Semua ini gara-gara Al.


Aku tidak pernah menyangka kalau Al bisa bersikap sedingin itu kepada Nana. Mereka berdua sangat akur sampai-sampai orang yang baru melihat mereka berdua saja yakin kalau mereka tidak pernah bertengkar. Dan sejauh yang aku tahu memang begitu. Setidaknya sampai kejadian tadi pagi.


Ini semua berawal dari buku catatan milik Nana yang berisi ide-ide-- tidak, khayalan kami. Coret-coret tentang penjelajahan waktu. Tertawalah. Aku akui aku masih percaya kalau penjelajahan waktu masih bisa dilakukan.



"Hei, Nana. untuk apa buku itu," Tanyaku padanya saat pertama kali kulihat buku kosong yang ada di hadapannya.



"Ini buku Jurnal! Kita harus mencatat semua ide-ide kita sekecil mungkin. Saat mendiskusikan sesuatu seperti ini kita harus membuat sebuah logbook,"


"Hm... Kau serius sekali, ya?" Kataku sambil memanggut dan memegang dagu.


"Maksud Kak Isaac, kakak tidak serius?" Tanyanya melempar ekspresi kecewa padaku.


"Ah, tidak! Maksudku, kau benar-benar... er... Teroganisir? Mungkin itu kata yang tepat," Kataku menyangkal.


"Tentu saja. Mungkin sekarang pembicaraan kita hanya level diskusi anak SMU biasa. Tapi siapa tahu buku ini jembatan menuju terealisasinya penjelajahan waktu!" Katanya sambil menatapku dengan mata yang berbinar-binar.

Penjelajahan waktu yah...


Andai saja kalau benar-benar bisa dilakukan.



***



"ISAAAC!!!"


"Ah! Maaf kau tadi bicara apa?"

Rossa menatapku dengan ekspresi sebal. Dia terlihat tidak senang karena pikiranku mengelana mengingat-ingat masa lalu.

"Kita membicarakan insiden tadi pagi, dan aku tanya, apa yang sebenarnya terjadi, Tuan Isaac!" ROssa mengatakannya dengan nada perlahan seperti mengajari anak keterbelakangan mental dengan menekan intonasi pada kata-kata terakhirnya.


Aku baru saja kembali ke kesadaranku. Sekarang waktu istirahat. Eve, Rossa dan Tifa. Er.... Karin yang biasanya bolos, dan juga Iwan juga ada. Kenapa kalian semua menatapku dengan pandangan seperti itu?

Selain itu beberapa murid laki-laki menatapku dengan ekspresi muak saat aku dikelilingi para gadis-gadis. Terkadang membuatku tidak enak hati juga.


"Apa yang terjadi dengan kalian tadi pagi? Kenapa kalian bisa berkelahi seperti itu?" Tanya Rossa kepadaku dengan tatapan tajam.

Rossa memang sering bertingkah seperti itu. Dia seakan natural-leader sampai-sampai dia merasa bertanggung jawab atas perpecahan di antara sahabatnya.

Aku hanya menggaruk kepala dan menjawab sekenanya.

"Er... biasalah, dalam rumah tangga pun terkadang suami istri bertengkar. Jadi kalau sahabat sesekali bertengkar tidak masalah kan?"

"Er...anu sebenarnya, Kak, bukan itu inti pertanyaannya," Kata Tifa berusaha meluruskanku.

Aku juga tahu itu, nak. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.



"Aku pikir, kalau harus disalahkan, mungkin kita harus menyalahkan Al?" Kata Iwan tanpa kusangka-sangka.


"Apa dasar kau bisa berbicara seperti itu?" Tanya Rossa mengalihkan perhatiannya kepada Iwan.


"Jujur saja, sejak hari pertama masuk sekolah, dia terlihat aneh. Dia memang Al, tapi sepertinya dia tidak bertingkah seperti biasanya... Aku mungkin tidak punya bukti fisik, tapi dia bertingkah aneh belakangan ini." Kata Iwan singkat.

"Akupun juga berpikir begitu. Dia belakangan ini sangat... arogan? Mungkin kepalanya teracuni virus emo," Kataku.

"Er... Virus emo?" Tanya Tifa bingung mendengar istilah yang baru didengarnya. Gadis kacamata ini terkadang bingung dengan bahasa diluar bahasa baku sepertinya.

"Kau tahu, menulis status di Presbook 'Tidak ada yang peduli denganku!!' 'Tidak ada yang mengerti perasaankuu~' merasa dirinya paling sengsara di dunia seakan dia tidak tahu penderitaan pejuang kemerdekaan, lalu memanjangkan poni memakai tindik dan lain-lain," Kata Iwan menjawab seenaknya.

"Yah semacam itu," kataku juga seenaknya mengiyakan.

"Ho-hooo..." Kata Tifa sepertinya masih terlihat bingung dengan penjelasan seadanya tadi.


"Jangan bicara keluar topik, apa yang sebenarnya terjadi tadi pagi," Kata Rossa memegang dahinya seakan hampir menyerah karena terlalu banyak topik yang membuat pertanyaan menyimpang.


"Tapi menurutku juga, belakangan ini Al aneh," Kata Eve.


Wow! Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut Eve! Kata-kata yang keluar dari mulut Eve kalau tidak ejekan yang terlalu jujur, kata-kata pedas dengan ekspresi datar, kata-kata penuh kontroversi dan sering juga kalimat bijak. Dia cuma akan bersikap manis di depan Al. Jujur saja, terlalu sulit membaca pikiran gadis ini. Dia seperti komputer yang setiap di boot up, OS nya selalu ganti.


"Seperti yang kalian tahu, Al kemarin memutuskan untuk memutuskan hubungan..."

"Tunggu!" Kata Rossa, Tifa, Iwan, Karin, dan aku hampir bersamaan.

"Apa?" Tanya Eve.

"Kami belum tahu bagian itu!" Lagi-lagi kami semua menjawab bersamaan.

"Dia bilang 'dari awal aku tidak ada perasaan apa-apa padamu'. Bukankah itu artinya sama saja 'kita putus'? Atau pemrosesan data di kepalaku yang salah?" Kata Eve masih tanpa ekspresi.


"Sepertinya aku harus membongkar otak bocah itu dan menuliskan SENSITIFLAH SEDIKIT!! di atas otaknya," Kata Karin dengan ekspresi mengerikan.

"Hah! Kalau dari awal begitu harusnya dari awal jujur saja," Kata Rossa menghela nafas.

Tapi aku yakin kau senang mendengar ini.

"Apa?" Kata Rossa seakan bisa membaca pikiranku.

"Tidak,"



"Ta-tapi tingkah laku Kak Al benar-benar aneh belakangan ini, mungkin saja dia mengatakannya karena sedang labil emosinya?" Kata Tifa berusaha menghibur Eve sepertinya.

"Begitukah? Tapi sepertinya dia serius setengah mati," Jawab Eve.








"Apa itu cuma perasaan kalian saja?"


Suara itu datang bukan dari gerombolan kami. Sehingga kami mengarahkan pandangan ke pemilik suara tersebut, yang ternyata teman sekelas kami... er, siapa namanya ya? Aku lupa.



"Apa maksudmu?" Tanya Rossa. Sepertinya dia mempertimbangkan pendapat orang luar juga.



"Aku sudah jadi teman sekelas Al selama setahun. Dan perlu kalian ketahui kalau Al itu 'teman semuanya'. Dia tidak cuma bergaul dengan grup konyol kalian, dia juga terkadang bergaul dengan kami. Dan dia sama sekali tidak ada perbedaan. Sama seperti biasa. Kecuali dia kemarin meminjam uangku Rp 10.000," Kata pemuda itu.


"Apa maksudmu grup konyol," Kata Rossa sepertinya terpancing.


"Oi,oi. Kemarin aku dan Al pergi membeli kaset lagu Galnesyur yang baru. Aku minta dia menemaniku karena dia yang tahu tempatnya. Dia sama sekali normal. Tidak ada yang aneh." Kata seorang lagi nimbrung pembicaraan.


"I-itu alasannya dia kemarin menolak bermain ular tangga kematian dengan kita," Kata Iwan pada dirinya sendiri.


"Kemarin dia menyapaku dan membantuku saat disuruh pak guru. Dia tidak bersikap aneh sama sekali. Kecuali dia pinjam uangku beberapa ribu rupiah karena sedang butuh."



Kemudian entah ada magnet apa, beberapa murid yang tadinya berbincang sendiri-sendiri mulai ikut dalam pusaran pembicaraan kami tentang Al.


Rossa menarik nafas dan berusaha menjaga ketenangannya.


"Maksud kalian apa? Kalau punya masalah dengan kami, bilang saja." Kata Rossa.



Seorang gadis mengangkat tangannya. Sepertinya dia akan mengungkapkan opininya.


"Jujur saja. Aku tidak suka dengan kalian."


Benar-benar reaksi yang sangat jujur.


"Kalian bertingkah seakan kelompok kalian adalah yang terbaik. Aku tahu kalian semua pandai, mungkin malah bisa dibilang jenius. Apalagi ada anak yang melompat kelas seperti Nana dan Tifa. Rossa dan Isaac juga masuk jajaran atas. Meski pemalas, Karin tidak pernah keluar dari zona 5 besar. Aisa dan Eve juga. Dan kalian berkumpul-kumpul bersama seakan kalian tidak mengganggap kami. Aku tidak suka itu. Tentu saja aku mengecualikan Iwan dan Al,"


"A-aku tidak termasuk?" Kata Iwan bingung harus senang atau tidak.


"Kau cuma tersangkut grup itu karena kau pacar Karin, kan?"



Rossa terlihat sakit hati dengan komentar itu. Jujur saja aku juga. Tapi semua itu memang benar. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari fakta yang pahit.



"Ada yang lain?" Kata Rossa memegang kepalanya seperti sedang sakit kepala.


Pria lain mengangkat tangannya.


"Pada dasarnya sama dengan Irna. Tapi aku akan mengkritik kalian satu per satu. Isaac, kau menyebalkan. Rossa, kau menyebalkan. Eve, kau menyebalkan. Aisa, dia menyebalkan. Nana, dia menyebalkan. Tifa, kau menyebalkan. Aku mengecualikan Al dan Iwan, mereka temanku. Kalian semua tidak jelek tapi kalian menyebalkan"

Ok. Daripada kritik itu lebih pantas disebut hinaan.

"...Ok, ada lagi?"


Rossa! Apa kau gila! Kenapa sepertinya kita membuka sesi 'Silahkan Hina Kami'! Aku tidak tahan.


Kali ini seorang gadis lagi. Kalau tidak salah dia sekretaris OSIS.


"Aku tanya. Isaac, siapa namanya?"

Gadis itu menunjuk teman disebelahnya.


"Err..."

Siapa ya?! Aku yakin namanya berawalan dengan huruf alphabet...


"Lihat. Kelompok kalian terlalu acuh tak acuh terhadap kelas. Bahkan teman sekelas sendiri saja tidak hapal," Katanya dengan konsklusi yang menusuk tepat sasaran,



Rossa masih terlihat sakit kepala, sepertinya dia menyalahkanku. Kalau Rossa pasti tahu nama orang tadi karena dia ketua kelas. Tifa terlihat hampir menangis. Iwan terlihat bingung. Karin biasa-biasa saja. Eve... tanpa ekspresi, seakan dia bukan orang yang terlibat dalam pembicaraan ini.




Suasana kelas terlihat tegang. Sepertinya mereka mulai memperlihatkan ketidak senangan mereka pada kami. Aku baru sadar kalau mereka benar-benar tidak suka dengan kami.




"Lalu apa hubungannya dengan Al bertingkah aneh,"



Akhirnya Rossa angkat bicara ke topik utama.


"Maka dari itu, di sini aku mau menegaskan. Al, mungkin, cuma bertingkah dingin di depan kalian," Kata pemuda pertama yang tadi menginterupsi pembicaraan kami.


...


Hening sesaat.


"Begini ya, Al itu bergaul dengan kami lebih sering daripada kalian. Jadi sudah barang tentu, kami yang lebih tahu kalau dia bertingkah aneh. Bagi kalian mungkin dia bertingkah biasa. Tapi kami yang sudah sangat dekat dengannya lebih sensitif," Kataku angkat bicara setelah diam saja menerima kritik pedas.


"Diam kau Isaac. Al adalah penyelamatku! Dia juga temanku! Dia membuatkanku tugas fisika saat aku sedang sakit dan tidak ada yang membantu! Aku juga paham kalau dia itu bertingkah aneh atau tidak!" Kata Pria yang mengkritik tadi.

"Kau cuma memanfaatkan kebaikan Al. Dia tidak bisa bilang tidak pada siapapun yang minta bantuannya," balasku.


"APA?!"






"Ada ribut-ribut apa ini?"

Tiba-tiba Aisa dan Nana memasuki kelas dengan ekspresi bingung karena mejaku sedang dikerumuni banyak orang.



"Hee... Ada rapat kah?" Tanya Aisa menebak.


"Sedang membicarakan apa kalian," Tanya Nana sambil melangkah menuju ke mejanya.



Rossa yang sedang dipandang oleh Nana segera menjawab.


"Al,"



Nana terdiam sesaat. Duduk dan berkata,

"Kalian tidak tahu apa-apa tentang Kak Al. Aku saudaranya, aku yang paling paham. Berhenti membicarakannya dan urusi urusan kalian sendiri," Katanya dingin dan menaruh kepalanya di meja dalam posisi tidur.

Dia bahkan tidak mempedulikan gerombolan yang menatapnya dengan mata sebal.



Akhirnya kelas bubar dengan bumbu kalimat 'Huh, dasar orang-orang sok' dan teman-teman umpatan lainnya.





"Ka-kalau Al tadi dia sedang dimarahi guru olahraga gara-gara membuang sampah sembarangan..." Kata Aisa berusaha masuk ke pembicaraan.



Tapi sayang, waktu istirahat sudah habis.



***



"Nana!"

Nana yang akan bangkit dari tempat duduknya menengok ke arahku. Dia menatapku tanpa mengatakan apa pun. Sepertinya aku harus memilih kata-kata yang tepat dengan situasi dan kondisi seperti ini.

"er... Mau kuantar pulang? Mungkin kita bisa mendiskusikan lagi bagian generator energi yang kemarin belum sempurna..."

Diriku bodoh! Kenapa bisa kalimat itu yang keluar!

"Tidak usah. Aku ada urusan setelah ini,"

Aku sadar kalau ditangannya terdapat sepucuk surat yang teremas. Saat Nana menyadari aku sedang menatap surat itu, dia segera memasukkannya ke dalam tas.


"Bye,"


Dia segera keluar kelas. Punggungnya seakan bicara 'Jangan ikuti aku'. Jadi aku mengurungkan niatku untuk mengikutinya.



"...Jadi, kembali ke pertanyaan yang tidak terjawab tadi," Kata Rossa tiba-tiba berada di depan mukaku.

"Kaget aku,"

Seperti biasa, Tifa ada di mana Rossa ada. Mereka satu set seperti kepala dan ekor. Tifa semacam sekretaris Rossa. Kalau kau terlalu banyak bergaul dengan orang gila kerja macam dia, bisa-bisa kau ketularan dan akan menjadi perawan tua.


Aku kembali duduk ke kursiku dan menceritakan buku Nana yang diambil dan katanya dibakar Al.



"Kenapa Kak Al melakukan hal semacam itu?" Kata Tifa seperti biasa menanyakan langsung hal yang belum dipahaminya.


"Mana kutahu, mungkin dia digigit vampire dan kewarasannya pergi melayang," Kataku bercanda.


"Jadi, buku penjelajahan waktu itu yang direbut... Pantas saja Nana juga terlihat marah dan sedih," Kata Rossa sambil menghela nafas.



Tunggu.


"Kenapa kau tahu buku itu berisi tentang penjelajahan waktu? Aku tidak pernah mengatakannya!"


"Kalian berbicara dengan nada sangat tinggi di perpus saat memegang sebuah buku dan berbicara tentang penjelajahan waktu. Aku cuma menebak. Dan sepertinya benar,"

Sial. Aku kalah pintar dari orang gila kerja ini.


"Silahkan tertawa," Kataku dengan nada menyerah.

"Buat apa tertawa? Orang yang menertawakan Galileo dan Copernicus pasti malu setengah mati, dan aku tidak mau mengalami malu yang seperti itu. Tapi aku tanya satu hal,"


Apa?


"Apa untungnya?"

He? Tentu saja banyak. Dengan menemukan penjelajahan waktu artinya misteri-misteri dunia bisa terungkap. Itu sesuatu yang membanggakan. Sesuatu yang ingin diungkap oleh seluruh ilmuwan di muka bumi.

"Bukan, maksudku, Keuntungannya. Secara ekonomis,"




...Aku lupa kalau kau materialis dan kapitalis sejati.

"Jangan bicara hal yang membuatku terlihat jahat seperti itu," Kata Rossa menekuk wajahnya saat aku mengatakan itu.



Brak!


Aku dan Rossa menengok ke arah suara berisik itu. Karin berdiri dengan kasar dan mendekati Aisa dan Eve. Mereka membisikkan sesuatu lalu segera pergi keluar kelas dengan terburu-buru. Sepertinya mereka ada urusan sangat penting.


"Kenapa mereka?"

Jangan tanya aku. Aku mau mencari inspirasi dulu-- eh.


"Mereka menjatuhkan sesuatu," Kata Rossa beranjak dari tempatnya dan memungut kertas yang sepertinya tidak sengaja dijatuhkan.


"...98-96?"

Aku melihat sepotong kertas bertuliskan angka tersebut.


"Mungkin ini penting?" Kata Tifa.


Biar kuantar. Lagipula ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada Karin.




***


Karin berjalan cepat sampai aku harus setengah berlari. Aku memanggilnya beberapa kali tapi sepertinya kepalanya itu sedang dipenuhi sesuatu sehingga aku hanya membuang tenaga saja berusaha meneriaki namanya.



Dia berjalan terburu-buru menuju atap sekolah. Karena tingkah lakunya benar-benar mencurigakan, aku jadi semakin ingin untuk mengikutinya.


Dia berhenti tepat di balik pintu, terduduk dan aku bisa melihatnya dengan jelas lewat celah tangga di bawahnya. Aku memperhatikan setiap gerak-geriknya.



***




...APA INI?!

Aku hampir saja meneriakkan kalimat itu!


Ini semua tidak masuk akal! Ini semua tidak masuk akal! Ini semua tidak masuk akal!Ini semua tidak masuk akal!Ini semua tidak masuk akal!Ini semua tidak masuk akal!


Karin... membunuh?!


Sementara itu Al muncul entah darimana, apakah dia sejak tadi bersembunyi di sekitar situ atau jatuh dari langit aku tidak tahu. Yang jelas saat ini mereka berdua memandang mayat seseorang yang sepertinya mengenakan pakaian laboratorium.


Aku yakin sepertinya siapa pun kalau ditembak tepat di kepala pasti akan langsung mati instan.


Aku menelan ludahku yang serasa membeku dan sangat sulit sekali ditelan. Keringat dingin mulai bercucuran dari tubuhku. Aku merasa kalau aku diam disini terlalu lama, aku akan mendengar sesuatu yang seharusnya tidak kudengar.



"Kau baik-baik saja?"

Al dengan wajah khawatirnya mendekati Karin dan menepuk pundaknya. Sementara itu, Karin berusaha menenangkan diri dengan bersikap tenang. Walau itu tidak menghapus wajahnya yang sedikit pucat.


"A-aku baik-baik saja, Ini misi dari Organisasi. Aku harus melakukannya meski suka atau tidak. Apalagi orang ini mengincarmu-"

"Berhenti. Tolong. Karena itu aku tidak suka Organisasi." Al terlihat sedikit marah meski nada bicaranya tidak berubah.

Karin hanya berdiri diam dan memandang pria tanpa nyawa yang terlentang di depannya.




Sepertinya aku harus segera pergi dari sini...




***


Sudah beberapa hari Al tidak muncul di sekolah, di rumah, di mana pun. Kami semua berusaha mencari tempat yang mungkin dikunjunginya. Tapi hasilnya nihil.

Hari disaat Karin menembak seseorang mati di atas atap gedung sekolah masih tergambar jelas di kepalaku. Aku ingin sekali bertanya pada Karin, tapi sepertinya dia juga menghilang entah kemana. Aku belum menceritakannya kepada siapapun. Lagipula buat apa cerita kalau aku hanya mengandalkan mataku yang tidak bisa membuktikan apa pun.

Eve juga dikabarkan sakit dan dirawat di rumah sakit di Singapura. Aisa yang mengatakannya, jadi aku tidak ragu. Apalagi mereka berdua kaya.



Orang tua Al dan Nana panik setengah mati. Mereka sudah melapor pihak berwenang dan memasukkannya dalam daftar orang hilang.


Besok hari minggu. Mungkin lebih baik aku menyempatkan diri ikut mencarinya.


Seperti biasa aku berangkat sekolah pagi-pagi. Tidak ada yang spesial. Tapi datang lebih awal lebih baik dan membiarkan diri kita mempunyai waktu sela yang lebih.


"Dasar Al sial. Kemana sebenarnya dia pergi," Kataku tanpa mengharapkan jawaban.



"Hei. Isaac."

Suara tidak asing itu, tentu saja milik siapa lagi kalau bukan Rossa. Dia selalu datang pagi-pagi sekali. Entah apa yang dilakukannya, sepertinya dia merasa terhina kalau ada yang datang lebih pagi darinya.


"Ada apa?"


"Ada kabar tentang Al?"


"Tidak. Kalau aku mengetahui sesuatu, pasti aku akan menghubungi kau dulu," Kataku sambil menaruh tas di kursiku.



Rossa menyesuaikan dengan duduk di kursi depanku. Sepertinya dia punya sesuatu untuk di diskusikan.


"Tidak ada yang spesial. Aku cuma butuh teman ngobrol," Kata Rossa bermalas-malasan di atas mejaku.


Pada akhirnya aku dan Rossa hanya diam saja tanpa membicarakan sesuatu yang berarti. Hari semakin siang dan murid-murid mulai memenuhi kelas. Kejadian beberapa hari yang lalu menciptakan ketegangan antara kelompok kami dengan seluruh kelas.


Semua berjalan normal sampai orang terakhir yang memasuki kelas adalah pemuda yang kemarin menyela pembicaraan kami dan mengatakan kalau Al hanya bersikap dingin pada kami.



Ponselnya yang memakai ringtone lagu dangdut itu membuat sebagian kelas menengok ke arahnya.


"Halo,"


Setelah itu semua kembali mengurusi urusannya masing-masing; sampai dia berkata,



"Al?!"


Seketika aku dan Rossa --seluruh kelas! segera mengarahkan pandangan kami ke pemuda itu. Sial, kalau tidak salah namanya... Robi? Hal paling mudah di identifikasi adalah tubuh atletisnya, kulitnya yang sawo matang, dan rambutnya yang dicukur pendek seperti tentara. Sial, Akhirnya gara-gara terpaksa, aku mengingat nama-nama teman sekelas.


Robi memberi isyarat untuk tidak membuat keributan. Dia duduk di kursinya, menaruh ponselnya di meja lalu mengisyaratkan agar semua diam. Dan menekan tombol Loudspeaker.



"--Hei kau dengar tidak Robi?"

I-itu suara Al. Tidak salah lagi!

Rossa mendekat dan diikuti teman-teman sekelas. Siapapun akan penasaran dengan hilangnya Al. Tidak heran kalau kejadian ini menyedot perhatian kami semua.


"Yo, yo. Bisa kau ulangi, telingaku sedikit sakit dan tidak dengar tadi," Kata Robi.

Sepertinya bocah Robi ini membuat Al mengulang kata-katanya dengan sengaja.


Aku menyadari kalau Nana berdiri di belakangku, aku mempersilahkan tubuh kecilnya untuk lebih dekat ke sumber suara.





"...Ok. Sekarang posisimu ada dimana?"

"Aku di jalan. Ada apa memangnya... Tunggu! Aku harusnya bertanya kau ada dimana!! Kau hilang beberapa hari!! Polisi mencarimu! Meski bukan karena kriminal sih,"


"Hahaha tenang, tenang. Aku ada di tempat yang aman. Pertama, tolong jangan bilang aku menghubungimu. Mengerti?"

Fakta bahwa kami semua mendengarkan pembicaraan ini membuat diriku sendiri ngeri. Teknologi benar-benar mengerikan.


"Mengerti." Jawab Robi.



"Aku sekarang ada di Eropa- tepatnya di Swiss, mungkin."

Kami terkejut mendengar kalimat barusan. Swiss?! Yang benar saja!

"EROPA?! SWISS!!" Kata Robi. Semua orang pasti iri karena hanya dia saja yang bisa bereaksi terkejut.



"Makanya. Aku cuma mau bilang aku baik-baik saja. Bilang ke semua kalau aku baik-baik saja. Bye,"

*pip*

Dimatikan dari satu arah.


Rossa terlihat sedikit sakit hati. Aku tahu. Biasanya kalau ada hal penting pasti dia yang terlebih dulu diberitahu. Kalau Al sampai menelepon orang lain terlebih dahulu pasti dia sedikit sebal.



*Pipipipippi*

Kali ini suara ringtone HP lagi.


Iwan kaget karena suara ringtonenya memecahkan kesunyian kelas.


"Ha-halo,... AL?!"


Rossa memberikan isyarat untuk melakukan hal yang sama dengan Robi, dan Iwan tentu saja tidak punya alasan untuk menolaknya.


"Yo. Apa kabar?"

"Apa kabar kepalamu!! Katakan itu pada orang tuamu yang setengah mati mengkhawatirkanmu!!" Kata Iwan.



"Aku tahu. Sudah kok. Aku cuma mau mengatakan aku baik-baik saja. Sekarang aku ada di Madagaskar,"




"Madagaskar?! Katanya Swiss??!"




"Iwan. Kau adalah makhluk teridiot yang pernah aku temui," Kata Rossa sambil menepuk pundak Iwan.

"Aku tidak percaya masih ada manusia yang memiliki otak kera," Lanjutku.



"...Itu sebabnya aku benci teknologi. Teknologi bisa dengan mudah menkhianati manusia. Ya sudah, kalau begini artinya semua orang mendengarku, ya?


...Dengarkan baik-baik...Ini menyangkut nyawa kita semua,"

[Continue to Chapter 6]

==========================================================

Author Note :

Not much to say. Sudah ada hint di Jump yang pertama kalau Al itu teman semuanya. Bisa di cek lagi di ch 5.

Belakangan lagi sibuk. Apalagi besok mid test, lebih baik sekarang saya segera pulang dan belajar.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Nice chapter, saya senang bagaimana anda mulai memasukkan konflik eksternal ke dalam cerita, I guess that's a thing that always happen to a circle of freak.

> Sudah ada hint di Jump yang pertama kalau Al itu teman semuanya. Bisa di cek lagi di ch 5.

berarti saya melewatkannya (atau lupa?)

Btw saya jadi pengen bikin fanart, kalau ada character sheet nya kirimin dong, sama detail seragamnya.

zetsudou sougi mengatakan...

@kai
buka photobucket saya 'w'
@fall
hmmm
ntah kenapa POV yg ini rada....
klo semua orang bisa sarcasm jadinya kurang seru =_=a