Hal yang pertama kali kulihat setelah membuka kedua mataku adalah langit-langit berwarna putih bersih yang jelas sama sekali tidak aku kenal.


"Oh, sudah bangun?"

Suara itu tidak asing bagiku.


"Di mana ini?" Tanyaku secara reflek.


"Rumah Sakit,"


Tentu saja aku tahu kalau ini rumah sakit. Dari baunya saja sudah ketahuan.

"Sekarang tanggal 10 Juli, artinya sudah 2 hari sejak kau tidak sadarkan diri,"

Aku meraba pundakku namun tidak merasa sakit sama sekali.

"Luka di pundakmu sudah kutangani, tenang saja. Kami membawamu ke rumah sakit karena tubuhmu benar-benar rusak parah dan butuh istirahat setelah menjelajah waktu. Sebenarnya aku ingin membawamu ke Rumah Sakit Organisasi karena fasilitas di sana lebih lengkap. Tapi nanti orang-orang di sekitarmu akan sulit menjengukmu, yah, kau tahu, kan? Organisasi itu sangat tertutup,"


Kata-kata Karin hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Sama sekali tidak kuperhatikan karena kepalaku sedikit pusing dan belum mampu memfungsikan otak dengan maksimal.

Aku berusaha keras mengingat-ingat kejadian apa sebelum aku tidak sadarkan diri. Perlu beberapa detik sampai memoriku kembali memutar dengan jelas kejadian mengerikan itu.



Nana pingsan,


Jatuhnya Eve,


Robohnya Aisa,


Matinya Prof. Lampard.


Dan,


Kemunculan Karin,


Semua itu memenuhi kepalaku beberapa saat sampai sebuah tangan menyodoriku sepiring apel yang terkupas.


"Nih, tadinya mau kumakan, tapi kau sudah bangun..."

"Ka-karin! Kau-"

Karin menaruh jarinya di bibirku sambil tersenyum.

"Ssst... Ini di rumah sakit,"


Aku menghiraukannya dan menepis tangannya.


"Apa maksudnya ini?" Tanyaku dengan penuh emosi.

"Kalau bertanya yang jelas, jadi aku mengerti maksud pertanyaanmu-"

"APA MAKSUDNYA INI!!! KA-KAU..."

Pembunuh.

Tapi mulutku tidak tega mengeluarkan kalimat itu seenaknya dan sepertinya wajah Karin menjadi lebih serius sehingga aku berhenti di kata itu.


"Kau harusnya berterimakasih. Sedetik lagi kau akan mati," Kata Karin sambil menaruh piring berisi apel ke meja di sebelahku.

"Ta-tapi... Kau membu-"

"Dia juga berniat membunuhmu. Satu alasan itu sudah cukup bagiku untuk menghancurkan dunia, apa lagi cuma membunuh kakek tua itu."

Mengatakan ini sambil melambaikan pisau buah benar-benar membuat atmosfir menjadi semakin menekanku.


Aku tidak menemukan tanda-tanda bercanda sedikitpun dari nada bicara Karin. Dia benar-benar serius.


"Ta-tapi haruskah kau melakukan itu?"

"Harus. Dia juga membuat 'anak-anak'ku rusak. Memperbaiki mereka bukan hal yang mudah. Selain itu melanggar lebih dari 30 pasal Organisasi sudah cukup membuatnya di hukum mati. Aku cuma memajukan hukuman mati itu saja,"

Dia masih berbicara dengan nada serius. Aku sampai tidak bisa menjawab dengan bantahan lagi.


"Sudah, yang terjadi telah terjadi. 'Keingintahuan lah yang membunuh seekor kucing'. Itu bayaran yang pantas dia dapat kalau terobsesi dengan penjelajahan waktu,"

Aku menunduk berusaha menerima kata-kata Karin. Tapi tidak bisa.


"Ini semua salahku... Prof. Lampard melakukan semua ini karena 'aku' di masa depan yang memberinya kesempatan," Kataku pada Karin.

"Aku tahu,"

Hah? Kau tahu?! Lalu kenapa kau tidak menghentikannya??!

"Aku tahu setelah memeriksa mayatnya. Dia memegang sebuah mini disk yang berisi sebuah rencana. Ini bukan salah'mu'. Kau tidak akan dihukum untuk sesuatu yang belum kau lakukan,"

Setelah dipikir-pikir benar juga. Tapi apa yang aku (masa depan) inginkan dari semua ini? Apa dia mendapatkan keuntungan?

"Aku tidak terlalu paham dengan Penjelajahan Waktu. Aku kan dari Divisi Transhumanisme. Semua sudah ditangani dan masalah ini sudah dianggap selesai,"

Karin merasa pembicaraan ini sudah cukup. Tapi masih ada yang ingin kutahu.

"Nana, Aisa, dan Eve?? Apa mereka baik-baik saja?" Tanyaku khawatir.

"Nana baik-baik saja, tenang saja dia tidak akan ingat kejadian kemarin. Kami sudah menghapus sebagian memorinya"

Kenapa kau cuma menjawab keadaan Nana saja?! Aisa dan Eve bagaimana?

"Aisa tidak apa-apa. Kalau Eve..."

Karin menarik nafas sedikit panjang.

"...dia parah."

Di-di mana Eve sekarang??

"Di fasilitas Organisasi. Tenang saja, kami berusaha sekuat tenaga memulihkannya,"

Karin memandangku seakan berkata kalau dia sudah tidak ingin membicarakan masalah ini lagi.




"Hehe! Yang penting sekarang... Ayo dimakan! Aaa~~"

"A-aku bisa makan sendiri!"

"He~ Ayolah! Aku sudah membolos untuk menjagamu! Harusnya kau berterimakasih!"

Kau bolos sekolah?!!

"Kenapa? Aneh?"

Tidak juga. Kau memang dari awal jarang masuk sekolah.

Dia salah satu teman yang aku akui punya otak encer dan jenius. Kemampuan logikanya tidak diragukan lagi. Masalahnya adalah tingkahnya yang suka memberontak dan ambisius itu terkadang memuat teman-temannya repot. Bahkan untuk mengerjakan PR saja dia tidak mau. Bertolak belakang sekali dengan penampilannya yang periang.


"Ayo~~ Aaaa!!"

"Su-sudah kubilang! A-aku bisa makan sendiri!!"

"Ayo-ayo!!"

Karin semakin agresif menyodorkan sepotong apel ke arah mulutku.

Akhirnya aku menyerah dan memakannya dengan terpaksa,

"Bagaimana?"

"Tidak enak," kataku jujur.

Apelnya sangat masam dan keras. Membuatku hampir memuntahkannya. Tapi aku ingat, semakin masam berarti semakin banyak vitamin C nya. Kalau aku tidak salah.

"Ahaha! Apel yang merah dan manis sudah habis kumakan!" Kata Karin tanpa ragu-ragu.

"Benar-benar tidak berperikemanusiaan. Mengambil oleh-oleh buah dari orang sakit adalah perbuatan tercela,"

"Habis aku lapar... Menunggu orang yang tidak sadarkan diri itu bosan tahu," Dia masih bisa mengatakan ini sambil menampilkan senyum tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Dasar," Kataku sambil cemberut.

"Ayo makan lagi!!"

"Kau menyuruhku memakan apel yang masam setengah mati itu?! Tidak mau!" Kataku menolak.

Karin tetap saja menyerangku dengan agresif. Aku berusaha bertahan dan menutup mulutku dengan rapat supaya apel itu tidak masuk ke gerbang pencernaanku.




"Ah, baru ditinggal sebentar ternyata tangan Al sudah membusuk sehingga dia harus di suapi~,"

Suara penuh sarkasme dan komentar sedingin puncak Gunung Jayawijaya milik ketua komite perpustakaan itu segera membekukan gerakanku dan Karin.


Kepalaku perlahan menoleh ke arah pintu masuk.


Kak Rossa, Nana, Aisa dan Isaac terlihat berhenti di depan pintu masuk.

Mereka berempat masuk dan aku hanya bisa bereaksi canggung.

"Oh~ Hei! Hei! Rossa! Jangan marah~! Aku cuma berusaha memberikan suplai vitamin C kepada Al! Lihat dia pucat sekali!" Kata Karin masih dengan nada gembiranya.


"Ohoho~ Aku tidak marah, kok. Lagipula kenapa kau tidak masuk sekolah, tapi menggunakan seragam sekolah?"


"Oh! Aku bilang dari rumah kalau aku berangkat. Tapi tadi di tengah jalan aku malas, lalu aku pikir lebih seru kalau aku menjenguk Al!"

"Hee~ Aku kira kau hari ini masuk karena kau sudah dapat peringatan dari Guru Fisika karena tidak pernah masuk pelajarannya! Huh~ Memang susah ya jadi murid malas, dikejar-kejar Guru dan membuat teman sekelasnya repot,"

"Oh ya~~? Menurutku lebih susah jadi siswa yang cari muka sana-sini lho~,"


Ah. Mulai lagi. Pertarungan antara murid teladan dan murid berandal, Karin dan Rossa. Seseorang harus menghentikannya.



"Su-sudah Rossa," Untungnya masih ada orang waras seperti Isaac menengahi mereka berdua.


Sementara Karin dan Rossa saling pandang, Isaac melerai mereka, Nana mendekatiku dan memberikan bungkusan padaku.

"Ini coklat,"

"Ah terimakasih,"

Aku mengusap kepala adikku sebagai tanda terimakasih.

"Huu~ Aku bukan anak kecil! Jangan pegang-pegang kepalaku!" Kata Nana menyingkirkan tanganku dari atas kepalanya.

"Ka-Kak Al, bagaimana lukanya?" Tanya Aisa gugup seakan aku orang yang baru dikenalnya.

"Rasanya sudah tidak apa-apa," Jawabku singkat.





Sementara Nana dan aku berbicara dengan santai. Karin dan Kak Rossa masih saja bergelut dan Isaac masih berusaha menghentikan mereka.


"Heh!! Dasar tukang menjilat!"

"Coba bilang sekali lagi!"

"Penjilat!Penjilat!Penjilat!"

"Su-sudah!! Hentikan kalian berdua!"


Maaf Isaac, aku tidak punya tenaga untuk menghentikan dua gadis yang over energi itu.




"YO!!!"


Suara asing yang dari tadi tidak ada di ruangan ini tiba-tiba terdengar.

Seluruh pasang mata menatap ke arah pemuda yang kebingungan itu.



"Ah~ Tepat sekali kau datang Iwan~ Tolong bawa pulang pacarmu yang berisik ini! Dia mengganggu!"


Iwan hanya berdiri di situ dan tersenyum canggung.



"Ahaha... Anu sebenarnya kami sudah putus..."



"Bohong!"

Reaksi di atas itu milik Isaac dan Kak Rossa.


"Bu-buat apa aku bohong di depan orangnya langsung,"

Karin terdiam dan mukanya terlihat serius.


"Ya~ Kami sudah putus kok. Makanya..."

Karin menatapku dengan pandangan licik seperti iblis.

"Aku sekarang mengincar Al!!" Katanya tanpa malu sedikit pun.


"HAAH!" Aku, Kak Rossa, Isaac, dan Nana bereaksi hampir bersamaan.


"Hahaha! Aku akan kembali lagi besok! Sampai jumpa!" Kata Karin terburu-buru mengemasi tasnya dan keluar dari ruanganku.


Tapi sebelum dia keluar, dia berhenti di dekat Iwan dan membisikkan sesuatu, lalu pergi dengan secepat kilat dari tempat ini.










"Tenang saja, kalau Karin bicara seperti itu, dia cuma menggodamu saja Rossa," Kata Iwan sambil menaruh buah-buahan ke dekat mejaku.

"Bu-buat apa menggodaku?!" Jawab Kak Rossa segera.

"Ka-kakak dan Kak Karin..." Nana memasang wajah seakan dia harus memakan pizza basi berjamur.

Aisa diam saja dan Isaac hanya tersenyum.


"Tapi tidak disangka, Iwan dan Karin yang seakrab itu sampai putus." Kata Isaac mengganti topik.

"Ti-tidak juga. Hahaha~" Iwan menjawab dengan nada canggung berusaha tidak membicarakannya lebih jauh.








"Tapi tidak bisa dipercaya, tertabrak mobil tapi tidak terluka sedikit pun. Hei, Al. Kalau kau serius mungkin kau bisa jadi stuntman. Pamanku ada yang kerja di bidang itu. Kau mau?" Tanya Kak Rossa dengan nada kasual.

"Tidak terimakasih"

Awalnya aku bingung dengan 'tertabrak mobil' yang disebutkan Kak Rossa. Tapi aku melirik Aisa dan sepertinya dia menyuruhku mengikuti skenario ini. Hm.. Mungkin ini rencana Organisasi.


"Kau harus cepat sembuh Al! Kau belum melakukan apa-apa untuk perpustakaan tapi kau sudah kecelakaan seperti orang bloon! Kau harusnya malu! Ini gara-gara kau membolos menjaga perpustakaan waktu itu! Pasti itu! Ini Karma!! Kau harus sadar diri kalau kau..."

Tolong berhenti! Aku tidak mau satu set ceramah tidak penting dari Kak Rossa!


"Hahaha~ Rossa cuma khawatir, kau pergi tiba-tiba lalu beberapa jam kemudian kami mendengar kau kecelakaan. Kami tentu saja khawatir." Kata Isaac menjelaskan.


"Ayah dan Ibu dari kemarin bergantian menjaga Kakak. Tapi mereka semakin sibuk kemarin. Melihat kondisi Kakak yang membaik, ayah dan Ibu memutuskan tidak menjagamu lagi karena pekerjaan menumpuk. Katanya Ayah dan Ibu minta maaf,"

"Ah! Tidak apa-apa. Lagipula aku sudah besar. Tidak perlu minta maaf... Biar aku telepon mereka," Kataku sambil mengambil ponselku,

Tapi aku sadar kalau ponselku tidak ada ditanganku sehingga aku menyerah untuk melakukannya sekarang.


"Keluarga Al seperti biasa akrab, ya?" Kata Kak Rossa terlihat sedikit iri,

"Ti-tidak juga,"

"Kalau Ayahku mana mau minta maaf," Kata Kak Rossa sambil menggelengkan kepalanya.


Ayah Kak Rossa adalah semacam kepala geng atau klan atau orang yang disegani. Aku tidak tahu persis. Tapi sepertinya keluarga Kak Rossa cukup berada.


"Hei, kira-kira kau bisa keluar kapan?" Tanya Kak Rossa.

"Aku ingin keluar secepatnya. Sepertinya nanti sudah bisa keluar, tubuhku sudah tidak apa-apa"

"Besok kita belanja buku. Kau ikut?"

"Ok."

"Hei, Aisa, apa Eve sudah sembuh?" Tanya Kak Rossa mengubah subjek pertanyaan.

"Ti-tidak tahu."

"Apa sebaiknya setelah ini kita menjenguk Eve? Bagaimana?"

"Di-dia berobat di singapura..." Kata Aisa.

"Hue! Singapura... Kalau kami sakit paling jauh saja ke puskesmas." kata Nana.

"Singapura!! Apa segitu parahnya?!" Tanya Kak Rossa kaget.

"Apa dia punya semacam penyakit parah?" Tanya Isaac juga.


"Se-semacam itu. Mungkin nanti malam dia pulang..." kata Aisa dengan nada canggung,



"Hm..."





Kami menghabiskan waktu mengobrol macam-macam sampai tidak sadar waktu semakin sore.

Aisa yang tadinya muram pun kembali ceria setelah berbaur dengan pembicaraan kami. Rasanya melihatnya muram bukan pemandangan yang biasa bagi kami semua. Keenerjikannya yang bahkan melebihi Karin itu akhirnya kembali.




"Kalau kau tidak bisa datang besok, tidak usah memaksakan diri." Kata kak Rossa sambil mengemasi tasnya.


Kalau dibilang begitu aku jadi malah ingin ikut.


"Kalau begitu, aku pulang dulu. Ayo Isaac,"


"Oke, lagipula hari semakin sore," Kata Isaac pada Rossa.


"Kak Al! Semoga cepat sembuh!" Kata Aisa ikut meninggalkan ruangan ini.


"Hm? Kau tidak ikut pulang Nana? Sudah malam, lho." Kata Kak Rossa terlihat khawatir.


"Tidak apa-apa, nanti aku pulang sama ayah. Sebentar lagi beliau datang,"














"Aaah~ Aku ingin segera cepat pulang..." Kataku pada diriku sendiri.


Nana tertidur pulas di sebelahku. Sepertinya dia kelelahan. Ayah belum juga datang dan malam semakin gelap. Kalau begini terus, bisa-bisa Nana tidur di sini sampai pagi.


Aku baru sadar kalau dari tadi tidak ada seorang dokter atau pun suster yang mendekati kamar ini. Ini terlalu aneh. Tapi sekali lagi aku membujuk diriku kalau ini semua berkat Organisasi.


Dalam waktu luang ini lebih baik kumanfaatkan untuk mengorganisir kejadian kemarin... tidak, dua hari yang lalu.


Pertama, Surat dari Isaac (tua) datang dengan tingkat ambiguitas yang tinggi. Koordinat tempat misi harusnya dilaksanakan jadi tidak pasti. Menyebabkan aku, Aisa dan Eve berpencar.

Pertanyaannya : Apa ini kesengajaan? Kalau ini tidak sengaja, itu terlalu aneh. Siapa orang yang menulis huruf simetri sempurna dengan posisi seperti itu? Kalau ini sengaja, apa yang tujuannya dan apa yang di dapat oleh organisasi?

Jelas jawabannya tidak terbersit sama sekali di otakku. Semua puzzle belum terkumpul. Mana bisa aku merangkainya? Bahkan detektif di novel pun harus menunggu semua bukti terkumpul baru menunjuk pelakunya.


Kedua, terancamnya nyawa Tifa. Jika Tifa jatuh dari ketinggian itu dan masih hidup, itu keajaiban. Maka dari itu, kami ditugaskan menyelamatkannya. Kalau diselamatkan, artinya dia orang penting di masa depan...

Pertanyaannya : Apa harus aku yang menyelamatkan?

Aku tahu kasus di koordinat satunya lagi peran ku di butuhkan... apalagi fakta ke...


Ketiga, Insiden di atap AGS sama sekali tidak terhitung misi. Karena di kertas pemberian Isaac (tua) misi harus dijalankan jam 15.03. Artinya, insiden di atap AGS itu di luar pengetahuan Organisasi.

Pertanyaannya : Tapi kenapa, Prof. Lampard tahu pasti kalau Aku, Aisa dan Eve akan datang ke situ. Dan untuk apa dia mengundang Nana?

Aku hanya bisa membangun satu teori. Yaitu teori "Aku di masa depan di balik semua insiden ini,". Itu menjelaskan kenapa Prof. Lampard dengan sempurna mengetahui kejadian hari itu. Itu juga menjelaskan kenapa tubuhku yang pas-pasan ini boleh menjelajah waktu padahal resikonya tinggi. Dengan wewenang'ku' di masa depan itu bukan masalah.


...


..........


................


Pertanyaan : Apa yang "AKU" dapatkan dari insiden ini?

...

Grandfather paradox terpecahkan? Tidak. Kejadian itu tidak membuktikan Grandfather paradox sama sekali.

Misalnya saja, aku benar-benar terbunuh. Bisa saja orang lain di masa depan juga membentuk Organisasi atau menciptakan peluang untuk menjelajah waktu. Artinya ini semua pembodohan.

Dengan mengatakan 'Bunuh aku, karena dengan begitu penjelajahan waktu tidak akan ada. Menyebabkan sang professor sendiri seharusnya tidak bisa menjelajah waktu...' aku membodohi professor Lampard.


Tapi pertanyaan yang terlintas selanjutnya : APA yang AKU dapatkan dari insiden ini?!


...Tch! Aku butuh 'kepingan puzzle' lebih banyak supaya aku bisa melihat gambar keseluruhan dari insiden ini.


....


.......



TOk TOk TOK!



"Masuk..." Kataku dengan reflek.


Sebuah figur yang sama sekali asing bagiku.

Seorang pria tinggi dan seorang gadis kecil masuk ke dalam kamarku.

Pria tersebut kira-kira berumur 27 tahunan. Dia memakai jas hitam yang tidak dikancingkan, memperlihatkan kemeja putih di baliknya. Lengan panjangnya digulung. Dasinya longgar. Meski penampilannya sedikit berantakan namun tidak ada kesan kumal sama sekali, malah terlihat sangat kharismatik. Rambutnya yang hitam kelam seperti benda radiasi hitam sempurna. Senyumnya yang terlihat ramah.

Sedangkan gadis kecil yang dari tadi berlindung di balik tubuhnya sepertinya sangat familiar. Tapi aku tidak yakin aku pernah bertemu langsung dengannya. Aku merasa dia mirip seseorang.


"Selamat malam," Sapa Pria tersebut dengan ramah.

Dia sangat sopan sehingga aku canggung dan membalas hanya dengan anggukan.

"Boleh kami duduk?"

Katanya sambil menunjuk tempat duduk di dekat Nana tidur.

"Si-silahkan." jawabku.


Jas hitam. Bertingkah aneh. Jelas mereka dari Organisasi. Tidak salah lagi.


"Kalian dari Organisasi?" Tanyaku memastikan.

"Haha sepertinya anda sudah paham sekali dengan kami," Jawabnya dengan senyuman. Aku segera merasa kalau orang ini orang baik.


"A-ada perlu apa denganku?"

"Err... Saya yakin banyak yang akan anda tanyakan. Anggap saja saya pengganti Nona Aisa."


Jadi pria ini semacam mesin penjawab pertanyaan yang di kirim Organisasi.


"Baiklah, kalau begitu jelaskan maksud semua insiden ini. Dari awal sampai akhir,"


"Baik. Saya akan menjelaskannya sedetil mungkin..."



Dari penjelasan menyeluruh dari pria ini, banyak kesimpulan yang ku dapatkan.


Kronologinya seperti ini...


Isaac mendapat perintah dari Ketua Besar secara langsung untuk menyelamatkan Tifa. Tentu saja perintah itu diterima jauh sebelum Ketua Besar menghilang namun baru dilaksanakan setelah tiba waktunya. Kertas perintah itu di tulis langsung oleh Ketua Besar secara langsung sehingga yang bertanggung jawab atas koordinat kembar itu adalah tentu saja 'aku'.

Setelah aku dan Aisa menyelamatkan Tifa, kami 'secara sengaja' di panggil menuju koordinat satunya dengan insiden 'jatuhnya Nana'.


Melihat Nana mati tentu saja aku putus asa. Dan setelah itu izin untuk menjelajah waktu datang langsung dari Pusat. Berarti 'Aku', lagi.


Setelah menjelajah waktu membawa Memory Chip milik Eve dan memberikannya pada Eve, insiden berlangsung seperti yang sudah aku tahu.


"Perlu anda ketahui kalau Sejarah hampir mustahil untuk berubah,"

...Tunggu maksudmu, tidak mungkin... Maksudmu, sejarah seharusnya tidak berubah?! Tapi kemarin aku menyaksikan ketidak konsistenan sejarah! Seharusnya Nana jatuh tapi tidak di loop kedua! Seharusnya kaki Eve utuh tapi hilang di loop kedua!

"Tentu saja kami tahu... Tepatnya hanya petinggi yang tahu. Sejarah tidak berubah kok. Karena, mayat yang kau peluk dari awal bukan mayat Nana. Itu mayat palsu yang kami buat. Sedangkan Eve punya sistem untuk regenerasi dan dia berhasil mengembalikan kakinya,"


Aku terdiam mendengar itu.


"Tidak perlu bingung, itu harus dilakukan untuk memenuhi hukum sebab akibat. Causality Loop harus ditutup.


Ini seperti pertanyaan yang bertanya, Ayam atau Telur yang lebih dulu muncul..."


Tepat sekali analogi pria ini. Kita tidak tahu ayam atau telur dulu yang muncul, tapi yang kita tahu kalau hubungan mereka berdua membuat sebuah lingkaran sirkulasi. Sebab dan akibat yang kita tidak tahu mana yang lebih dulu muncul.


Pria tersebut memangku gadis kecil yang seperti anaknya itu. Si gadis kecil itu terlihat bosan. Sambil mencerna kalimat dari pria ini, aku berusaha tenang.


Sekarang 'Bagaimana' dan 'Siapa' sudah terjawab.


"Lalu, apa tujuan Ketua Besar, melakukan semua ini?"

Mengasumsikan dia adalah seorang bawahan biasa, aku tidak boleh membiarkan identitasku sebagai Ketua Besar di masa depan nanti ketahuan.



Saat sang pria itu ingin menjawab pertanyaanku, si gadis kecil itu mengeluh.



'UUuuuuuh~~ Al~ Aku bosaaaaaan~~ Tidak nyaman disini~ Hau hau," Kata gadis kecil itu sedikit memberontak dari pangkuannya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Haha... Eve tidak suka bau rumah sakit, ya?"

"Iya~~ Eve tidak suka bau rumah sakit... Baunya seperti di fasilitas..."

"Haha, sabar ya..."


Aku terpaku mendengar pembicaraan mereka.

Al? Eve?!

Setelah kuperhatikan gadis kecil ini mirip sekali dengan Eve. Pantas saja aku merasa familiar dengannya. Dia seperti Eve versi mini.


Dan pria itu setelah dilihat-lihat benar-benar mirip dengan....aku.



PRIA INI AKU?!!



Meski melihat ekspresiku yang berubah drastis, "Al" ini sama sekali tidak merasa aneh.


"Oh saya lupa mengenalkan diri. Saya Ketua Besar. Senang bertemu dengan anda..."

"Au au!! Eve juga mau berkenalan dengan Al kecil! Juga mau kenalan sama Nana kecil! Tapi dia sedang tidur! Hau!"


"Hush! Tidak sopan! Perkenalkan dirimu dengan baik!"

"Hau hau! AKu Eve, umur 10 tahun!... kata Al sih. Tapi aku tidak tahu umur asliku... Pokoknya senang bertemu dengan Al kecil!"


Aku masih terpaku tidak bergerak di situ.


Sebuah kata pun sulit keluar dari mulutku.


"Oh ngomong-omong, saya juga membawa seorang tamu yang ingin berkenalan dengan anda," Kata 'Al' dengan santai menunjuk jendela rumah sakit yang tiba-tiba terbuka lebar.

Brak!


"..."

Sosok tubuh manusia muncul seperti berasal dari atas gedung.

Dari lekuk tubuhnya aku bisa mengenali jenis kelaminnya adalah wanita.


Matanya merah menyala seakan serigala yang mengincar mangsanya.


Rambut hitam panjangnya berkibar tertiup angin.


Terlalu indah.



Aku membeku terpesona dengan hanya melihat sosoknya yang seakan siap membunuhku.


Satu hal yang terbersit di benakku.




Dia bukan manusia.

==============

Author Note :

Lagi ga niat miring-miringin tulisan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ahahaha keren!
saya paling suka adegan Karin dan Rossa bertengkar! xDD
.

Which come first, egg or chicken?
Egg. soalnya bentuknya seperti angka nol.
xDD