaknya kau tidak memandang lelaki dengan pandangan itu. Masih dalam batas normal,"

Oh ya. Terimakasih atas informasinya walau aku tidak menjadi lega sedikit pun.


"Ngomong-omong, Kau percaya penjelajahan waktu, Kak Rossa?"

"Hm? Apa maksudmu?"

Kau percaya atau tidak penjelajahan waktu bisa dilakukan?


"Mana mungkin! Hahahhahha, Kalau bisa, sama saja kita pakai gameshark di kehidupan ini. Maksudku, kita bisa bolak-balik masa lalu ke masa depan, memperbaiki kesalahan yang kita lakukan. Itu namanya curang,"

Ah, tadi pagi Nana juga bilang Penjelajahan waktu itu curang.

"Meski pun jika di atas kertas mungkin, tapi bagaimana paradox-paradox dalam penjelajahan waktu terpecahkan?"

Apa itu paradox?

"Cari di google. Aku malas menjelaskannya,"


5 detik terasa sunyi.

"Sini. Merapat, pundakmu terkena air hujan,"

Tidak apa-apa. Payungnya kecil tidak akan bisa menutup luas permukaan tubuh kita berdua.

"Hee~ Berlagak seperti gentleman, kau..."


Apa sih?! Tidak boleh?

***
========================================
Author Note :

Ok. Selesai sudah chapter 2. Kalau anda sudah baca Jump sebelumnya, berarti anda harus mereset imej Aisa dan Eve. Masih ada kesamaan sebenarnya tapi belum akan muncul dalam waktu dekat.

Yah, itu karena kurang menariknya Jump sebelumnya menurut saya. Walau om genced bilang yang menilai itu pembaca.

Sekali lagi mohon maaf.

Kalau anda bingung dengan beberapa referensi atau istilah, google dan wiki adalah teman terbaik.

See you in the next chapter.

Note : IDWS version will out after illustration complete.
========================================

Next : Chapter 03 - The Abcence of Tourist from Future isn't Proof that Time Travel Impossible

2 komentar:

Anonim mengatakan...

lololol, sebuah harem yang dikamuflasekan dengan sangat baik :p not that I don't like it, though

my opinion
>Karena aku penasaran rumah mereka seperti apa, aku mengikuti mereka pulang.
cuma penasaran? bagian ini harusnya lebih dielaborate lagi, tidak seru kalo alasannya sesimpel itu XD

>"Aku juga, Awalnya aku kira karena ruang waktu menanggung massa yang berlebihan membuat time slip. Sehingga kalian melihat bayangan itu,"
massa yang berlebihan masih terlalu simpel, coba tambahkan sesuatu yang cukup anomali dengan tingkat kemungkinan terjadinya sangat kecil

zetsudou sougi mengatakan...

clever tsukkomi as usual:top:
keep going dan biarkan pembaca yg menilai!!