Days : Witchcraft

Chapter 01 : You <-> Usual Day


Mimpi tadi benar-benar membuatku tidak nyaman.

Aku menengok ke arah jendela yang masih tertutup korden, artinya masih belum ada yang mencoba membangunkanku. Perlu waktu membiarkan pupil mata ini terbiasa dengan gelapnya ruangan. Ruangan berukuran 5 x 6 ini tidak berubah sama sekali. Masih sama seperti sebelum aku tertidur.


Lagi-lagi mimpi yang buruk. Mimpi buruk yang sensasinya terlalu nyata. Seakan-akan tubuhku benar-benar berada di alam mimpi dan merasakan segala siksaan di dalamnya.

"Ugh,"

Aku berusaha menenangkan diriku.

Aku belum mati. Aku belum mati.

Aku benar-benar bersyukur bisa melarikan diri dari mimpi itu. Kenyataannya mimpi buruk akan selalu meninggalkan perasaan dan emosi negatif. Ketakutan, putus asa, ngeri, khawatir semua menjadi satu.


Mimpi yang berkesinambungan dan terus berlanjut ini selalu berkisar tentang para korban Malam Berdarah 2009, yang terjadi 2 tahun yang lalu. Kasus pembunuhan massal di Rumah Sakit Umum Daerah Sentral yang menelan lebih dari 7 korban dalam selang waktu semalam yang sampai sekarang pelakunya belum tertangkap.


2 tahun yang lalu adalah awal dari semuanya. Sejak itu aku selalu membenci tidur dan mimpiku. Malam di mana mimpi buruk adalah penghias tidurku yang pasti.

Mimpi yang selalu menunjukkan berbagai macam kematian. Seakan-akan menunjukkan berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi pada tubuhku pada malam berdarah yang keji itu.


"Tuan, Al,"

TIga suara ketukan mengalihkan perhatianku.

"Aku sudah bangun,"

Seorang gadis berambut pendek, mengenakan jas hitam dan pakaian formal membuka pintu. Dia menundukkan kepala tanda memberi hormat. Di kedua tangannya memegang baki yang berisi air putih dan obat.

"Bagaimana keadaan anda, Tuan Al?"

"Tidak lebih baik dari kemarin. Kau menginap untuk membantu Rosa lagi?"

Aku segera bangkit dari kasur dan mendekati dosis harian obat penenang.


"Ya, ada beberapa perkejaan penting semalam...

Nona Rosa sudah menunggu anda di meja makan,"



"...Ok. Aku akan segera turun,"


***


Setelah hidup cukup lama di Keluarga Utama Suryohadikusumo, rasanya aku menjadi pemalas.

Tiap pagi dibangunkan, pakaian di antarkan ke laundry, sarapan sudah siap setiap pagi, makan siang dan malam di restoran...

Meski statusku hanya sepupu yang menumpang, rasanya hak-hak sebagai anggota keluarga yang tinggal di Keluarga Utama tidak menghilang.


"Untuk seseorang yang mendapatkan fasilitas seperti ini kau cukup banyak mengeluh, apa kau Masochist yang hanya akan senang di bawah penindasan orang lain?" Kata Rosa

Jangan keluarkan kalimat seperti itu dengan wajah datar, bisa-bisa orang lain benar-benar salah paham. Dan aku bukan masochist. Bukannya aku mengeluh, tapi kemampuan masak ku jadi terbuang percuma.

"Masak-memasak tidak cocok dengan wajahmu. Lagipula masakan Eve lebih enak,"

Biarpun itu fakta, tapi kalau kau bicara sejujur itu sakit juga rasanya.

"Kau. Dengarkan baik-baik. Memasak mungkin bagimu itu rekreasi semata. Daripada kau melakukan eksperimen tidak jelas di dapur dan menjadikan dirimu sendiri kelinci percobaan untuk masakan yang tidak jelas. Selesaikan dulu laporanmu!"

"O-ok,"

Sial, Rosa masih saja membawa-bawa urusan pekerjaan meski di meja makan. Aku rasa malam ini aku tidak akan bisa tidur sebelum menyelesaikan laporan yang Rosa minta.


Biar kuceritakan sedikit tentang keluarga Suryohadikusumo.

Keluarga ini adalah keluarga kaya raya yang bergerak di berbagai macam bidang bisnis. Di kota Sentral ini, mereka merupakan salah satu dari empat kubu yang paling memiliki pengaruh selain Sabit Agency, Geng Kapak dan Keluarga Aristokrates.

Salah satu perusahaan yang menjadi kekuatan ekonomi keluarga ini adalah Perusahaan Mega. Orang yang tinggal di negara ini pasti tahu sebesar apa perusahaan dibidang teknologi gadget bernama Mega.

Kepala keluarga saat ini adalah Djoyo Suryohadikusumo, kakek ku dan Rosa. Meski umurnya sudah mencapai kepala 7, dia masih saja berurusan dengan pekerjaan-pekerjaan utama keluarga Suryohadikusumo. Kakek keras kepala itu sepertinya tidak sedikitpun punya minat meneruskan tahta kepala keluarga kepada salah satu dari kedua anaknya.

Faktanya, dia benar-benar tidak mengizinkan putera-puterinya tinggal di Sentral. Dia lebih percaya dengan cucu-cucunya dan lebih memilih mereka yang tinggal di Rumah Utama daripada anak-anak kandungnya sendiri.

Aku mulai tinggal di rumah ini sekitar 18 bulan yang lalu. Awalnya satu-satunya calon penerus keluarga Suryohadikusumo adalah Rosa, selain dia adalah anak dari kakak ayahku, keluargaku sempat keluar dan tidak diakui oleh Keluarga Suryohadikusumo.

Kondisi berubah 2 tahun terakhir. Karena satu dan lain hal, aku ditunjuk juga sebagai calon penerus Keluarga Utama. Walau aku tidak yakin bisa mengalahkan Rosa yang sudah bertahun-tahun di didik langsung di bawah naungan Kakek. Setidaknya aku masih bisa hidup dan bekerja di bawah pengaruh besar keluarga ini untuk membantu adik-adikku yang sekarang tinggal di rumah Nenek dari keluarga Ibu ku.


Di rumah ini, aku tinggal dengan Rosa, Kakek dan satu pembantu. Meski Kakek jarang pulang dan memilih tidur di kantornya, dia masih menyempatkan waktu untuk menengok para cucunya. Selain itu Eve, asisten Rosa juga sering menginap di sini.


"Lalu, Bagaimana dengan penyakit mimpimu itu?"

"Malam ini aku mimpi buruk lagi," Jawabku singkat

"Sudah datang ke dokter yang aku rekomendasikan kemarin?"

"Sudah. Perlu beberapa hari untuk memastikan apa ada perubahan atau tidak,"

"Begitu. Ngomong-omong, sebaiknya kau hentikan obat penenang itu, bisa-bisa kau overdosis,"

"Aku butuh obat itu-"

Rosa berhenti makan dan menatapku.

"Itu yang orang sebut dengan kecanduan... Aku akan minta Bibi untuk membuang semua stok obat itu. Dan jangan mencoba untuk membelinya di luar karena kau harus melaporkan seluruh pengeluaranmu padaku,"

"He? JANGAN! Kalau aku tidak minum itu badanku bisa pegal-pegal. Efek samping dari mimpi itu--"

Matanya memandangku dengan mata yang sangat tajam.

"Rekues anda ditolak. Lagipula semua ini demi kebaikanmu. Aku tidak mengizinkan obat yang tidak dianjurkan oleh dokter,"

Aku hanya membuka mulutku tidak percaya. Tapi rasanya aku juga tidak bisa melawan perintah absolut dari Rosa. Kekuasaannya di rumah ini nomor dua setelah Kakek dan kepentinganku nomor kesekian. Aku hanya menghela nafas membayangkan bagaimana melewati besok pagi tanpa obat itu.


Sarapan pagi berlalu dengan lancar, Rosa dan aku menyalakan saluran TV berita.

"Bagaimana proses laporan yang aku minta kemarin?"

"Aku rasa besok sudah selesai. Ada beberapa data yang perlu dilengkapi,"

"Begitu..."

Melihat tidak ada berita yang menarik perhatian, aku akan melancarkan rencanaku yang sudah ku susun beberapa hari yang lalu.

"Er, Hei Rosa,"

"Apa? Kalau kartu kreditmu sudah limit, tidak akan kupinjamkan punyaku," kata Rosa dengan wajah bosan menatap berita di TV.

"Bu-bukan! Tentang acara nanti siang,"

"Kenapa?"

"Aku ada acara lain... Kalau kau saja yang berangkat bagaimana?"

"..."

Rosa terdiam. Sepuluh detik, dua puluh detik berlalu. Sepertinya dia sedang mempertimbangkannya dengan matang.

"Ah, saham ITSC turun,"

Kau menghiraukanku?!

"...Beritahu alasan aku harus mengizinkanmu. Karena aku tidak melihat keuntungan sedikit pun dengan mengizinkanmu membolos pada pertemuan keluarga siang ini," kata Rosa masih terlihat bosan.


***

"Sial, padahal hampir sampai, tapi kenapa harus hujan dulu,"

Aku menengok ke arah pergelangan tanganku. Sudah lewat 10 menit dari waktu yang dijanjikan. Padahal tujuanku ada di seberang jalan tapi aku berhenti sebentar karena hujan yang menghalangiku mencapai tujuan derasnya luar biasa.

Ditambah lagi jalanan penuh dengan kendaraan lalu lalang. Meski ada zebra cross, sepertinya pada pengguna kendaraan sudah tidak lagi menghargai pengguna jalan yang ingin menyebrang. Mungkin mereka tidak akan kepikiran kalau ada yang ingin menyebrang dengan kondisi hujan yang seperti ini.


Mengambil nafas dalam-dalam aku mengambil ancang-ancang. Pokoknya lari seperti orang tidak waras.


1 detik pertama, sensasi baju kering yang menjadi basah. Detik selanjutnya kecepatan menurun karena tubuh menjadi berat dan melawan arah angin. Pandangan kabur dan mata terkena lumpur. Aku bisa mendengar suara klankson mobil dan sumpah serapah pengemudinya.

Begitu sadar sepertinya aku sudah berada di seberang jalan. Ternyata lebih mudah dari yang kukira. Walau sepertinya celana ku jadi basah karena cipratan dari mobil tadi. Sial.


Bel berbunyi saat aku memasuki kafe. Ugh, hawa dingin Air Conditioner membuatku semakin kedinginan. Pelayan wanita yang melihat ke arahku tertawa karena aku bersin dengan tubuh basah kuyup. Sial, pasti terlihat sangat pecundang.


"YO! AL!"

Suara yang memanggil namaku itu membuatku sedikit lega. Aku jadi tidak perlu tengak-tengok seperti kucing mencari induknya. Segera kucari sumber suara. Gadis berambut hitam panjang itu sudah menunggu di sudut kafe. Ini pertama kalinya aku melihatnya setelah 2 tahun.

"Kau terlambat!"

"Maaf, Remi. ada orang keras kepala yang harus kutaklukkan terlebih dahulu sebelum aku berangkat. Dan tadi ada pemakaman yang ramai sekali pengunjungnya, aku tidak ingat ada orang terkenal yang mati hari ini,"


Sudah dua tahun dan Remi sudah berubah sejauh ini. Rambutnya semakin panjang dan terlihat semakin dewasa. Tidak lagi memakai kaos dan celana jeans seperti dulu, sekarang dia memakai jaket dan rok panjang yang lebih cocok dengan penampilannya saat ini. Dia terlihat jauh lebih feminim dari 2 tahun yang lalu.

"Kau seperti orang yang berbeda setelah tidak bertemu 2 tahun,"

"Begitu? Kau malah terlihat sama sekali tidak berubah kecuali sekarang bajumu jadi terlihat mahal... Ngomong-omong barusan itu pujian lho,"

Sebelum aku membalas perkataannya sepertinya bersin yang tertahan dari tadi keluar lagi.

"Hujannya deras sekali,"

"Benar juga... Sebaiknya kau ganti baju dulu, aku bawa baju ganti, mau pakai?" Remi mengatakan ini sambil mencari-cari di dalam tas pinggangnya.


"Tidak perlu, lagipula baju ini baju spesial. Lebih cepat menyerap air dan memanfaatkan kapilaritas dan gravitasi untuk membuatnya cepat kering. Sebentar lagi pasti kering-- Hatsyii!"


"Mungkin sedikit minuman hangat? Kau mau minum apa? Kopi? Kau masih suka kopi, kan?" kata Remi menawarkan

"Susu hangat,"

"Pelayan! Susu Coklat hangat satu!"




"Bagaimana kabar anda Nona-yang-baru-saja-pulang-dari-latihan-di-gunung," tanyaku membuka pembicaraan

"Kau tidak percaya bagaimana aku bisa dua tahun bertahan hidup tanpa komputer dan internet. Setiap hari adalah latihan berat. Bayangkan saja untuk menikmati makan malam aku harus berburu terlebih dulu... Untuk memasak aku harus mencari kayu bakar? Apanya yang latihan?! Selain itu Nenek yang sok pintar itu benar-benar menyebalkan. Apa aku sudah bilang kalau di sana tidak ada sinyal ponsel?"


"...Terdengar sangat sengsara... dan klasik. Memangnya ini jaman pendekar Wiro Gila 212? Tapi bukan latihan namanya kalau kau tidak sedikit berkeringat,"

"Sedikit berkeringat?! Aku kira lemak ditubuhku sudah hilang dan ototku membesar! Mereka pikir aku pro-wrestler?! Tapi setidaknya baju-baju lamaku jadi muat lagi,"

"Lalu, apa yang kau dapatkan dari latihan itu,"

"Selain jadi sedikit berotot? Tidak ada," katanya dengan nada sarkasme

Aku tahu dia bercanda. Mungkin dari luar Remi terlihat berubah, tapi sepertinya tidak akan ada yang bisa mengubah gaya bicaranya yang santai, penuh sarkasme dan senyumnya yang menyejukkan hati itu.


"Lalu bagaimana dengan kuliah? Ada rencana kuliah? Umurmu sudah 21"

"Ugh, Kuliah... Em... Rasanya aku malas. Pekerjaanku juga banyak," kata Remi sambil menghela nafas.

"Pekerjaan..."

"Kau tahu, kan? Keluargaku sudah turun-menurun melakukan 'pemurnian'. Belakangan ini sepertinya banyak sekali 'pemurnian' yang dilakukan. Aku mulai mempertanyakan kewarasan orang-orang di kota ini,"


'Pemurnian'... Remi selalu menggunakan istilah itu untuk mengatakan menyembuhkan orang yang terkena kutukan atau santet.

Sejak aku berteman dengan Remi. Aku baru tahu kalau para petinggi-petinggi negara, pejabat, pebisnis kelas kakap, mafia, gangster-gangster kelas atas memiliki pendamping 'Spiritual'.

Bagi mereka yang memasuki dunia persaingan seperti itu, konfrontasi secara fisik jelas dihindari untuk menjaga nama baik. Disitulah pendamping 'spiritual' berperan. Menjatuhkan lawan dengan penyakit misterius, membunuh musuh secara instan tanpa meninggalkan sidik jari, membuat kesialan bertubi-tubi, kebakaran tiba-tiba adalah sedikit hal yang bisa dilakukan pendamping 'spiritual'

Tapi tidak semua pendamping 'spiritual' bertingkah dan bertindak sewenang-wenang seperti itu. Sudah menjadi ekspektasi bahwa kubu lawan pasti juga memiliki pendamping yang sama.

Sama seperti paradox Nuklir, di mana saat 2 kubu yang berlawanan memiliki nuklir, justru semakin rendah kemungkinan meluncurnya salah satu nuklir tersebut. Tapi kemungkinan serangan akan semakin tinggi saat salah satu pihak tidak memiliki Nuklir.


Keluarga Remi yaitu Keluarga Cakrawinata adalah keluarga yang melindungi pemilik Sabit Agency. Dan aku yakin Keluarga Suryohadikusumo pasti juga punya satu atau dua pendamping 'spiritual'.


...

Kenapa? Kau tidak percaya dengan hal yang seperti itu?

Meski di zaman modern seperti ini, di mana Sains selalu (sok) menjelaskan segala macam fenomena yang terjadi, tidak dipungkiri masih ada hal aneh yang tidak bisa dijelaskan secara logika.

Bagaimana kau menjelaskan segitiga bermuda, bagaimana kau menjelaskan ilmu tenaga dalam, bagaimana kau menjelaskan hipnotis, bagaimana kau menjelaskan pembunuhan ruang tertutup sempurna yang mustahil di zaman kejayaan ahli forensik seperti sekarang. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan mengandalkan fisika dan kimia dasar yang kau dapat di SMA. Termasuk bagaimana kau menjelaskan kutukan dan santet?

Ironis memang, aku bekerja di salah satu perusahaan bidang teknologi tapi aku bercerita tentang kutukan dan santet.

Orang memang tidak akan percaya kalau tidak punya bukti. Tapi aku sendiri punya bukti dan mengalami sendiri rasanya menjadi korban.


"Tadi kau bilang pekerjaanmu semakin banyak... Itu artinya salah satu pihak ada yang menyerang Owner dari Sabit Agency?"

"Bukan serangan berarti dan bukan dari kubu yang besar. Serangan kecil-kecilan tapi merepotkan juga kalau tidak diatasi,"

"Kalau terjadi hal seperti itu, apa kau bisa mengetahui siapa yang mengirim serangan,"

Remi memandangku sesaat. Aku rasa aku harus siap mendengarkan pidato panjang.

"Spiritual Attendant, atau dalam hal ini keluargaku, tidak akan mampu mengetahui siapa pengirimnya kecuali mendapat petunjuk dari 'serangan' tadi. Pola serangan, jenis serangan yang digunakan juga bisa menjadi petunjuk.

Bisa dibilang perlu juga adanya 'Perkiraan' dan 'Prediksi' siapa yang bisa mengirim serangan semacam ini. Kalau sudah mendapatkan beberapa kandidat pelaku, mencarinya satu per satu cukup mudah,"

"Lalu apa yang kau lakukan kepada orang yang mengirimkan serangan macam itu?" tanyaku penasaran.

"...Kau belum paham sistim kerja 'Serangan' rupanya... Biar kuluruskan satu hal. Spiritual Attendant bukan seorang yang superior. Tidak lebih superior dari manusia biasa.

Hanya saja, mereka lebih dekat dengan hal supernatural yang ada disekitarnya. Jadi kemampuan atau skill setiap Spiritual Attendant adalah pasif. Tidak ada manusia yang bisa mengeluarkan api hanya dengan mengangkat tangan... Manusia tetaplah manusia, bukan Tuhan,"

"Lalu apa maksudmu dengan pasif dan menyerang?"

"Iblis dan Setan... dua makhluk yang mengendaki kehancuran akan menawarkanmu kontrak untuk merusak harmoni dalam dunia manusia. Dan kau bisa melakukan hal mustahil dengan bantuan mereka...

Tuhan itu adil dan menjaga harmoni. Sedangkan Iblis dan Setan memiliki sedikit kekuatan untuk membelokkannya. Anggap saja jalan singkat untuk mencapai tujuan.

Dan sayang sekali untuk melakukannya benar-benar mudah. Melakukan kontrak dengan setan semudah membalikkan tangan. Asal kau dalam kondisi lemah dan putus asa setan dengan mudah akan menawarimu jalan pintas dengan mencelakakan lawanmu,

Sihir, Santet dan Kutukan itu adalah kristalisasi dari kontrak yang kau buat,"


Aku terdiam mendengar paparan barusan. Setelah aku pikir-pikir kembali dunia spiritual tidak sekeren dan segemilang bayanganku. Tidak akan ada perang 'summon' ataupun 'sihir'. Karena pemanggilan makhluk pendamping dan sihir sendiri adalah perbuatan setan dan iblis.



"Kau belum menjawab pertanyaanku. Lalu apa yang kau lakukan kepada orang yang mengirimkan serangan macam itu?"

"Tidak ada,"

"Tidak ada?"

"Tidak ada. Kalau 'serangan' gagal, yang memerintahkan menyerang yang akan mati. Itu adalah hukum dan aturan yang pasti."

Artinya, hanya dengan mengambil sikap bertahan saja kita sudah menang?

"Yep, walau mengambil posisi bertahan pun tidak bisa dibilang mudah.

Tidak ada yang kau dapatkan dari perjanjian dengan mahkluk terkutuk itu selain kemenangan semu. Seperti rentenir dan judi, awalnya mereka senang dengan kekuatan ataupun kekuasaan yang baru saja di dapat. Tapi pada akhirnya mereka yang kontrak dengan setan atau iblis tidak akan mendapat happy ending.

Berkontrak dengan mereka sama saja menjual dirimu sendiri, dan sejauh yang aku ingat aku belum pernah melihat orang yang bahagia dengan menggantungkan hidup lewat jalan pintas,"


Suara perbincangan kami tertimbun oleh suara band kafe yang mengisi jam makan siang. Tidak ada yang peduli dan tidak akan mendengar pembicaraan barusan. Dalam dadaku terasa kosong dan perasaan negatif menyelimuti. Entah itu karena aku baru saja mempelajari fakta yang kejam atau karena manusia yang penuh dengan iri dan dengki adalah makhluk yang sangat menyedihkan.



"Heh, tapi yang benar-benar mengerikan... Bayangan hitam yang terus berada di belakangmu itu seakan-akan menantangku untuk membunuhnya, dia terlalu berbahaya dan mengerikan bahkan keluargaku tidak mau berurusan dengannya,"


Remi terlihat mual saat mengangkat sedikit pandangan matanya. Dia memandang sesuatu yang bagiku tidak terlihat. Baginya melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain adalah hal yang biasa.

Kalau Remi sampai gentar melihat 'sesuatu' itu, artinya bukan pertanda bagus bagiku.


"Kalau penyakit mimpi burukmu masih terjadi. Salahkan makhluk besar dibelakangmu itu," kata Remi terlihat sedikit berkeringat dingin.

Aku menyadari kalau pupil mata Remi sedikit berubah kemerah-merahan seakan-akan dia memakai kacamata 'supernatural' nya


Aku sudah tahu fakta tentang makhluk dibelakang punggungku sejak dua tahun yang lalu dari Remi. Aku juga tidak berharap mimpi buruk ini akan berakhir sebelum makhluk ini menghilang. Tapi kalau Remi berkata dia terlalu kuat, pasti dia benar-benar kuat. Apalagi Remi sampai koma 2 minggu saat dia pertama kali berhadapan dengannya.

"Aku tidak bilang satu-satunya cara adalah membunuh langsung makhluk ini," Remi menutup matanya sejenak dan sepertinya pupil matanya kembali normal.

"Apa maksudmu ada cara lain? Jangan bilang membunuh orang yang mengirimkan 'serangan' ini?"

"Itu cara yang kurekomendasikan. Lebih mudah membunuh Raja daripada membunuh Panglima Perangnya."

Tapi, kita manusia, masih punya akal dan pikiran. Kita masih punya sains dan teknologi. Aku tidak bilang bisa menyembuhkan sepenuhnya, tapi aku yakin ada jalan lain selain supernatural dilawan supernatural,



"Hari ini aku punya dua info penting,"

Remi menyodorkan dua alamat pada satu lembar kertas.

"Alternatif penyembuhan sementara kita mencari orang yang menyerangmu, dan aku punya satu kabar buruk..."

Remi mengeluarkan kertas kedua, sebuah lingkaran yang terputus di 2 titik dengan sebuah titik di tengah. Simbol yang tidak akan pernah kulupakan. Itu adalah simbol dari pelaku Malam Berdarah 2009.

"Kenapa dengan mereka?"

"Sepertinya mereka baru saja pulang dari liburan panjang. Setelah dua tahun seakan-akan menghilang belakangan ini sepertinya 'mereka' mulai bergerak,"

Perutku tiba-tiba terasa mual. Sejenak, bayang-bayang yang tidak menyenangkan terlintas di pikiranku.

"Lalu?"

"Aku butuh bantuanmu, aku ingin kau mencari informasi lebih lanjut tentang ini. Pergerakanku tidak terlalu bebas belakangan karena kondisi Keluarga Sabit sedang kebakaran jenggot dengan serangan-serangan kemarin. Selain itu aku percaya kau punya kapasitas untuk melakukannya," Remi masih dengan wajah seriusnya menyerahkan 2 kertas itu padaku.


"...Aku mengerti. Secepatnya akan kuhubungi kalau aku mendapatkan info,"





"Lalu... daritadi kita hanya membicarakanku dan pekerjaan. Aku belum dengar bagaimana kabarmu~,"


Remi tersenyum ceria kembali ke mood awalnya.

"Kabar? Bisa dilihat kalau aku biasa-biasa saja,"

"Ah~ Bukan itu! Sekarang kau tinggal di mana?"

"Oh ya aku belum cerita tentang kepindahanku,"


***


Beberapa ratus meter dari kafe tempat Al dan Remi berada, Djoyo Suryohadingrat dan Rosa Suryohadingrat menikmati makan siang mereka di restoran keluarga. Bagi mereka yang tidak tahu siapa mereka berdua hanya akan menyangka mereka adalah kakek dan cucu yang sedang makan siang bersama.

Tapi pembicaraan antara kakek dan cucu ini lebih dalam dan rahasia untuk dibicarakan di tempat terbuka seperti ini. Walau sepertinya mereka berdua melaksanakan stategi 'menyimpan rahasia di kerumunan benda yang bukan rahasia.

Meski dibilang pertemuan keluarga, hanya dua orang ini yang hadir.

"Bagaimana dengan kondisi kakek?"

"Tidak lebih baik, dokter sudah menyerah dengan kondisi aneh ini,"

Rosa terlihat benar-benar khawatir dengan kondisi sang kakek. Tubuhnya yang sudah tua itu terlihat masih begitu bugar, tapi permukaan bisa menyembunyikan dengan baik cacat yang ada di dalam.

"Apa kata dokter,"

"Dia bilang kondisiku bisa memburuk kapanpun,"

"Lalu kenapa kakek masih memakan kentang goreng!" Rosa secara paksa merampas makan siang kakeknya.

"Ayolah cucuku, satu atau dua kotak kentang goreng juga tidak akan merubah kondisiku,"

Menghiraukan kakeknya yang terlihat menginginkan kentang goreng, Rosa menaruh kentang goreng itu di kursi sebelahnya, jauh dari jangkauan Djoyo.

"Lalu apa kata Jim?"

"'Serangan' tiba-tiba. Jim sendiri bilang kalau dia tidak sadar dengan serangan ini sampai saat kemarin aku medical check up. Aku rasa orang tua ini pun sudah membuat musuh yang merepotkan..."

Rosa terlihat terkejut. Dalam hati dia menyalahkan Jim yang ceroboh, tapi apa daya dia tidak punya wewenang sampai ke daerah Jim.

"Aku punya dugaan kalau orang daerah utara yang melakukannya," kata Rosa berspekulasi.

"Hoo, Maksudmu ini perbuatan Sabit dan anak buahnya?"

"Proyek pembangunan Rumah Sakit Sentral awalnya ada ditangan mereka, Tapi kita berhasil mendapat bagian lebih besar saat implementasinya berkat negosiasi dan dalih perlindungan monopoli..."


"Kalau hanya dengan seperti itu mereka 'menyerang'ku... Harusnya aku sudah mati dari dulu. Dan dengan logika seperti itu bukannya Geng Kapak yang seharusnya lebih mencurigakan? Semakin hari wilayah kekuasaan mereka menyempit dan perusahaan kita sudah putus hubungan dari perlindungan mereka,"

"...Be-benar juga,"

Rosa terlihat bingung. Memikirkan orang yang bisa membenci kakeknya menghasilkan kemungkinan yang sangat beragam.

"Sudah, kau tidak perlu memikirkan hal seperti itu. Aku mengundangmu makan siang bersama hanya ingin menyampaikan pesan... Kalau kau harus siap kapan pun, kursi kepemimpinan ini tidak akan kuserahkan pada siapapun kecuali padamu

Dan katakan pada cucu laki-laki sialan itu kalau dia masih boleh numpang mencari makan di bawah nama Suryohadiningrat,,"

Rosa menundukkan kepalanya dengan hormat.

"Terimakasih atas kepercayaan Kakek,"



Langit kota Sentral semakin cerah. Matahari yang bersembunyi dari langit mendung menampakkan cahayanya. Kehangatan sang surya menguapkan aspal lembab yang menyelimuti kota ini. Matahari masih jauh dari tenggelam, hari di Sentral masih jauh dari selesai.


***

Sentral Cemetery
11.39 AM


Siang itu hujan deras, seakan langit pun ikut bersedih dengan kematian Franz Budi. Keluarganya tidak pernah menyangka Franz yang masih muda, sehat dan segar bugar beberapa hari yang lalu, akan kembali ke tanah.

Tapi yang membuat keluarga Budi lebih terharu adalah ratusan rekan kerjanya berkumpul, mengucap bela sungkawa dan membantu keluarga yang sedang berduka, bahkan sampai mengantarkannya ke liang lahat. Mereka tidak pernah tahu bahwa si pendiam Franz begitu di cintai oleh rekan-rekan kerjanya.

Pemakaman Franz Budi, dibanjiri oleh ratusan orang mengenakan jas hitam dan topi hitam. Itu adalah kode pakaian Geng Kapak. Ada kalanya mereka berkumpul untuk membuat kekacauan, namun hari ini mereka berkumpul dan membantu keluarga yang ditinggalkan. Itu semua karena rasa persaudaraan yang terbangun di lingkungan Geng Kapak.


Setelah sedikit pidato dari keluarga Budi, salah satu 'rekan kerja' dari Franz dipersilahkan untuk menyampaikan pesan terakhir.

"Hari ini, saudara kita Franz Budi meninggalkan kita semua. Sebuah waktu yang singkat bersamanya, namun tidak akan pernah terlupakan.

Hari ini, langit pun ikut menangis. Menyembunyikan tangis para saudara laki-laki dan perempuannya yang berdiri di sini, mendoakan Franz agar dosa-dosa terampuni,"


Setelah pemakaman selesai, Heru sang ketua segera berpamitan kepada keluarga Budi.

"Franz adalah anak yang baik, kalau anda ada kesulitan, beritahu kami. Siap membantu kapan saja seperti Franz sering membantu saudara-saudaranya,"

"Saya tidak menyangka kalau ketua geng kapak akan datang membawa ratusan anak buahnya untuk melepas kepergian Franz," Sebuah pujian yang melayang dari mulut ibu dari Franz.

"Tidak. Saya tidak memerintahkan mereka sama sekali. Mereka benar-benar merasa kehilangan Franz dan Franz adalah saudara mereka. Saya sendiri datang bukan sebagai Ketua Geng Kapak... Tapi hanya sebagai Heru Redgriff," kata Heru merendah.




Setelah beberapa kata penyejuk untuk keluarga Franz, Heru berjalan menuju mobilnya dan segera menghubungi seseorang.

"Halo? Ya ini aku, Jenggot Putih. Aku ingin minta tolong. Selidiki kematian Franz... Ya, Tidak mungkin dia mati karena kecelakaan.... Ya aku tahu...Masalah biaya tidak usah khawatir,"


Heru menatap langit yang kembali membiru. Meski salah satu anggotanya hilang, dunia terus berputar dan waktu tidak membeku. Tapi satu hal yang pasti, hari di kota Sentral masih jauh dari selesai.



***

Author Note

Jujur saja ini pertama kalinya saya pakai setting supernatural seperti ini. Merinding juga ngetiknya pas malam-malam.

Hope you enjoy it.

6 komentar:

Franz Budi mengatakan...

Tes

Zetsudou Sougi mengatakan...

sudah lama juga ga baca2 disini
masih menarik seperti biasanya
cuma sekali lagi saya ingatkan : komitmen

Franz Budi mengatakan...

Tergantung, asal pace kerja nggak lagi berat kayaknya bisa seminggu sekali update

Zetsudou Sougi mengatakan...

no no no
maksud saya komitmen untuk menyelesaikan

minoru mengatakan...

Wah sejauh ini sepertinya lumayan menarik. Saya menantikan chapter duanya.

Anonim mengatakan...

Lah, itu i Heru Redgriff, Franz Budi keren, malah tokoh utamanya teteo sama semua, lol. Atau mereka semua slider di paralel in-universe anda?

Setuju sama comment nya Gecd =w=b