Selamat idul fitri and bla bla bla. Jelas saya manusia biasa yang punya banyak salah dan dosa. Saya minta maaf dengan sepenuh hati dari lubuk hati saya yang nggak tau dalamnya seberapa.

Setelah menyelesaikan draft Witchcraft seminggu kemarin, disimpulkan bahwa D:W bakal selesai dalam 30 chapter dan 3 volume.

Here I go, Chapter 03.

Days : Witchcraft Chapter 03



Blood <-> Tongue




Sabit Agency HQ
16.03 AM


Meja panjang itu sudah dipenuhi dengan cangkir teh yang terlihat mahal dan makanan ringan. Setelah beberapa persiapan panjang akhirnya pertemuan tahunan antara keluarga Sabit dan Cakrawinata dimulai.

Kursi-kursi di meja tersebut hanya terisi oleh beberapa orang. Sabit Wijaya sebagai orang yang memiliki kekuasaan tertinggi di rumah itu duduk di tengah. Di samping kanannya adalah keluarga Cakrawinata. Dengan susunan Bambang Cakrawinata duduk paling dekat dengan Sabit Wijaya, diikuti ibu dari Remi, Laura Cokrowinata lalu Remi dan tiga kursi kosong. Di sebelah kiri Sabit Wijaya adalah istrinya 2 anak laki-laki yang tertua dan beberapa jajaran orang-orang yang Sabit benar-benar percaya.

Pertemuan di awali dengan berbagai macam laporan kondisi general dari keluarga Sabit dan Cokrowinata. Remi yang baru pertama kali mengikuti ritual tahunan ini hanya mengangguk-angguk pura-pura mengerti saat berbagai macam istilah ekonomi keluar seakan-akan lebih sering daripada orang tersebut mengucapkan huruf R.


"Remi," Sabit memanggil Remi saat semua laporan selesai di bacakan.

"Yups hadir-"

Remi menyadari pandangan tajam ayahnya dan memperbaiki cara bicaranya.

"Ya, Paman Sabit,"

"Bagaimana dengan kondisi tanganmu?"

"Mantap-- maksudku, sudah lebih baik,"

"Baguslah. Sebenarnya ada hal penting yang harus di sampaikan. Mulai besok, kau adalah Spiritual Attendant keluarga Sabit. Kami mohon bantuanmu," Pak Sabit bersikap sopan meski pada orang yang lebih muda darinya.

Seperti ponsel yang kehilangan sinyal, Remi sempat diam beberapa detik mencerna kalimat Sabit Wijaya dengan baik.

"...He? Aku? Lalu bagaimana Ayah?"

"Aku tidak perlu khawatir setelah melihat putriku dengan luar biasa menetralkan santet yang kemarin menyerang Tuan Frank,"

Salah satu putra Sabit yang bernama Frank mengangguk.

"Aku sekarang merasa lebih baik setelah Remi menetralkan serangan kemarin, tidak bisa dipercaya penyakit yang menyerangku berbulan-bulan dan Ayahmu tidak bisa hancurkan bisa kau selesaikan dengan cepat, memilikimu sebagai pelindung keluarga kami membuat kami semua nyaman,"


Remi yang baru pulang seminggu yang lalu dihadapkan dengan masalah yang cukup serius. Anggota keluarga Sabit benar-benar dalam kondisi yang sangat buruk saat dia pulang. Penyakit aneh yang menyerang paru-paru dan membuat sulit bernafas.

Tentu saja Remi tidak bisa menceritakan ini ke Al. Remi hanya berkata kalau ini masalah kecil, tapi faktanya, ratusan setan yang menghuni rumah ini harus dibasmi dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Bambang, ayah Remi sendirian tidak mampu menghadapinya.

Sampai sekarang masih belum ditemukan siapa yang melakukan semua ini. Tapi berkat kesigapan Remi membantu Ayahnya, masalah ini selesai dalam 4 hari. Dan kejadian ini tentu memperkuat kepercayaan keluarga Sabit kepada Remi.



"Lalu bagaimana dengan Ayah? Ayah yang selama ini menjadi Spiritual Attendant, kan?"

Tuan Sabit menatap sejenak sahabat terbaik sekaligus pendamping setia keluarganya.


"Masalah itu..."


"Ayah akan maju sebagai calon Walikota Sentral tahun depan,"

Remi tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ayahnya yang lebih memilih membaca buku di mejanya dan menenangkan diri di ruang istirahatnya tidak pernah terlihat begitu tertarik dengan politik.

"Tiba-tiba?" Tanya Remi.

"Tidak juga. Aku sudah merencanakannya sejak lama dengan Wijaya,"


Sabit Wijaya mengambil alih pembicaraan,

"Tidak seperti pemilihan walikota sebelumnya, Tahun depan Keluarga Sabit akan mengerahkan seluruh dukungannya untuk mensukseskan Ayahmu. Sudah waktunya menggulingkan tirani Bagiyo Sarjono atas kota Sentral ini,"


Bohong. Orang ini hanya ingin menguasai kota Sentral dengan tameng Ayah. Ayah orang yang sangat idealis, sementara Sabit Wijaya pasti memikirkan keuntungan yang bisa dikeruk dan izin-izin yang mudah dikendalikan jika ayah memimpin Sentral. Pikir Remi.

"Aku rasa kita bahas itu di lain waktu, yang jelas... Mulai hari ini kau yang akan pemimpin yang mengurusi seluruh masalah Supernatural di keluarga ini,"


Remi yang tidak bisa menyuarakan satu pun kalimat bantahan atau pun pendapat hanya menunduk dan patuh.


"Baik," jawab Remi.



***


"Memasang wajah khawatir seperti itu pun tidak ada gunanya,"


Aku terus menerus menghubungi ponsel Remi sampai aku lupa berapa kali aku mencoba menghubunginya. Tch! Tidak aktif.


"Calm down, dude. Kita harus tenang dan berpikir secara matang, lagipula kondisi di tempatmu juga lebih buruk. Sebaiknya kau pulang dulu," kata Raisen masih sambil mendinginkan benjolan di wajahnya dengan kantung es yang hampir mencair.

"Darimana kau dapat info kalau Remi akan menjadi pembantu Spiritual utama keluarga Sabit?"

"1,000,000,000 IDR. Mengungkap identitas narasumber sama saja seperti seorang nelayan yang memberikan jaringnya kepada orang lain. Sudah untung aku memberikan info tentang siapa Spiritual Attendant keluarga Sabit yang baru,"

Dia sama sekali tidak berniat memberitahu siapa yang memberikannya informasi ini. Terkadang dia murah hati dan memberikan informasi tanpa diminta tapi terkadang dia lebih menyebalkan dari noda di kloset yang tidak bisa menghilang meski digosok sampai tanganmu pegal.


"Aku berhenti bermain-main Al. Kalau kau mau bekerja sama denganku menangkap dan menguliti pelaku Malam Berdarah 2009 kau harus membuka kartumu. Aku sudah capek melihatmu bertingkah pura-pura tidak tahu,"


"Apa maksudmu?"


"Kau lebih paham apa yang kumaksud dari orang lain. Satu-satunya yang bertatapan langsung dengan pelakunya adalah kau dan Remi. Kau tidak mungkin mengharapkan aku menginterogasi orang-orang mati, kan? Karena korban selamat malam itu hanya kau dan Remi... and me of course,"

"Aku tahu berteman denganmu terkadang menyebalkan. Tapi aku tidak pernah mengira akan semenyebalkan ini. Aku sudah bilang berkali-kali kalau Aku tidak tahu apa-apa," kataku keras.


Raisen hanya tersenyum seakan sudah menerka bahwa aku tidak akan semudah itu bermain di bawah kendalinya.

Suasana semakin memanas. Kepalaku masih dipenuhi dengan pikiran tentang Jim yang mati sadis dan Remi yang mungkin menjadi target serangan selanjutnya. Raisen hanya menambahkan bensin ke api yang sudah membara.


"Alright, Alright. I give up. Aku kira hari ini cukup sampai di sini. Sepertinya kalau berdiri di sini terus bisa-bisa aku menggantung tubuhmu terbalik dan menginterogasimu sampai kau mengaku... Tapi aku tidak bisa. Karena kau temanku,"

Raisen mengambil jaketnya dan keluar dari warung setelah membayar.

"Catch you later, bro"

***


Amarah.

Amarah yang benar-benar membara menyelimuti Djoyo Suryohadikusumo. Tangan kanan yang dia percaya, dibunuh dengan cara mengenaskan. Jim bukan teman bicara yang baik dan terkadang malas, tapi dia adalah Spiritual Attendant yang handal.


Menjadi Spiritual Attendant memang pekerjaan berat. Menyembunyikan identitas salah satunya. Mereka mungkin handal dalam melawan sihir, kutukan ataupun santet. Tapi tidak ada yang bilang mereka imun terhadap timah panas apalagi bom rakitan. Berbeda cerita kalau mereka menguasai Kanuragan.

Kalau sampai Spiritual Attendant yang identitasnya tersembunyi kehilangan nyawa karena serangan fisik macam ini, artinya orang-orang disekitar harus dicurigai.

"Panggil Rosa dan Al, aku ingin bicara dengan mereka," perintah Djoyo sambil mencoba menahan rasa ingin menghantam meja sekuat tenaga.


"...Tuan Djoyo, tenanglah sedikit. Anda sudah berumur dan tidak baik dalam kondisi tertekan,"

Pria dengan jas putih dan celana putih itu terlihat santai. Membuat kondisi ini ironis karena Jim adalah kakak kandungnya. Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa kesedihan sedikitpun. Senyum sinisnya terhadap kematian sang kakak membuat Djoyo tertarik dengan bocah yang mungkin menjadi orang kepercayaannya di masa mendatang.

"Heh, kau benar,"


"Jujur saja, aku ratusan kali lebih baik darinya. Jim sedikit kurang disiplin dan kewaspadaannya kurang,"

Djoyo tertawa mendengar komentar pemuda ini.

"Sebagai keluarganya, kau benar-benar bermulut busuk sampai bisa mencela saudaramu yang sudah mati, Nak Andi,"

"Aku hanya menyatakan fakta. Fakta itu terkadang melewati batas moral."


***





Heru Redgriff datang secara personal. Tempat ini adalah gudang informasi kota Sentral. Kafe Laba-laba Merah bisa jadi musuh atau kawanmu, isi kotak brankasmu yang menentukan.


"Yo Jenggot Putih, tempat ini masih saja busuk seperti biasa, kau ke manakan uang-uang yang kau hisap dari pelangganmu?"

"Kau bilang pelanggan, tapi yang membeli info dariku tidak lebih dari 6 orang,"

Semakin banyak orang yang tahu topeng asli dari kafe ini semakin buruk. Menjadi informan bukan sesuatu yang bisa di banggakan di publik.


"Oi, Heru,"

"Ada apa?"

"Anak buahku dihajar oleh cecunguk idiot penjaga gerbangmu,"

"Lalu?"

"Lain kali izinkan dia masuk, aku jadi kesulitan mencari info,"

"Dan membiarkan berbagai macam informasi penting milik Geng Kapak terambil? Tidak terimakasih. Itu masalahmu, bukan masalahku,"

"Heh, kau masih tak percaya dengan Temanmu ini?"


"Bagaimana dengan investigasi tentang Franz?" kata Heru mengalihkan pembicaraan.

"Lancar,"

"Kau tahu siapa pelakunya?"

"Heh, aku bilang lancar tapi aku tidak bilang sudah selesai. Pelakunya kebetulan adalah monster yang tidak meninggalkan jejak. Dia bisa melakukan semua ini dengan bersih tanpa meninggalkan petunjuk di TKP. Dan sayangnya, aku bukan dukun yang bisa memberikan jawaban dengan dasar supernatural. Karena aku manusia yang memilih logika daripada pembicaraan nonsense seperti santet dan sihir,"

Heru menghisap rokoknya.

"Dukun... kalau dukun bisa dipercaya, aku tidak akan datang ke tempat yang menguras dompetku. Lagipula urusan dengan dukun sama saja menjual diriku kepada setan,"

"WAHAHAHAHA... kau benar. Yah, walau sekarang keberadaan dukun 'asli' yang berada di kota ini hanya bisa dihitung dengan jari. Lagipula dukun teralu rapuh, hanya dengan satu atau dua peluru dari jarak 10 meter mereka sudah wafat,

Mau baca mantra, panggil iblis atau apa pun, sekali timah panas berada di tengah dahi mereka, kita sudah menang,"

"Lalu bagaimana kalau mereka punya Kanuragan?"

"Heh, itu lain cerita. Tapi mencari kelemahan mereka tidak begitu sulit. Kalau sudah mendapatkan titik lemah, melenyapkannya tidak butuh 10 menit... Tapi lupakan, aku tidak ingin berurusan dengan orang yang menguasai kanuragan, mengurusi orang yang menjadi budak iblis lebih menyebalkan daripada harus mandi 2 kali sehari,"




"Heh, tapi aku bertaruh kau sudah melenyapkan satu atau dua dukun di kota ini,"

"KHIHIHHAHA Kau punya bukti?"

"Pertanyaannya bukan aku punya bukti atau tidak. Tapi di mana bukti itu sekarang? Siapa tahu kau mencampurkan mayat mereka pada makanan anjing kesayanganmu, dan sekarang mereka sudah terurai ke tanah bersama kotoran,"


"WAHAhAhA ide bagus. Kalau kau tahu sejauh itu berarti kau pernah melakukannya,"

"Bagaimana ya..." Heru hanya mengeluarkan senyum sinis.


"Kembali ke topik awal. Aku cukup kesulitan mencari jejak pelaku ini. Kalau diingat-ingat dua tahun yang lalu juga seperti ini. Aku kadang berpikir apa ahli forensik zaman sekarang tidak becus,"

"Bukannya tidak becus. Bagaimana bisa iblis meninggalkan sidik jari?"


2 bulan terakhir sejak insiden Aristokrates dan para Spiritual Attendant ketiga kubu besar di sentral. Hanya beberapa petinggi-petinggi kelas atas yang menyadari fakta ini. Di depan mata penduduk sentral, kejadian ini hanyalah seperti perbuatan gila seorang pembunuh berantai jenius. Teori konspirasi yang populer di internet menunjukkan kalo pelakunya satu.


Tapi Heru Redgriff tidak mudah jatuh dalam pemikiran sempit seperti itu, begitu juga Si Jenggot Putih. Mungkin saja dalam satu kasus tersebut seseorang dengan konflik kepentingan memanfaatkan pemikiran publik dan mengikuti pola ini supaya jauh dari kecurigaan. Justru, jika kasus seperti ini pelakunya adalah tiga orang yang berbeda akan lebih sulit dipecahkan.



***



Aku menemukan diriku duduk di ruang dingin dengan wangi bunga tujuh warna atau apapun itu yang menyengat dan membuat kepalaku pusing. Entah sudah berapa kali aku masuk ruangan ini, yang jelas frekuensiku datang ke ruangan ini jauh lebih sedikit dari Rosa.

Lukisan lukisan abstrak yang lebih abstrak dari nol dibagi nol memenuhi dinding. Aku masih tidak mengerti mengapa Kakek menyukai lukisan tidak jelas dengan dominasi hitam dan merah itu, tapi yang jelas ruangan ini lebih cocok menjadi rumah paranormal daripada kantor seorang pengusaha besar seperti kakek.


Seakan tidak terpengaruh dengan suasana asing ruangan ini, Rosa sedang menerima telepon dari rekanan bisnisnya. Sedangkan aku duduk mengandai-andai apa yang harus dilakukan di ruang alien ini, yang jelas berusaha mengapresiasi lukisan di dinding ini untuk menghabiskan waktu luang jelas bukan ide yang bagus.


Aku mencoba melihat ponselku siapa tahu aku melewatkan e-mail atau pesan pendek masuk. Tapi nihil. Setidaknya aku sudah mengirim info-info yang kudapatkan kepada Remi termasuk kemungkinan dia akan menjadi target dari serangan yang belum diketahui tuannya. Dia pasti segera menghubungiku kalau dia sudah mengenggam ponselnya,


Sementara Eve juga menunggu dengan tenang. Karena aku benar-benar kehabisan ide untuk melewatkan waktu menunggu kakek yang entah sedang apa, mungkin berbincang dengan Eve bisa menjadi alternatif.

Sebenarnya aku punya ide lain selain berbicara dengan Eve, tapi tentu saja bermain tetris tidak lebih baik dari berbincang dengan manusia sungguhan.


"Bagaimana dengan kabarmu belakangan ini, Eve?"

"...Saya rasa tidak begitu buruk. Bagaimana dengan Tuan Al?"

"Kalau aku tidak menghitung Mimpi buruk malam tadi, Jim yang tiba-tiba meninggal dan mendapatkan informasi buruk... aku kira hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan,"

"Hm... Saya juga merasa terkejut dengan kejadian ini,"

"Dipikir-pikir kenapa kau memanggilku 'Tuan'? Aku kira kau lebih tua dariku, sepertinya tidak cocok saja,"

"Apa Tuan memiliki panggilan lain yang diinginkan?"



Aku kira memanggilku Al sudah cukup. Lagipula secara teknis posisi kita tidak jauh beda, kalau dibuat hierarki kau dan aku tepat di bawah posisi Rosa.

"Aku kira kau suka aroma dan panggilan superior seperti Tuan. Ternyata kau memang lebih suka merendahkan posisi tinggi yang sudah kuberikan," Rosa yang sudah selesai dengan teleponnya segera bergabung dalam pembicaraan.


Sementara aku memikirkan kalimat untuk membalas komentar Rosa. Pintu besar yang menyambungkan dengan ruangan ini dengan Ruangan Pribadi kakek terbuka. Seorang pemuda dengan setelan baju putih membuka pintu tersebut dan memberikan isyarat masuk.


Tanpa banyak berkomentar, Rosa segera berdiri dan Eve mengikutinya. Karena sepertinya aku juga ikut andil dalam pertemuan ini aku berdiri dan mengikuti dari belakang.


Kakek masih terlihat segar bugar seperti biasa. Sepertinya rumor kalau general medical check-up nya berakhir dengan buruk hanyalah isapan jempol belaka. Orang tua ini masih duduk dengan tegap dengan wajah sangar seperti bodyguard yang tidak takut melawan preman pasar.


"Duduk,"

Suaranya yang datar itu terdengar sangat berat dan penuh sensasi menekan. Aku segera duduk seperti yang diperintahkan.


"Cucu sialan, di mana kau siang ini?"

Kalau kakek memanggil cucu sialan, artinya dia memanggilku.

"Ada urusan," jawabku singkat, menghindari pertanyaan tambahan.

Kakek hanya menghela nafas dan sepertinya juga tidak tertarik dengan keabsenan ku siang ini.


"Hari ini aku perkenalkan kalian dengan Spiritual Attendant baru, Saudara Andi,"


"Aku kira kita akan membicarakan masalah Jim," kataku dengan nada sinis. Orang tua ini memilih untuk menyelamatkan bokongnya dulu daripada memberi bela sungkawa dan kompensasi kepada keluarga yang ditinggalkan.

"Masalah itu urusan belakangan, memilih Spiritual Attendant selanjutnya adalah prioritas utama. Saudara Andi perkenalkan diri anda,"

"Saya Andi. Adik kandung Jim," Andi mengulurkan tangannya


Andi mengulurkan tangannya padaku dan Rosa. Aku menyambutnya dengan sedikit berat hati. Sedangkan Rosa sama sekali tidak peduli meski pria ini menggantungkan tangannya di udara di depan matanya.


"Untuk seseorang yang baru kehilangan kakaknya, kau terlihat bahagia," kata Rosa sinis.

"Tentu saja, bisa menggantikan kakak tidak berguna yang membiarkan dirinya mati, dan melayani keluarga besar Suryohadikusumo tentu saja menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya. Nona juga tidak ingin dilindungi oleh orang lemah dan menjadi merasa tidak aman, kan?"

Lupakan, aku rasa otak orang ini sudah rusak. Aku tidak tahu mulai dari bagian mana yang harus dibenarkan dari kalimatnya.

Andi mencoba meraih tangan Rosa, tapi Eve dengan sigap menghalangi.

"Apa anda tidak mengerti kalau Nona Rosa tidak ingin berjabat tangan dengan Anda?"

"Oho~ Rupanya meski terlihat tenang, anjing anda cukup ganas juga,"

Orang bernama Andi ini terlihat semakin senang. Dia benar-benar orang yang menyebalkan.



***

Rosa frustasi.

Ini pertama kalinya aku melihat dia berjalan dengan terburu-buru dengan nafas tidak teratur. Wajahnya terlihat tidak nyaman seakan-akan dia akan marah kepada siapa saja tanpa pandang bulu.

Tentu saja dia akan marah. Salah satu cabang Suryohadikusumo Group yang dia kelola dengan susah payah diberikan begitu saja kepada Andi. Kakek tidak pernah sepercaya ini kepada orang yang baru saja dia kenal. Orang bernama Andi ini menerima perlakuan yang terlalu eksklusif untuk seorang Spiritual Attendant.


Ini pertama kalinya aku melihat Kakek mengambil keputusan tak berdasar seperti ini.

Aku dan Eve mengikutinya dari belakang. Tidak ada pilihan lain karena kami semua berangkat dan pulang dengan kendaraan yang sama.

Saat aku kira semua akan berjalan seperti ini terus sampai ke tempat parkir, Rosa berhenti beberapa meter sebelum mencapai tujuan.


BUK!!

Suara keras itu datang dari tumbukan antara kepalan tangan Rosa dan tembok beton. Dia memukulkan kepalannya sekuat tenaga seakan kepalan itu bukan bagian dari tubuhnya.

"ROSA!"


Aku baru bereaksi setelah pukulannya yang kedua, dia terlihat tidak akan berhenti kalau tidak dihalangi.

Eve seorang perempuan, dia bisa dengan leluasa mengunci gerakan Rosa daripada aku. Sementara Eve menarik Rosa menjauh dari tembok beton yang bisa menerima gaya lebih dari 100 kilo Newton per sentimeter persegi, aku menghalangi pukulan terakhirnya.

"Rosa! Tenanglah!" Aku berteriak, karena sepertinya hanya teriakan yang akan sampai ke telinganya.

"DIAM! DIAM!"

"Nona!" Eve juga ikut mempererat kunciannya. Rosa masih berusaha meronta.

Aku yang berhasil mengamankan tangannya mencoba melihat kondisi punggung telapak tangannya, terlihat merah dan sedikit lecet. Tangannya bergetar dan terlihat terasa sakit. Aku berusaha membiarkan darah bersirkulasi di daerah tersebut melakukan penutupan luka dalam.


"Pada akhirnya kakek sama seperti Ayah dan ibu... Sekarang dia menemukan pengganti yang lebih sempurna, dia melupakan semua kerja kerasku,"

Rosa melihat ke arahku dan Eve dengan pandangan muak dan senyum sinis.

Gadis ini... Dia terselimuti oleh pikiran-pikiran negatif sampai-sampai hanya kemungkinan terburuk yang ada di depan matanya.


"Tidak benar!! Kakek cuma--"

"Nona!" Eve memotong kalimatku.

Eve yang tidak pernah terlihat kehilangan kesabarannya menaruh kedua tangannya di pipi Rosa. Seakan bersiap untuk berteriak tepat di depan mukanya.

"Dengar! Tuan Djoyo tidak pernah mengatakan kalau anda tidak dibutuhkan lagi!! Buang rasa paranoid anda! Tidak ada yang berniat mengkhianati anda! Tuan Al, Saya dan Tuan Djoyo tidak akan mengkhianati anda,"

Rosa yang terkejut dengan tingkah Eve hanya memandang mata Eve seperti anak yang baru saja dimarahi ibunya.

Tapi semua itu berubah dalam detik berikutnya,


"...Meski aku melakukan ini?"

Rosa seakan baru kembali ke persona aslinya. Matanya datar memandang Eve yang kesakitan. Perlu beberapa detik untuk mencerna kejadian ini. Tapi tidak begitu sulit saat melihat tangan kanan Rosa yang memegang sebilah pisau lipat ternoda darah.

"Eve!"

Eve berusaha berdiri meski menahan rasa sakit. Lengan kanannya terdapat luka sayat yang cukup dalam dan darah segar berlomba keluar dari sayatan tersebut.


"Ka-kau! Kau sudah gila, ya?!" kataku berteriak pada Rosa.

Rosa hanya memandang kami dengan mata dingin.


"Perlu luka lebih dari ini untuk membuktikan kesetiaan saya pada Nona,"

Rosa tersenyum menang. Dia terlihat lebih bahagia dari kucing di surga penuh ikan asin.

Sementara aku memandang mereka dengan penuh kebingungan. Rosa membantu Eve yang hampir terjatuh. Dan pemandangan selanjutnya yang benar-benar membuatku tidak habis pikir, Rosa menghisap darah di lengan Eve seakan-akan dia seperti vampire yang haus darah.

Darah Eve yang menempel di bibir Rosa membuatku merinding seakan-akan Rosa baru saja menghisap darah gadis pucat berambut pendek ini.



"Kalau darahmu memiliki rasa, itu adalah pengabdian,"


Aku hanya diam saja dan menghiraukan dua orang yang tidak jelas kewarasannya ini.


***


Sementara di salah sudut kota, Bagiyo Sarjono menikmati dosis kafein hariannya. Tidak ada yang lebih dia sukai daripada aroma kopi tubruk yang diraciknya sendiri. Komposisi yang tepat dan panas yang pas adalah kunci dari kenikmatan sebuah kopi.


Seperti biasa dia meluangkan waktu untuk melihat beberapa berita tentang kota Sentral.


Tidak ada yang tidak mengenal Bagiyo Sarjono. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat kota Sentral yang sudah menjabat tiga periode berturut-turut. Suatu jabatan yang berarti dia sudah mendapat kepercayaan rakyat Sentral. Tapi tentu saja semua itu hanya terlihat diatas kertas belaka.

Dia orang yang berani melakukan penculikan, pemerasan dan segala cara picik untuk mengamankan posisi ketua Dewan. Walikota tidak berani kepada orang ini. Secara halus, tidak ada orang yang berani kepada orang tua berkepala enam ini. Sentral mungkin memiliki banyak partai, tapi semua kendali berada dalam genggaman tangannya. Beberapa kaum minoritas sering membelot kepadanya, tapi itu semua hanya seperti bintil kecil yang bahkan tidak terasa gatal.


"Belakangan ini Sentral seperti menjadi sarang berita pembunuhan yang dilakukan maniak tidak waras,"

Dia mengatakan ini dengan sungguh-sungguh. Melihat salah satu warga Sentral yang mati karena kepalanya diledakkan dengan bom bukan berita biasa.

Teleponnya berdering.

Seorang yang ingin mencalonkan diri menjadi walikota untuk periode selanjutnya. Sebagai salah satu petinggi kader Partai Merah, dia adalah orang pertama yang dihubungi orang-orang yang menginginkan kursi walikota. Tanpa izin darinya, tidak ada seorang pun yang bisa mengajukan diri melalui partai mana pun.

Aneh, meski dia kader partai merah, dia punya kekuatan untuk mengedalikan partai-partai lainnya.


Tentu saja uang yang berbicara. Berapa uang yang berani dipertaruhkan untuk ajang ini. Saat Bagiyo menyebutkan nominal Lima Miliar IDR, orang tersebut menyanggupinya.


Bagiyo menutup teleponnya.


"Panggung pemilihan Walikota Sentral, sudah dimulai..."


***


WWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWWw

dan sepertinya saya masih belum bisa menyelesaikan gambar illustrasi karakter, Mungkin saat masuk dan saya bisa pakai scanner di office

2 komentar:

Zetsudou Sougi mengatakan...

oke
jelas lebih kompleks dari days dan jump
sayangnya kalau anda tidak bikin bagan seperti silsilah keuarga ushiromiya, tidak akan ada yg paham dengan banyaknya tokoh disini

Franz Budi mengatakan...

Bener juga. Saya coba bikin silsilah keluarganya. Dan mungkin map untuk peta daerah :???: