Aku melipat kertas 'masa depan' yang tidak jelas itu.

Meski setelah menghubungi Aisa, aku masih belum tahu siapa atau dimana aku harus menyelamatkan orang ini.

Saat aku akan menuju meja belajarku, tiba-tiba pintuku berbunyi 2 kali dan Nana muncul dari baliknya.



"Kak, Aku tidak paham bagian ini,"

Aku hampir yakin kalau itu kebohongan.

"Entah kapan terakhir kali kau bertanya padaku..." Kataku tidak percaya.

"Seaneh itu kah, seorang adik bertanya pada kakaknya? Kakak bisa menemukannya disetiap keluarga di seluruh pelosok Indonesia," Katanya cepat.

Ya. Aku tahu itu. Tapi untuk kasusmu aku memberi pengecualian.

"Mau mengajari tidak?!" Kata Nana sambil melipat wajahnya.


Memang pelajaran apa sih?

"Kesenian. Kami disuruh menggambar prespektif,"


Karena dia sudah membawa seluruh peralatannya dia langsung mendekat. Sudah kuduga, dia sudah persiapan dari awal.


Aku membawa peralatan tersebut ke lantai. Mengerjakan di mejaku akan sulit posisinya, sehingga aku memilih mengerjakannya di lantai. Sambil duduk bersila, aku menjelaskannya.

"Pertama kau gambar garis horison terlebih dahulu... coba gambar garis horisontal,"

Menuruti perkataanku, Nana memulai menggaris dengan rapi.

"Ok, lalu?"

"Tentukan Titik Stasionernya... Gambar titik, misalnya di sini...

...................


.................


..........


.....


"Hasilnya bagus," kataku setelah melihat hasil akhir gambar Nana.

"Oh, sekarang aku mengerti. Makasih kak," Katanya tersenyum sambil memandang gambar sebuah kubus simpel yang di gambarnya dengan sungguh-sungguh.


"Sama-sama."


Aku segera teringat sesuatu yang dikatakan seniorku dan Aisa.

"Ah, Nana, kau tahu sesuatu tentang rumor hantu di perpustakaan?"

"Ya, tahu. Kenapa?"

Ah tidak. Belakangan ini sepertinya banyak orang yang membicarakannya. Bisa beri detailnya?


"Yang aku tahu... Tidak terlalu banyak."

He...

"Kalau menurutku ini fenomena biasa."

B-biasa?

"'Sugesti'"

itu sering dikatakan oleh Ahli Hipnotis.

"Ya. 'Seni' untuk menfokuskan pikiran seseorang pada sebuah satu ide dominan. Maksudku di sini adalah... Apa yang mereka lihat hanyalah sebuah sugesti. Awalnya mungkin hanya seorang yang memiliki sugesti bahwa di situ ada hantu. Tanpa sadar jika ketakutan menyelimuti diri seseorang, bisa saja seseorang berhalusinasi.

Nah Orang pertama yang memiliki sugesti 'ada hantu di situ dan melihatnya' mengatakannya pada orang kedua. Secara tidak sadar, jika orang kedua percaya, maka dia membentuk sugesti bahwa 'disitu ada hantu'. Orang kedua mengatakan pada orang ketiga dan seterusnya...


Suatu saat seluruh orang akan banyak yang membicarakannya dan sugesti itu akan tersebar,

Orang cenderung berpikir semakin banyak orang yang percaya atau setidaknya membicarakannya, semakain valid lah informasi tersebut.

Karena orang tersebut menganggapnya valid, otaknya akan memproses sugesti 'di situ ada hantu' sebagai fakta.

Ini jadi semacam Sugesti Massal.


Ada juga orang yang mungkin percaya tidak mungkin ada hantu.

Tapi, Cognitif Dissonance... membuat kepercayaan diri seseorang runtuh.

Ah, Cognitif Dissonance bukan suatu hal yang aneh kok. Misalkan saja ada seseorang guru bertanya pada murid, pilihan A dan B, kakak tahu benar jawabannya A. Tapi orang pertama menjawab B dengan sangat percaya diri, orang kedua juga... dan seterusnya sampai giliran kakak. Padahal kakak tahu kalau jawabannya B, tapi sampai giliran kakak, kakak akan menjawab B.


Manusia, pada umumnya, akan merasa tidak nyaman bila ada ketidakcocokan dengan lingkungan eksternal mereka. Lalu untuk itulah mereka mencoba berpadu dengan lingkungan tersebut. Meski itu salah...


Er.....

Sampai d imana tadi,

Ah, ya. Tapi ada juga kemungkinan ini semua adalah kebohongan sekelompok orang yang menyebar.


Pada akhirnya, yang manapun, membuat kekuatan rumor itu semakin kuat,"


...Dan padahal kau tadi bilang hanya tahu sedikit.



"Ngomong-omong, tadi sedang apa Kak Eve ke sini?" Tanya Nana.

"Oh, tidak ada yang penting. Cuma memberi jam ini," Kataku sambil memperlihatkan jam yang kukeluarkan dari saku.


"Terlihat mahal sekali. Kak Aisa dan Kak Eve memang beda..."

Maksudmu?

"Kakak tidak tahu? Mereka itu seperti tuan putri di sekolah kami. Memandang mereka dari jauh saja sudah membuat minder orang kampung sepertiku," Katanya dengan muka yang menurutku lucu.

Benarkah? Aku tidak tahu hal itu. Tunggu! Kau bilang kau anak kampung?! Kalau kau bilang seperti itu, berarti itu juga berlaku bagiku.


"Ahaha, kesampingkan itu, tapi katanya mereka itu anak petinggi di sebuah perusahaan multinasional."


Aku terdiam sejenak.

Aku sulit menemukan apa yang Nana deskripsikan dengan Tuan Putri dari mereka berdua. Secara pribadi aku lebih merasa deskripsi itu cocok untuk Kak Rossa.

Aisa dengan nada bicaranya yang ceria dan Eve dengan mode bicara seperti pelayan restoran, sesaat terlintas di kepalaku.

"Memang sih, Kak Rossa lebih elegan dari mereka berdua. Tapi kakak belum lihat mereka di antar dengan limo, kan?" Katanya dengan wajah serius.

Li-limo?!

"Awalnya mereka juga membawa butler dan maid,"

Butler dan Maid?!

Aku, secara literal membuka mulutku dengan lebar.

"Aku bisa mengerti dan mentolerir Limo. Tapi, butler dan maid?! Apa pekerjaan itu eksis di negara berkembang ini?! Cosplay! Aku yakin itu cosplay!"

"ko-kospelai? Aku tidak tahu apa itu. Tapi mereka berdua sepertinya suuuuper kaya. Tapi mereka kemudian berhenti membawa pelayan mereka karena sepertiya mereka baru sadar kalau itu dianggap tidak wajar,"

Aku yakin tidak melihat seorang pelayan pun di rumah mereka. Bahkan mereka memintaku memasangkan set televisi. Jadi? Kemana pelayan-pelayan mereka?

"Aku yakin Kak Aisa menyuruh mereka pulang ke rumah ayahnya. Tapi katanya beberapa bodyguard mengelilingi rumah mereka. Ada beberapa anak ABS yang dengan naif berpikir Kak Aisa dan Kak Eve sekarang tinggal sendiri dan berusaha 'menyerang' mereka. Dan pada akhirnya mereka berakhir di puskesmas terdekat,"


Satu hal yang terbersit di pikiranku adalah kalau semua ini adalah 'berkat' Organisasi. Aku harusnya tidak terlalu kaget.


"Kenapa aku sampai tidak mendengar itu, ya?" Kataku heran.

Aku punya Iwan si raja Hoax, Isaac si kamus berjalan dan Kak Rossa yang bersekolah di AGS. Tapi aku tidak dengar yang seperti itu.

"Kakak dan Senior di Komite Perpus sibuk waktu itu. Aku yakin Kak ROssa tahu. Tapi dia mungkin merasa itu bukan topik yang pantas di bawa-bawa."


Senyum Nana seperti sedikit aneh dan menyebalkan setelah aku perhatikan baik-baik.

"Ke-kenapa kau tersenyum-senyum mengerikan seperti itu~"

"Habis~ ...Khihihihi... Terus nasib Kak Rossa bagaimana?"


Apa maksud kata-kata barusan? Jangan tersenyum-senyum seperti itu!


Tanpa sadar waktu semakin larut dan menunjukkan pukul 22.00.


"Sudah sana pulang ke kamarmu. Sudah malam dan kau besok harus sekolah," Kataku setengah mengusir.


"Ok,"


"Oi, Nana."

Dia berpaling ke arahku dan menunggu aku berkata,

"Besok kau jaga dirimu baik-baik. Terutama jam 3 sore besok,"

Terlihat bingung dengan perkataanku, Nana hanya mengangguk dan menjawab,

"Ok,"


Aku tidak pernah tahu kalau itu adalah terakhir kalinya aku berbincang santai dengannya,










"K-Kau pasti bercanda,"

Aku tidak mau percaya pada bayangan visual yang terproyeksi di retina mataku.

Perkembangan seperti ini terlalu cepat, terlalu tidak nyata.


Aku bergerak perlahan menuju tubuh adikku yang tergeletak tidak bergerak di depanku. Berjalan layaknya seorang prajurit yang sudah penuh luka, aku menyeret langkahku seperti menarik beban terberat yang pernah aku tarik selama hidupku.


Perlahan.


Setiap milimeter terasa seperti bermilenium-milenium rasanya,


Aku berhenti tepat di depan Nana yang matanya gelap seakan matanya sudah tidak memantulkan cahaya lagi.


Membungkuk untuk meraihnya membutuhkan berjuta-juta joule bagiku.


"Ke-kenapa kau berbaring di sini Nana..."

Bahkan mulutku sendiri menolak fakta yang sudah jelas terlukis di depan mata.

"Li-lihat ba-bajumu jadi kotor, kan?"


Tanganku yang penuh keraguan berusaha meraih tubuhnya,


Dingin,

Terlalu dingin,

Sehingga untuk sesaat tanpa sadar tanganku menjauh. Tapi segera aku kembali mengenggam tangannya lagi.


Bau amis darah semakin membuatku semakin merasa mabuk.

Kubangunkan tubuhnya perlahan, apa dia selalu seringan ini? Entah kapan terakhir kali aku mengendongnya. Aku tidak ingat dia seringan ini. Apa karena dia kehabisan darah. Darah merah kental menggenangi tubuh kecilnya.

Aku tidak tahan melihat matanya yang tidak berkedip itu. Meski sebagian diriku tidak ingin mengakuinya, sebagian dari diriku tidak tega membiarkannya seperti ini terus.


Perlahan aku menaruh tanganku di wajahnya dan menutupkan matanya...


Dadaku serasa sesak. Meskipun dunia ini berisi 21 persen oksigen yang cukup untuk seluruh makhluk di bumi, entah kenapa aku merasa sulit bernafas.

Kudekatkan tubuhku kepada Nana dan memeluknya. Aku bahkan tidak peduli seragamku penuh darah. Aku peluk dengan erat dan aku tidak ingin melepaskannya.


Saat tubuh dinginnya menyentuh dadaku aku merasa hampa dan sudah tidak tahan lagi dan tanpa sadar air mata mengalir di pipiku. Sudah lama sekali... Kapan terakhir kali aku menangis seperti ini?


"NANAAAAA!!!"

Semakin lama aku memeluknya semakin perih dadaku.



Marah.



Kecewa.



Merasa bersalah.



Bercampur menjadi satu.


Aku sangat marah sehingga aku rasa aku akan menyalahkan siapa pun. Siapa pun. Tentu saja target terdekat adalah Aisa dan Eve.

Akan kulemparkan kemarahanku pada mereka.

Ini semua salah mereka! Mereka menyeretku!

Tidak, ini semua salah Eve!

Dia tolol dan tidak bisa menyelamatkan Nana.

Aisa saja bisa menyelamatkan Tifa, kenapa dia tidak bisa menyelamatkan Nana?!



...Kenapa aku menyalahkan orang lain?


Aku benar-benar pecundang.


Apa aku pantas menyalahkan semua ini ke Eve?



Aku tidak sanggup melihat Kondisi Eve saat ini.

Diluar logika manusia kalau dia masih hidup dengan kondisi seperti itu.



Dia tergeletak lemas beberapa meter dari Nana.


Berbeda dengan Nana yang terlihat masih utuh meski aku yakin beberapa tulangnya patah, keadaan Eve sangat parah.


Perutnya berlubang di sebelah kiri seperti tertembak sesuatu. Dan aku yakin itu bukan peluru biasa. Lubang itu hampir sebesar kepalan tangan orang dewasa. Dari luka tersebut darahnya mengucur seakan tiada akhirnya.


Aku baru sadar kalau Aisa daritadi berada di dekat Eve dan menangis,


"E-e-eve..."

Dia terlihat sangat putus asa. Dia berbuat apa yang dia bisa sambil terus meneteskan air mata. Wajahnya yang pucat itu ternoda oleh darah merah Eve.


"Te-tenang ja-jangan be-berger-gerak,"

Meski dia mengatakan itu, Aisa sendiri terlihat sangat panik.


Aku melihat bibir Eve bergerak sepertinya mengatakan sesuatu.


"A-apa maksudmu?" Aisa mendekatkan telinganya ke mulut Eve.















"Kita akan Menjelajah waktu... Sekarang," Aisa mengatakannya dengan suara yang sangat lemah.


"Kalau aku tidak mau?"

Aku tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulutku dengan nada yang sangat dingin.


"Kak Al harus mau," Nada bicara Aisa tidak kalah dingin. Seakan dia berbeda dari Aisa yang aku kenal.


Aku tidak mau. Ini semua gara-gara kalian. GARA-GARA KALIAN! SIALAN!

Aku memeluk Nana dengan sangat erat.


"Berhenti bertingkah seperti itu dan cepat bangun,"

Aisa tidak menerima jawaban tidak.

"Persetan denganmu. Aku tidak akan menuruti kata-kata kalian. Kalian bahkan tidak bisa melindungi Nana! Apanya yang Organisasi!"


Aku tidak sadar kalau kata-kata itu sangat sensitif bagi Aisa.


PLAAKK!!

Dia menamparku dengan sangat keras sampai aku rasa telingaku berdengung.

Tamparan tersebut benar-benar terasa sakit dan perih.


Mata Aisa memandangku dengan penuh amarah.


Dia menarik kerah bajuku dan berkata tepat di depan mukaku,

"Apa seperti ini Pemimpin besar Organisasi? Aku tidak bisa melihatmu lebih dari pecundang,"

Aku melepaskan pelukanku dari Nana dan memberontak.


"Organisasi,Organisasi,Organisasi,... PERSETAN DENGAN ORGANISaSI!!" Kataku mendorong Aisa dengan seluruh tenagaku.


Aisa terlempar. Namun, seranganku tadi seperti sebuah pukulan bantal baginya.


"Tiba-tiba datang berkata dari 'masa depan', menyuruhku menyelamatkan orang. Dan kalian tidak bisa melindungi Nana! SEKARANG BAGAIMANA KALIAN BERTANGGUNG JAWAB!!!!!" Kataku penuh amarah.

Aku belum pernah menyalahkan seseorang sampai seperti ini.


"Tarik... Tarik kata-katamu,"

Kata Aisa dengan pelan.


Buat apa aku menarik kata-kataku.

"GARA-GARA KAU! INI SEMUA GARA-GARA KAU!!"

"Sekarang kau menyalahkanku?!" Kataku membela diri.

Aku baru sadar kalau Aisa berhenti memanggilku dengan Kak. Tapi aku tidak peduli, bukan aku yang minta.



"Kau tidak tahu apa yang kami lewati... Kau tidak paham perasaan kami! Kau tidak paham perasaan kami!Kau tidak paham perasaan kami!Kau tidak paham perasaan kami!Kau tidak paham perasaan kami!Kau tidak paham perasaan kami!Kau tidak paham perasaan kami!Kau tidak paham perasaan kami!Kau tidak paham perasaan kami! Kami tahu... Kami cuma Eraser. Tapi itu bukan alasan untuk memperlakukan kami seperti benda! SIALAN!" Aisa sepertinya menahan amarah untuk memukulku dan melampiaskannya dengan menendang tanah.


"Aku tidak paham maksudmu,"

Karena Aisa mengatakan itu, aku jadi semakin merasa bersalah.




"Oi, oi, stop kalian berdua..."


Suara yang butuh waktu cukup lama untuk mengenalinya.

Suara itu bukan suara Aisa, Eve maupun Nana.


Suara renyah itu milik Karin.



Dia berdiri beberapa meter dari kami seakan ini merupakan pemandangan biasa.









"Hmmm... Aku yakin luka ini akan segera tertutup."

Karin melakukan sesuatu pada Eve. Aku tidak tahu apa itu, tapi dia terlihat profesional.


"Siapa kau?" Tanya Aisa. Dia masih terlihat marah namun sepertinya sudah sedikit reda.

Setelah selesai dengan apa pun yang dia lakukan, Karin berdiri menghadap Aisa.




"Karina Intan, dari divisi Transhuman."
Katanya mengulurkan tangannya ke Aisa.


"Aku --"

"Aisa, kan?

Tentu saja aku tahu. Karena di masa depan, kalian berdua adalah 'anakku'," Kata Karin tenang dan tersenyum.


"Oh begitu, Aku tidak pernah bertemu dengan "Mama" sebelumnya. Jadi aku tidak tahu,"


Itu saja reaksimu?!

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka bicarakan. Mereka bicara seakan hubungan ibu dan anak mereka tidak berarti sama sekali.



"Oh, hai Al," Seperti baru saja menyadari keberadaanku, Karin menyapaku.


"Apa maksudnya ini? Apa kau juga dari 'Organisasi'," Tanyaku

"Kalau begitu aku tidak perlu menjelaskannya lagi. Yang penting sekarang kau segera menjelajah waktu. Selamatkan Nana dan Eve."




Tolong jelaskan dengan singkat dan jelas. Aku rasa emosiku sekarang tidak bisa diajak kompromi dengan mudah.


"Tidakkah kau melihat ketidak konsistenan alur waktu?" Kata Aisa tiba-tiba. Sepertinya dia sudah mulai bisa mengendalikan emosinya.


Ketidak konsistenan alur waktu...


"Nana di masa depan eksis. Kalau dia mati di bentang waktu ini... Itu sama sekali tidak masuk akal. Berkontradiksi dengan fakta di masa depan"


TIba-tiba secercah cahaya bersinar di sudut hatiku. Serasa seperti orang yang terjebak di gua yang sangat gelap akhirnya dapat menemukan seberkas cahaya dan bau air laut.


Tapi kemudian aku menemukan sebuah bantahan.


"Ta-tapi mungkin saja masa depan berubah! Atau ini adalah Dimensi alternatif di mana Nana mati?!"


Meski aku bertanya seperti itu, aku tidak ingin Aisa membenarkan bantahan tersebut. Tapi selalu mempersiapkan hal terburuk adalah suatu hal yang harus dilakukan bagiku.




"Untuk sekarang... kita kesampingkan masalah yang terlalu kompleks itu. Lebih baik tidak berharap itu terjadi. Karena kalau benar... Kami, Organisasi, tidak tahu apa yang harus dilakukan," Kata Aisa dengan nada putus asa.


"Ok. Sudah diputuskan. Kalian berdua segeralah menjelajah waktu, Aku akan menjaga Eve." Kata Karin


"Kode-nya?" Kata Aisa memastikan.


"Ini," Karin melemparkan sesuatu berbentuk seperti flashdisk kepada Aisa.



"...Ayo Kak Al," Meski terlihat dipaksakan, Aisa tersenyum sambil menuju ke arahku.


...Ok. Sebelum itu, aku ingin bertanya pada Karin. Dari awal kau sudah tahu kalau aku punya hubungan dengan Organisasi?

"Tentu saja."


Aku sedikit bingung di sini. Mereka bilang kalau Organisasi di bentuk tahun 2018... Lalu kenapa sekarang anggota Organisasi di bentang waktu ini bisa eksis?


"Itu mudah. Secara kronologis, Organisasi sudah ada sejak sekitar 3 tahun yang lalu. Tapi secara de yure, Organisasi di dirikan tahun 2018.

Organisasi di bentang waktu ini tidak memiliki kekuatan untuk memanipulasi regulasi seperti yang bisa dilakukan Organisasi yang ada di masa depan.

Kami semata-mata bisa eksis karena suplai informasi dari masa depan. Pada kenyataannya, anggota Organisasi di bentang waktu ini mayoritas adalah Penjelajah Waktu. Kau tidak menemukan banyak penduduk pribumi bentang waktu ini, ahaha..."


Tolong jangan mengeluarkan bahasa sulit dengan kecepatan seperti itu. Otakku perlu waktu untuk memproses omonganmu.





"Oh, Al!"

Apa?

"Bisa minta tolong?"

Minta tolong apa?


"Bilang ke Iwan. Kita berakhir. Finish! Ok?"



Aku hanya diam. Iwan juga mengatakan hal yang sama. Jadi ini menghemat energiku. Tapi rasa penasaranku membuatku bertanya meskipun ragu-ragu

"Ok. Aku tahu. Karena Iwan juga bilang hal yang sama. Kalian bertengkar?,"

"Tidak. Tapi bocah seperti tidak akan mengerti~"










"Kak Al, sudah siap?"

Ok. Kapan pun.


"Waktunya briefing. Aku punya informasi dan aturan yang harus Kakak ikuti,"

Aku mendengarkan.


"Pertama, Kakak harus sadar bahwa Penjelajahan Waktu itu sesuatu yang sangat sensitif. Jadi tolong tidak perlu melakukan hal yang tidak perlu. Melakukan hal selain yang diperintahkan sama saja bunuh diri. Mengerti?"

Ok. Jadi meskipun iseng aku tidak boleh memecahkan kaca jendela, karena itu tidak terjadi "di masa ini"

"Ya seperti itu. Itu bisa merusak harmoni ruang dan waktu.

Kedua, Menjelajah Waktu mengacaukan jam alami tubuh Kakak.

Misalnya, meski umur kakak secara kronologis 17 tahun. Jika sekarang kakak kembali ke masa lalu dan tinggal di sana selama 3 tahun lalu kembali lagi, kakak memiliki 2 umur.

Umur kronologis, yaitu 17 dan umur relatif yaitu 20. Tinggal di masa lalu tetap membuat Kakak menua,"


Ok. Tidak masalah.


"Yang ke tiga, mati di masa lalu tetaplah mati."


Aku menelan ludahku mendengar kalimat itu. Tapi sudah tidak ada waktu untuk mundur

"Aku mengerti," Kataku mengumpulkan rasa percaya diri.



"Yang empat..."

Aku masih mendengarkan

"Keempat, menjelajah waktu butuh tubuh yang sangat kuat. Untuk itulah ada Divisi Transhuman,

Saat ini Kakak tidak memiliki karakteristik fisik yang memenuhi standar.

Meski begitu masih dalam batas yang bisa ditolerir. Yang menjadi masalah adalah setelah Kak Al sampai di tempat tujuan... Tidak ada jaminan kakak bisa beraktivitas dengan normal.

Apa kak Al siap?"


Terdengar sangat tidak menyenangkan. Tapi apa boleh buat! Tidak tahu kalau belum di coba.

"Minumlah obat ini. Mencegah kakak mengalami penuaan ekstrim saat menjelajah waktu,"


Tanpa banyak membantah aku segera menelannya.

"Terakhir,..."


Masih ada?!


"Terakhir, aku minta maaf. Tidak seharusnya aku berperilaku seperti itu pada Kak Al. Maaf atas perilaku diriku yang tidak sopan,

Aku cuma tidak tahan melihat orang yang aku kagumi dalam kondisi seperti itu.

Kak Al adalah pahlawan bagiku dan Eve,"

Aisa tersenyum.


"Harusnya aku mentolerir karena Kakak yang sekarang belum tahu apa-apa, Maaf sekali lagi"


Jangan minta maaf terus. Aku jadi tidak enak hati. Tapi baguslah, pertengkaran tidak penting yang kami lalui tadi sudah menjadi sejarah untuk diingat dan ditertawakan.


"Sekarang kita harus menunggu 2 menit...4 detik lagi sampai penjelajahan waktu,"

Tidak bisa sekarang? Secepatnya?


"Bumi berotasi terhadap sumbunya... lalu berevolusi terhadap matahari... Tidak ada yang namanya koordinat absolut. Kalau kita seenaknya berangkat sekarang, bisa-bisa kita muncul di Madagaskar atau lebih buruk lagi di samudra luas tanpa tempat berpijak. Untuk itu perhitungan Sabrina dan Super Komputer bernama A.D.A.M itu ada."


Ugh! Menjelajah Waktu tidak sesimpel dalam film. Tinggal menekan tombol dan Jreng-jreng! sudah sampai...



"Aisa... Mana mesin waktunya?"

"Mana ada benda seefisien itu...

Ups sudah waktunya


4...


3...





2....



1! Tutup mata..."

2 komentar:

zetsudousougi mengatakan...

menarik!! sangat menarik!! sampai2 saya bingung scene mana yg nanti harus dibikin ilustrasinya
tetapi seperti biasa: TYPO!!

Anonim mengatakan...

^
^
^
setuju. masih ada beberapa typo. tapi secara keseluruhan bagus.

apalagi saya suka adegan Al bertengkar dengan Aisa. sayang kurang lama... wkwkwkwk.