Aku terbangun tepat seperti biasa. Jam dalam tubuhku sudah memahami betul kapan aku harus bangun, makan, dan melakukan aktifitas lain.

Tanpa banyak melakukan hal yang tidak perlu seperti menrentangkan tangan dan menarik otot-otot yang tegang, aku segera bangkit, mengikat rambut ekor kuda ku dan segera mencuci muka.

Seperti biasa, hal yang pertama kali kulakukan adalah memasak, meskipun dengan Neo Cooker 3000 buatan Organisasi sama sekali tidak terasa memasak.

Alat buatan Tuan Iwan ini bekerja dengan cara membuat adonan yang terasa seperti makanan aslinya. Misalkan saja Nasi Goreng. Mesin ini membuat sebuah adonan yang terasa seperti Nasi Goreng dengan sempurna, setelah itu dengan mekanisme yang cukup kompleks permukaan dari adonan itu di beri semacam pembias cahaya dengan ukuran partikel yang sangat mikroskopis. Partikel itu membuat makanan seakan-akan memiliki bentuk 'Nasi Goreng' walaupun kenyataannya hanya sebuah tumpukan adonan.

Selain itu sebenarnya rasa dari makanan ini hanyalah manipulasi mekanisme sensorik terhadap otak... Sebaiknya aku tidak menjelaskan lebih jauh. Karena rasanya makan dari produk ini seperti ditipu.

Kesampingkan berbagai manipulasi-manipulasi panca indera lainnya, setidaknya makanan ini 'cukup' sehat untuk dimakan.

Segera kutekan tombol 'start' di mesin itu setelah memasukkan script berisi kode-kode enkripsi perintah yang bisa menghasilkan 'Lemon Madu'

Tenaga yang dibutuhkan untuk menggerakkan segala komponen alat ini tidaklah kecil. Apalagi dengan pembangkit tenaga dari bentang waktu ini belum memiliki efisiensi mendekati 1000% seperti di masa depan. Membayar listrik rumah ini hampir seperti membayar listrik untuk satu pabrik.


Dalam hitungan detik, lemon madu pun keluar. Aku menaruhnya di mangkuk dan menuju ke kamar Eve,


Kuketuk pintunya. Namun, karena tidak ada jawaban aku langsung masuk ke ruangan itu.

Tubuhnya yang tidak lebih tinggi dariku itu terlihat terlungkup di kasur.

Kutaruh lemon madu itu di meja belajarnya dan aku duduk di sampingnya.

"Eve," Kataku perlahan.

Kuperhatikan wajahnya yang halus seperti porselain itu. Di sudut matanya terlihat setitik air mata, pipinya basah.

"Haah~ Dia menangis lagi,"

Kataku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.


Semua ini gara-gara Al, kemarin saat bertemu dengan Tuan Isaac (Tua)...


............


.........


......


...



"APA?! Al... Pemimpin Besar?!" Kataku tanpa sadar dengan suara sangat keras

Namun berbeda 180 derajat dengan reaksiku, Al sangat tenang. Dipikir-pikir, saat kami menciptakan closed-time-space dia juga terlihat biasa saja dan tidak kaget sama sekali.

Sedangkan Eve hanya menunduk. Sejak hari pertama masuk sekolah dia terlihat lesu dan lemas, apakah sesuatu terjadi padanya?


Tuan Isaac lalu menyuruhku melanjutkan membacakan garis besar Organisasi.

"Stop. Aku sudah paham seluruhnya, dari awal. Bahkan sebelum kau datang, Isaac," Kata Al mengangkat satu tangannya tanda menyuruh berhenti.

Aku berhenti melihat perintah itu. Aku perhatikan wajahnya. Rambutnya berantakan namun tidak terasa aneh. Matanya terlihat memiliki kantung hitam di bawah. Al memang terlihat aneh sejak seminggu yang lalu. Entah mengapa dia terlihat... bosan, lelah dan ... marah mungkin?

"Apa maksudmu Al," Kata Tuan Isaac (Tua) terlihat bingung. Wajahnya yang keriput itu terlihat menginginkan sebuah jawaban yang memuaskan dari Al.

Al terdiam sesaat, menaruh tangannya di dahinya.

"Pemimpin Besar... maksudku, diriku di masa depan menghilang, kan?"



Tuan Isaac (Tua) terlihat sedikit terkejut dengan kalimat Al. Namun sebagai anggota Organisasi, aku juga mengerti betapa mengerikannya jika pemimpin besar sampai menghilang dari tempatnya,


"Ya," Jawab Tuan Isaac (Tua) singkat.


"Apa maksud semua ini?! Kenapa kami tidak segera di beritahu!!"

Tuan Isaac terlihat tidak senang dengan sikapku, dia terdiam sesaat sampai menjawab,

"Aku sudah menyuruh Karin, tapi Nona Eraser ini sepertinya lupa dengan kodratnya sebagai anjing Organisasi,"

Tidak perlu disindir seperti itu, Tua Bangka! Kau sama sekali tidak mengerti perasaan Eve!

Tentu saja aku tidak mengatakan itu secara lisan. Bisa-bisa aku digantung sampai mati.

Eve serasa semakin menyusut mendengar sindiran itu. Dia menggigit bibir bagian bawahnya tanda khawatir.

Sementara Al melihat reaksi itu dia hanya menghela nafasnya.

"Aku sudah menyuruh mereka pulang dari kemarin," Kata Al.

"Apa benar, Eve?!" Tanyaku tidak percaya.

Eve hanya mengangguk perlahan mendengar pertanyaanku.

Aku hanya bisa iba melihat ekspresi Eve yang seakan menahan suatu yang sangat menyakitkan.

Aku tidak tahan ingin menghajar kedua orang yang tidak mengerti sama sekali bagaimana perasaan Eve!



"Jadi apa yang harus kita lakukan, Al?" Tanya Tuan Isaac sambil menjentikkan jarinya. Seketika itu juga bodyguard yang ada di sampingnya mengeluarkan note berisi tulisan.


Al segera menerima tulisan itu, 98-96 tertulis di atas kertas tersebut.

"Ini surat terakhir Al (Masa Depan) padaku. Dia menyuruhku memberikan ini padamu jika ada sesuatu yang terjadi padanya," Kata Tuan Isaac.

Al hanya melihatnya sesaat dan mengembalikannya pada Isaac.

"Apa arti dari 4 angka yang terpisah dengan satu dash di tengah ini?" Tanya Al seakan dia sudah tahu jawabannya.

"Kemungkinan besar adalah sistem koordinat sebuah misi," Jawab Tuan Isaac.

Al hanya tersenyum.

"Sepertinya memang begitu, tapi aku punya kebiasaan membuat sebuah sandi dengan angka yang terbalik,"

Al membalik angka 98-96 itu sehingga angkanya berganti dengan 96-86.

"...Jadi?"

"Ini kombinasi brankas di ruanganku, 98-96-96-86. Seharusnya dulu aku segera menyadari kalau maksud angka ini adalah kode... seandainya aku sadar lebih awal waktu itu..."

"Apa maksudmu?"

"Ah, tidak. Hanya bicara dengan diriku sendiri," Kata Al sambil tersenyum penuh arti.



"Baiklah, sebaiknya aku segera membuka brankas itu,"

"Tunggu. Aku ada pertanyaan,"

"Apa itu?"

"...bagaimana kabar, Rossa?" Tanya Al seperti menanyakan keadaan seseorang yang sedang sakit parah.

Tuan Isaac mengernyitkan dahinya dan berkata,

"Dia baik-baik saja,"

"Begitukah? Bahkan di bentang waktu ini aku tidak bisa menanyakan kabar Rossa" Kata Al seakan bicara pada dirinya sendiri.




Tuan Isaac berbalik seakan tidak mendengar kalimat itu lalu berkata pada Eve dan padaku.

"Segera pulang, waktu kalian berlibur sudah terlalu lama," Kata Tuan Isaac ketus.


"Biarkan mereka, mereka bukan anak kecil lagi. Seharusnya mereka sudah tahu mana yang harus di prioritaskan" Kata Al santai.


***


"APA MAKSUDNYA PERKATAANMU TADI!!" Aku sudah tidak bisa menahan emosiku dan menggenggam kerah Al dan menatapnya dengan tajam.

"Maksud harfiah dari perkataanku tadi," Kata Al tidak gentar sedikit pun.

Eve menunduk semakin dalam dan tangannya menggenggam ujung roknya.



Aku mengarahkan tinjuku ke pipinya.

Buak!

Darah mengucur dari sudut mulutnya. Dinding dalam mulutnya pasti menghantam giginya dengan sangat keras. Namun Al tetap diam saja seakan sudah siap menerima pukulan tadi.


Al hanya terdiam.

"...sudah? Sekarang lakukan apa yang aku perintahkan," Katanya seakan tanpa emosi.

Tidak mungkin aku melakukan perintah itu! Tidak akan meski itu adalah perintah dari Pemimpin Besar!

"Jangan bercanda!"

"Apa aku terlihat bercanda?"

Al menatap mataku dengan matanya yang juga tidak kalah tajamnya. Kemana Al yang santai dan sarkastik itu? Dia seperti orang lain.

Al mengenggam dan menyingkirkan tanganku sehingga terlepas dari kerah baju miliknya. Lalu, Dia mengusap mulutnya yang berdarah dengan lengannya.

"Lakukan," Katanya sekali lagi.

Tidak! Tidak! Aku tidak akan melakukannya! Tidak!

"...Itu sebabnya Isaac tidak suka padamu, kau terlalu memberontak. Bahkan padaku,"

"Sial, rasanya sejak kau tahu dirimu adalah Pemimpin Besar Organisasi, kau jadi semakin arogan," Kataku menghina Al tanpa ada rasa menyesal sedikitpun.

"...terserah apa katamu. Lakukan atau kau akan berakhir lebih buruk dari kaleng yang di daur ulang." Kata Al dengan analoginya seperti biasa namun kali ini sama sekali tidak ada nada bercanda.


Aku tidak akan menyebut ini dilema. Dari kedua pilihan yang diberikan. Lakukan atau Tidak, aku jelas memilih tidak melakukannya. Tidak perlu mempertimbangkan konsekuensinya sama sekali.

Al hanya menghela nafasnya.

"...kembalikan aliran waktunya,"

Hm? Apa dia sudah menyerah?

"Kau sudah menyerah untuk menyuruhku merestart Eve secara paksa?" Kataku dengan nada setengah menyindir.

"Kalau kau tidak mau, mau bagaimana lagi. Karin juga tidak mau melakukannya." Kata Al tenang.


Aku terdiam mendengar jawabannya.

"Kenapa kau harus melakukan itu?"

"Hak Petinggi Organisasi pertama : Berhak menyembunyikan maksud dari tujuan suatu misi. Terutama bila menyangkut masalah pribadi time traveller tersebut. Karena ini masalah pribadi kalian, aku tidak ingin mengatakan kenapa aku melakukannya" Kata Al.


"Aku tidak bertanya tentang hasil dari tindakan yang akan diperintahkan padaku tadi. Aku bertanya kenapa kau tega melakukannya, pada Eve..."

"Tega? Aku memerintahkan padamu untuk melakukannya karena aku peduli pada Eve, kau mengerti maksudku kan, Eve?" Tanya Al.

Eve terdiam sesaat.

"A-aku tidak mengerti!"

Ini pertama kalinya aku mendengar Eve berteriak seperti itu.

"..." Al sekali lagi hanya mengela nafasnya seakan berkata 'ya sudah'

"Setidaknya sebagai pacarnya, kau harus memberikan alasan yang jelas!" Kataku membela Eve.

Al tertawa mendengar perkataanku.

"Ada yang lucu?!"

"..Ahaha... lucu. Karena kau lupa hukum Penjelajahan Waktu - Bidang Sosial nomor 1. SEORANG PENJELAJAH WAKTU DILARANG MENJALIN HUBUNGAN DENGAN ORANG YANG BERBEDA BENTANG WAKTU DENGANNYA! Aku tidak percaya kalian tidak ingat aturan semudah itu, Oh, sebagai tambahan, Appendix A bagian I, Maksud dari 'hubungan' adalah segala hubungan romantik atau non-romantik, hubungan seksual-nonseksual yang berpotensi mengubah aliran waktu" Al melanjutkan tertawanya, meski aku merasa itu dibuat-buat.

"Lalu kenapa kau menerima perasaan Eve!!"

"Waktu itu aku belum tahu aturan itu," Kata Al ringan.

Tanpa basa-basi aku kembali menghajar Al dengan sekuat tenagaku.


............

.........

......

...


"Kasihan dia menangis semalaman," kataku sambil membelai rambut pendeknya yang lembut seperti sutera.

Aku masih ingat, semalam dia terus menangis di pundakku. Setelah dia sedikit tenang, aku meninggalkannya sendirian, sepertinya dia melanjutkan menangis sampai dia tertidur. Atau dia tertidur sambil menangis.

Aku tidak percaya Al akan menghancurkan perasaan Eve semudah itu. Bahkan Romeo berani melawan Bangsawan untuk mendapatkan Juliet! Aku tidak percaya hanya dengan hukum bodoh itu dia mengakhiri semuanya.



"Uuh~" Eve akhirnya terbangun. Sepertinya tanganku yang membuatnya terbangun.

"Bangun Tuan Putri! Apa kata mentari pagi kalau kau bangun kesiangan!" Kataku mencoba kata-kata gombal yang diajarkan Iwan.

Eve hanya terdiam. Matanya masih terlihat sembab. Aku tidak tahan melihatnya. Aku segera menawarkan Lemon madu yang sudah kesiapkan.

Tanpa banyak berkata-kata, Eve memakan lemon madu itu.

"Kecut," Kata Eve sambil mengeluarkan lidahnya dan menutup matanya.

"Eh? Bukannya lemon madu harusnya kecut-kecut manis, ya?" Kataku kaget.

"Kau pasti lupa memasukkan parameter tingkat keasaman dan kemanisannya saat memasukkan script Lemon Madu," Kata Eve dengan cepat tanpa jeda bernafas sedikit pun.

"He.. aha... aku tidak mengerti yang seperti itu. Lagipula dari tulisan angka dan huruf yang acak itu bagaimana aku tahu mana yang untuk mengubah parameternya," Kataku sambil meminta maaf.

"Tapi kau bisa mengoperasikan device penjelajah waktu," Kata Eve.

"Karena cuma benda elektronik itu yang hidup matiku bergantung padanya." Kataku dengan nada sedikit bangga.

Eve tertawa kecil.

"Hihi..."

Aku juga jadi ingin tertawa.

"Hahaha..."

""Hahahahahha""

***


"Kau sudah tidak apa-apa?" Tanyaku masih sedikit khawatir.

"Tenang. Setelah menangis semalaman rasanya aku sudah lega. Aku tidak percaya kalau Nona Karin masih berbaik hati memberi fungsi menangis pada Eraser untuk melampiaskan kesedihan"

"Lalu, hubunganmu dengan Al..."

"Sudah jadi hukum Organisasi. Mana bisa aku melawan,"

"Aku kira kalian akan berperang melawan Organisasi dan melawan takdir,"

"Mungkin akan jadi cerita romantis kalau benar-benar terjadi,"

"Hah~ Tapi benar, kan? Kau tidak apa-apa,"

"Ya. Gagal dalam hubungan sekali bukan berarti aku tidak bisa jatuh cinta lagi. Ternyata Eraser seperti kita juga masih bisa menjadi manusia," Kata Eve dengan mata seakan memandang ke kejauhan.


Sambil menuju ke ruang kelas. Seperti biasa aku dan Eve membicarakan apa yang terlintas di kepala kami.

"Ngomong-omong, kapan kita pulang?" Kataku pada Aisa.

"Mungkin dalam waktu dekat. Aku masih punya beberapa pekerjaan yang belum selesai," Kata Eve datar.

"Seperti?"

"Aku belum sempat membeli boneka Peropegozu yang terbaru," Kata Eve setengah bercanda.

"Boneka itu merilis tipe terbaru lagi?!" Kataku tidak percaya.

Boneka tidak jelas itu benar-benar populer di kalangan remaja perempuan di sekolah kami. Secara personal aku lebih memilih membeli SG Gibson daripada membeli puluhan boneka tidak jelas bentuknya itu.

"Ngomong-omong, dari kemarin aku mendengar rumor tentang hantu di perpustakaan ramai di bicarakan," Kataku pada Eve.

"Mau memeriksanya? Aku merasa ada yang aneh dengan kontur dimensi waktu di situ," Kata Eve mulai serius.

"Boleh. Anggap sebagai misi terakhir kita di bentang waktu ini," Kataku pada Eve.

Dan akhirnya kami mencapai kelas. Satu hal yang tidak biasa dari suasana kelas biasanya. Ada sebuah keributan.


Aku dan Eve bergegas menuju ke sumber kegaduhan itu.


Al... dan Isaac.





"Kau mengajak berkelahi?"

"Kau duluan, yang membuat keributan,"

"Minta maaf sekarang juga," Kata Isaac serius.

"Aku tidak salah apa-apa. Ini masalahku dan Nana. Kau orang luar diam saja dan jangan ikut campur," Kata Al dingin.

Isaac melangkah perlahan menuju Al dan menarik kerahnya.

"Apa alien baru saja menyedot kewarasanmu?"

"Ya. Seorang Alien Vampire. Mereka cukup ganas lho," Kata Al menjawabnya. Aku rasa Al hanya semakin membuat Isaac emosi.

"Kau bilang aku orang luar?"

"Ya. Ini urusanku dengan Nana," Kata Al semakin dingin saja.

"Kalau sekarang aku memukulmu, berarti itu wajar. Karena aku 'orang luar'," Kata Isaac terlihat menggesekkan gigi gerahamnya.

"Oh? Silahkan. Kemarin aku baru saja dipukul Aisa di pipi sebelah kiri dan itu masih terasa sakit. Jadi kalau kau mau memukul, tolong sebelah kanan," Kata Al sama sekali tidak gentar.

"!!!" Isaac mengangkat tinjunya.

Sebelum pukulan itu mendarat di wajah Al, Iwan dan Karin berhasil menahannya Isaac dengan mengunci gerakannya.

Sementara Rossa menengahi mereka berdua, Nana terlihat menangis di mejanya.



Aku segera menerobos ke kerumunan teman sekelas yang sebagian berusaha melerai mereka berdua.

Isaac tiba-tiba berhasil lepas dari kuncian Karin dan Iwan, sekian detik detik itu dimanfaatkan Isaac untuk melampiaskan amarahnya dengan menendang perut Al dengan ujung kakinya.

Al tidak terlalu bodoh untuk membiarkan dirinya terkena kaki Isaac.

Sebelum keadaan semakin parah, Sang Ketua kelas benar-benar mengakhiri semua dengan teriakannya.

"BERHENTI!"

Rossa yang dari tadi berjuang melerai di antara pemuda labil ini sudah kehabisan kesabarannya.

Aku membantu Rossa mengunci Al yang berusaha membalas Isaac.


"Kenapa ini?! Kenapa kalian tiba-tiba berkelahi?!" Rossa mulai mempertanyakan motif dari kedua terdakwa ini.

Isaac terlihat emosi melepaskan diri Iwan dan Karin. Lalu dia mulai berkata.

"Pagi-pagi sudah membuat kegaduhan. Aku cuma bertanya kenapa dia membuat Nana menangis," Kata Isaac mulai menenangkan dirinya.

"Sudah kubilang, ini bukan urusanmu," Kata Al masih tetap memegang pendiriannya.

Isaac tidak bisa membalas kata-katanya kali ini. Memang kalau sudah menyangkut masalah keluarga, itu sudah menjadi hak keluarga itu. Dia bereaksi seperti itu mungkin karena pikirannya sedang tidak jernih. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan orang yang khawatir pada temannya tapi temannya menyuruhnya pergi dari hadapannya.


"Setelah Eve, sekarang kau membuat Nana menangis," Kataku pada Al.

Tapi tentu saja kata-kataku terdengar oleh seluruh orang di situ.

"Aisa!" Eve berusaha menyuruhku tidak mengungkit masalah kemarin, namun tentu saja sudah terlambat.

"...Ada apa dengan Eve?" Tanya Isaac.

"Tidak ada yang spesial," Kata Al menghindar.

Dan kerusuhan pagi itu pun berakhir. Setidaknya untuk sekarang


***

Hari itu Al duduk sendirian di atap. Entah kenapa angin membawaku menuju atap. Mungkin ini kebetulan, atau ini hanyalah dunia kuantum di mana aku memutuskan untuk menuju atap.

Al duduk meminum air mineralnya sambil menatap jauh. Kalau dia sedang seperti ini, dia mirip sekali dengan Pemimpin Besar. Walau aku tahu kalau Al yang seperti biasa akan memikirkan hal trivial yang di buat rumit.

Aku ikut duduk di sebelahnya, sepertinya dia tidak menolak. Maksudku, diam berarti iya, kan?

"Hei, Al,"

"Ada apa?"

"Ada apa denganmu?"

"heh, Tidak ada,"

"Benarkah?"

"Tidak juga,"

"Kau membuatku pusing,"

"Paradox yang membuatku pusing,"

"Paradox?"

"Lupakan,"

"..."

"...Hei Aisa,"

"Kenapa?"

"Waktu aku bilang kalau aku baru tahu tentang Hukum Time Traveller tentang sosial itu, aku bohong,"

"Hm?"

"Aku sudah tahu sejak seminggu yang lalu,"

"Lalu?"

"Tidak ada, cuma ingin mengatakannya,"

"Oh, sebaiknya kau segera minta maaf ke Isaac dan Nana,"

"...Kalau sempat,"

"Kau benar-benar aneh,"

"...Begitukah?"


Dia dengan tenang meminum air mineralnya.

"Hei, Al"

"Apa,"

"Kau masih suka pada Eve?"

"...Dari awal aku tidak ada perasaan spesial padanya,"

"Begitukah? Jadi kau hanya merasa kasihan padanya?"

"...Kuberitahu, memori seperti itu tidak ada di otakku,"

"Maksudmu?"

"Quantum,"

"Oh,... aku sebenarnya masih tidak mengerti,"

"Awalnya aku juga tidak mengerti, tapi setelah 312 kali... cukup untuk otakku yang lamban ini memahami Time Traveller,"

"312 kali?"

"Lupakan,"

"..."

Al kembali meneguk air mineralnya sampai habis dan melemparnya jauh-jauh.

"Untuk apa kau melakukan itu?" tanyaku.

"Ah, rasanya ingin melakukannya. Semacam, kadang-kadang aku ingin berteriak dengan keren saat hujan seperti di film-film action." Kata Al tidak serius.

"...Kau benar-benar aneh,"

"Ah... sebaiknya kita pergi, botol tadi mengenai guru Olahraga kita,"



Itu terakhir kalinya Al muncul di sekolah.

Sejak saat itu keberadaannya tidak diketahui siapapun.

================================

Author Note

Fyuh. Selesai juga. Kali ini switch over dari POV Eve ke POV Aisa...

Si Al jadi Emo, tapi tentu saja ada alasannya.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

>"Ah... sebaiknya kita pergi, botol tadi mengenai guru Olahraga kita,"
PFFTTTTT *hampir tersedak saat makan malam*

Yea, Al nya jadi emo LOL, but I'm cool with that. Rasanya semua tokoh utama cowok anime pasti ada fase emo nya.

So many dramatic scene here *press 'like' button* dan saya harus beri +1 like like lagi untuk konsep neo cooking 3000 nya yang (di mata saya) sarkastis banget (so what? if our brain/perception accepts it, then its basically the same)

gecd mengatakan...

ohoho
clever as usual
btw transisi adegannya agak aneh
dari kamarnya eve langsung ke ruang kelas?

Franz Budi mengatakan...

@kai
LOL, thanks.

@gecd.
Habis, terbatas. (Membatasi diri) 30rb an kata per arc. Harus efisien. Biar ga banyak adegan off