Tanpa basa-basi, update untuk chapter 07 Days : Witchcraft
DAYS : Witchcraft
Chapter 07
A Day <-> Without Hero
"Di mana Al?"
Rosa merasa ada sesuatu yang ganjil di meja makan. Keabsenan kakeknya mungkin bisa ditolerir tapi sepupunya yang selalu bangun kesiangan sambil mengeluh kali ini juga tidak hadir.
"Mobilnya juga tidak ada, sepertinya pagi-pagi sekali Tuan Al sudah keluar,"
"Untuk seorang yang pemalas, dia bisa juga bangun pagi,"
"Sepertinya Tuan Al juga sudah menyelesaikan laporan yang Nona minta," kata Eve sambil menyodorkan sebuah flashdisk.
Rosa menerimanya tanpa mengucap sepatah kata pun.
Hari minggu pagi yang terlihat cerah. Sajian di atas meja benar-benar menggoda selera makan. Pagi-pagi sekali para pembantu sudah menyiapkan sarapan mewah. Sudah menjadi tradisi di rumah ini untuk menyantap sarapan spesial setiap hari minggu . Memakan makanan-makanan ini sendirian jelas membuat Rosa sedikit sebal.
Untung saja, Eve hadir untuk sedikit meringankan emosi Rosa.
"Bagaimana dengan keadaan tanganmu?" tanya Rosa.
Meski terlihat tidak khawatir, Rosa tetap menanyakan keadaan Eve.
"Saya baik-baik saja," kata Eve, meski perban membalut lengannya.
Kemarin malam, berkat ketidakstabilan emosi Rosa, Eve harus menerima sabetan pisau lipat yang tidak memiliki alasan. Tapi Eve paham betul kalau Rosa hanya mengetes loyalitasnya kepada sang Nona.
Keputusan sang Kakek, Djoyo untuk memberikan perusahaan kecil yang susah payah dibangun Rosa kepada Andi membuat hati Rosa sedikit dongkol. Ini pertama kalinya kakek berbuat tidak adil padaku, pikir Rosa. Tapi setidaknya sedikit merasa bersalah karena melukai Eve.
"Maafkan aku,"
Rosa mengatakan ini tanpa memandang Eve. Dia sibuk menatap sarapannya, atau mungkin dia tidak ingin menatap Eve secara langsung. Walau Eve tidak mengatakan secara langsung bahwa dia sudah memaafkan Rosa, Rosa yakin Eve akan memaafkannya. Hubungan kompleks dua gadis ini tidak akan hancur begitu saja hanya karena sebuah luka.
"Eve, malam ini tolong habisi Andi,"
Kalimat tersebut diucapkan dengan entengnya oleh Rosa. Di antara suasana sarapan pagi yang damai, kalimat tersebut keluar dengan mudahnya. Rosa tidak main-main. Seseorang yang bahkan bukan anggota keluarganya merebut posisinya. Tidak ada ampun.
"Baik Nona,"
Eve menyanggupi permintaan Rosa dengan mudah. Kalau Sang Nona memerintahkannya untuk terjun ke jurang pun dia akan sanggupi.
***
Heru Redgriff menikmati kopi paginya. Meski jam masih menunjukkan pukul 7 tepat, dia sudah berada di markas pagi-pagi sekali. Hanya beberapa orang yang terlihat di markas besar Geng Kapak.
Sosok tubuh gadis dengan rambut indah panjang muncul membawakan koran pagi.
Dia terlihat murung dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Fera Gunawan adalah anggota geng Kapak wanita yang memiliki posisi tertinggi. Bukan karena kemampuan berkelahinya, tapi kemampuannya dalam bernegosiasi. Dia adalah tangan kanan Heru yang terpercaya. Selain itu, berkat formulir kontes kecantikan kota Sentral yang secara egois dikirimkan oleh Heru, Fera dinobatkan sebagai gadis dengan paras tercantik dengan otak yang berisi.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Fera Gunawan hanyalah nama alias.
Fera adalah putri ke tiga dari keluarga Aristokrates. Dia seperti puteri yang terperangkap dalam sebuah menara. Suatu saat bosan dengan segala kemewahan dan fasilitas yang diberikan oleh ayahnya. Dia mungkin hidup nyaman dan berkecukupan. Tapi kebahagiaan tidak pernah berada di hatinya. Di Geng Kapak Fera menemukan jawaban yang dicari. Sampai-sampai dia rela menanggalkan nama Aristokrates.
Tapi, tidak lama sejak dia kehilangan segala alasan dia tinggal di geng Kapak. Fera terlihat sangat murung. Kehilangan Franz Budi membuat Fera terlihat seperti prajurit yang kehilangan seluruh teman seperjuangannya.
Heru yang sudah menganggap Fera sebagai adiknya sendiri tidak bisa ingin diam. Namun, usahanya untuk meringankan rasa sedih Fera tidak pernah berbuah manis.
"Fer-"
"Ketua," sela Fera cepat.
"Ada apa?"
"Mungkin hari ini adalah hari terakhirku di Geng Kapak,"
"Fera... Aku tahu kalau kau benar-benar merasa kehilangan Franz-"
"Tolong jangan ungkit nama Budi lagi,"
Heru terdiam dengan sikap Fera. Franz adalah segalanya bagi Fera. Heru tahu betul tentang hal tersebut. Tapi kalau Fera sampai mengundurkan diri dari geng Kapak yang kondisinya semakin lama semakim memburuk, moral para anggota bisa turun.
"Apa yang bisa kulakukan untuk mu supaya kau bisa tetap berada di tempat ini?" kata Heru mencoba tenang.
"Tidak ada,"
"Ayolah... Pasti ad-"
"Tidak ada, Ketua. Ibu siap menerima diriku kembali ke keluarga Aristokrates. Selain itu, kalau aku terus berada di sini..."
Fera terdiam sejenak. Memandang foto meja yang berada di dekatnya. Foto yang dulunya membawa senyuman berubah menjadi kenangan dan pengingat yang menyakitkan.
"...aku tidak akan bisa bangkit dari keterpurukan ini," jawab Fera perlahan.
Fera berusaha membuat Heru mengerti bahwa keputusan yang dibuatnya adalah final.
Mengutuk ketidakmampuannya menghadapi seorang gadis yang sedang patah hati, Heru hanya diam saja tenggelam di suasana diam yang canggung.
***
Subagyo Sarjono, hari ini dia pergi bersama dengan beberapa pejabat daerah menuju sebuah panti asuhan yang berdiri di tengah-tengah kota Sentral. Panti asuhan tersebut cukup besar namun berada di dalam gang kecil. Bahkan penduduk Sentral sendiri terkadang tidak tahu kalau ditanya lokasi tepat panti asuhan ini.
Dan sangat sedikit yang mengetahui bahwa panti asuhan ini didirikan oleh Al Suryohadikusumo. Bahkan Subagyo sendiri tidak tahu pendiri panti asuhan ini, yang akan dihadapinya sebagai representatif dari panti asuhan adalah seorang pemuka agama di daerah tersebut.
Subagyo Sarjono sudah jauh-jauh hari mempersiapkan untuk acara ini. Dia mengundang wartawan lokal, mendatangkan penjabat tingkat provinsi dan mempersiapkan segala penunjang yang dibutuhkan.
Acara berjalan lancar tanpa halangan. Anak-anak dan beberapa penghuni panti yang bukan anak-anak pun cukup antusias. Acara yang cukup sukses.
"Saya mendapat info kalau opini tentang penyimpangan dana anggaran kota Sentral akan diterbitkan di koran Sentral News besok," kata salah satu bawahan Subagyo di tengah-tengah acara.
Subagyo terlihat tidak gentar sedikit pun. Bahkan dia seakan menganggap remeh berita barusan. Tapi dia cukup penasaran dengan manusia yang berani menulis opini buruk kepada pemerintah kota Sentral. Yang jelas, orang yang menulis opini itu sudah tidak sayang nyawa.
"Biar nanti aku bicara dengan yang punya koran Sentral News supaya kolom opini itu diganti. Besok, kolom opini itu akan digantikan dengan berita acara amal ini.
Kau tahu siapa yang menulis kolom opini tersebut?" tanya Subagyo sedikit penasaran.
"Ditulis dengan atas nama Agus Budiman. Saya tidak yakin nama ini asli, karena alamat yang digunakan dan nomor kontaknya palsu,"
"Agus Budiman..." Subagyo berusaha membongkar ingatannya.
***
Saat seluruh pejabat itu pergi, dari arah belakang panggung muncul Al Suryohadikusumo. Sepertinya dari awal seremonial sampai selesai dia mengikutinya secara penuh. Hanya saja dia punya alasan tertentu untuk tidak menampakkan wajahnya di depan petinggi-petinggi pemerintah kota dan provinsi.
Kalau sampai mereka tahu yang mengendalikan panti ini adalah seseorang dari Suryohadikusumo, mereka hanya akan mengubah panti ini menjadi ladang keuntungan. Dan itu hal terakhir yang tidak ingin Al alami.
"Guru,"
Al menghampiri seorang kakek tua yang menjadi representatif panti asuhan tersebut. Raut wajahnya menunjukkan kearifan dan pengalaman yang luas. Kakek tua itu memang bukan sembarang orang tua, dia terkenal sebagai pemuka agama di daerah tersebut. Al menundukkan kepala dan menjunjungnya sebagai Guru.
"Al, sudah dari tadi?" kata sang Guru lembut.
"Dari awal. Tapi saya ada di belakang,"
"Apa yang akan kau lakukan dengan uang ini," kata sang Guru mengacungkan amplop tebal.
Al dengan wajah seriusnya menatap amplop berisi uang tunai yang tadi di serahkan langsung oleh Subagyo Sarjono.
"Bakar. Kita tidak perlu donasi dari para koruptor itu," kata Al dingin.
"Kita tidak ingin darah anak-anak para calon pemimpin Sentral ternodai dengan uang haram," kata sang Guru menambahkan.
Tidak ada keraguan sedikitpun. Uang tersebut perlahan berubah menjadi abu bersama dengan properti-properti acara yang ikut terbakar.
"Kau terlihat lelah,"
"Mimpi burukku terus saja berlanjut. Aku heran bagaimana mimpi-mimpi itu terus saja terasa seram. Aku kira aku sudah berada di ambang batas kekebalan dengan mimpi buruk. Apa Guru tidak bisa lakukan sesuatu?"
"Sudah kubilang, aku bukan orang yang punya kapasitas untuk melakukan itu. Aku mungkin bisa mengusir setan dan iblis, atau menangani kesurupan. Tapi santet dan kutukan itu berbeda. Dia tidak akan sembuh kecuali kau cabut akarnya,"
Guru Al mungkin seseorang yang bijaksana dan berpengalaman, selain itu dia seorang yang taat beragama. Tapi masalah supernatural itu diluar kemampuannya. Hanya orang-orang yang terus berkecimpung di dunia spiritual yang paham betul mekanisme kerjanya.
"Aku hanya bisa memberimu kata dan kalimat.
Sabar, dan jangan pernah menjual dirimu kepada iblis. Tuhan menyelamatkan hambanya yang berserah diri,"
"Ya Guru... Ngomong-omong, temanku merekomendasikan ku pengobatan alternatif,"
Al mengeluarkan kertas pemberian Remi.
"...Tidak ada salahnya di coba. Tapi segera behenti kalau ternyata pengobatan ini menggunakan bantuan iblis.
...dan kau mengingatkan ku tentang suatu hal,"
Sang Guru menarik sesuatu dari kantung bajunya. Dua buah peluru kaliber .44 magnum.
"Peluru suci ini butuh waktu lama untuk membuatnya. Pergunakan dengan bijaksana dan tepat sasaran... bukan untuk membunuh manusia, tapi untuk menyelamatkan. Bukan untuk melukai tapi untuk mengobati,"
"Terimakasih, Guru," jawab Al penuh kemantapan.
Peluru ini adalah peluru yang bermandikan kalimat-kalimat suci. Mungkin Al memiliki revolver terkuat, namun tanpa peluru ini semua menjadi sia-sia. Peluru ini yang akan menggulingkan Subagyo Sarjono.
***
7000 meter dari lokasi Al sekarang, beberapa orang berkumpul di sebuah ruangan yang cukup redup.
Persaudaraan Syurga bukan sekte pemuja setan atau sekte belakang layar yang penuh konspirasi. Setidaknya itu yang terlihat di masyarakat sekarang. Perlahan mereka mulai mendapatkan perhatian tentang keberadaan mereka. Ajarannya yang simpatik yang membuat mereka dapat melebarkan sayap keanggotaannya.
Kali ini yang berkumpul bukan sembarang anggota dari Persaudaraan Syurga, pemimpin tertinggi hadir memimpin rapat dengan tingkat kerahasiaan dan urgensi tinggi.
Tiga kursi, Satu meja bundar. Agus Budiman berdiri di depan ketiga orang tersebut memimpin rapat.
"Selamat siang, saudara-saudaraku, Mari kita mulai rapat hari ini,"
Agus memulai dengan nada tegas dan tak ada keraguan sedikit pun. Remote LCD di tangannya menavigasi proyektor dengan lincah.
"Dimulai dengan laporan 'pembersihan' keluarga Aristokrates. Keluarga Aristokrates adalah salah satu keluarga besar yang hidup di kota ini. Bisnis-bisnis mereka cukup luas, dari perusahaan kontraktor sampai restoran. Tapi yang menjadi alasan kita 'membersihkannya' adalah..."
Slide proyektor di layar berganti dengan gambar meja Roulette yang terkenal digunakan sebagai alat perjudian.
"Perjudian. Mereka meraup untuk tahunan sekitar 4.3 Miliar dari usaha perjudian ini. Sayangnya usaha ini mereka lakukan dengan membuat rumah judi-rumah judi kecil sehingga sangat sulit untuk diberantas.
Setelah 'pembersihan total' 2 bulan yang lalu, bisnis perjudian keluarga Aristokrates menurun secara drastis. Beberapa rumah judi masih eksis, namun bisa ditangani oleh saudara-saudara kita di tingkat Ranting"
Agus berhenti sebentar, menunggu pertanyaan di ajukan.
"Agus, saya berterimakasih dengan usaha keras mu di 'pembersihan' ini,"
Seorang yang wajahnya masih terlihat muda, rambutnya hitam berantakan, namun dengan wajah berkharisma. Meski terlihat sangat muda, seluruh orang di ruangan itu tunduk kepadanya.
"Terimakasih Ketua. Keluarga Aristokrates benar-benar tantangan yang sulit untuk dihancurkan. Sampai-sampai berdampak pada keabsenan Divisi Pembersihan selama 2 bulan.
Rega, Vega dan Helga... Spiritual Attendant yang harus dilewati sebelum melakukan 'pembersihan' ini tidak bisa dianggap enteng. Fia dan saya harus dirawat selama satu setengah bulan.
...dan meski begitu sampai saat ini kami hanya mampu 'membersihkan' 4 orang. 3 Spiritual Attendant dan kepala keluarga Lucardo Aristokrates. Anak-anak serta Istri Lucardo Aristokrates sampai sekarang masih hidup dan melanjutkan usaha."
Sang ketua hanya menampakkan wajah sedih. Yang membuatnya kecewa adalah pembersihan ini memakan begitu banyak korban dari pihaknya.
Agus yang menyadari bahwa Proyek ini tidak sepenuhnya berhasil, dia segera melanjutkan agar Ketua tidak terus meratapinya.
"Kali ini kita akan memasang target, siapa-siapa saja yang harus 'dibersihkan'.
Prioritas utama kami adalah menggulingkan Subagyo Sarjono, tapi dengan kondisi saat ini kita masih belum mampu menggulingkan kekuasaannya. Beberapa kelompok yang perlu kita basmi adalah,
Pertama, Keluarga Suryohadikusumo dengan Suryohadikusumo Group. Mereka bergerak di berbagai macam bidang, salah satu yang terbesar adalah Perusahaan Mega.
Suryohadikusumo dikenal sebagai salah satu keluarga besar yang pro Subagyo Sarjono.
Meski Perusahaan Mega bermain cukup bersih dalam menjalankan bisnisnya, beberapa usaha lain dari Suryohadikusumo Group bermain licik dan banyak melanggar aturan-aturan yang berlaku.Yang menjadi masalah adalah perusahaan kontraktor Suryohadikusumo yang memonopoli pekerjaan-pekerjaan pembangunan di Sentral. Dalam cacatan kami, mereka melakukan 39 penyuapan besar, 13 penculikan dan 1 pembunuhan dalam dua tahun terakhir.
Kedua, Keluarga Sabit. Mereka cukup simpatik di mata masyarakat dan tidak terlibat dengan kasus-kasus korupsi di Sentral. Usaha mereka mayoritas berada di luar sentral. Usaha terbesar mereka adalah perkebunan dan persawahan.
Namun ada indikasi bahwa beberapa bulan terakhir Obat-obatan terlarang yang beredar di Sentral baru-baru ini adalah usaha gelap Keluarga Sabit. Tim kami menemukan beberapa tumbuhan-tumbuhan bahan baku obat-obatan terlarang di beberapa perkebunan mereka.
Ketiga, Geng Kapak. Namun ini perlu dievaluasi kembali. Setelah konflik internal di kubu mereka sendiri, usaha mereka hanya berkisar pada bodyguarding. Sebelumnya mereka adalah eksekutor-eksekutor lapangan yang melakukan pekerjaan kotor untuk siapa pun yang membayar,"
"Lalu bagaimana dengan kasus pembunuhan Jim dari Suryohadikusumo dan Franz Budi dari Geng Kapak?"
"Perlu diketahui bahwa Jim memang ditangani oleh Fia. Saya meyakini bahwa pria bernama Jim ini akan menjadi ancaman besar untuk kita-"
"Menurut intuisimu? Sama seperti saat kau menghancurkan tangan kiri seorang gadis tak berdosa?" salah satu suara sinis menyuarakan opininya.
"Semua sudah dalam perhitungan," kata Agus percaya diri. Membungkam opini yang menyudutkannya.
Agus punya alasan kuat kenapa dia bersikeras menyingkirkan Jim. Itu sudah cukup untuk meyakinkan Ketua. Karena sang Ketua sangat percaya pada rasa keadilan Agus.
"Serangan peringatan memang kami kirimkan ke Keluarga Sabit. Tapi kami tidak tahu menahu tentang Franz Budi. Geng Kapak sudah berada dalam jalur hijau di checklist kami." lanjut Agus
Sang Ketua hanya terdiam, ada orang lain yang memanfaatkan kekacauan-kekacauan yang mereka buat untuk keuntungannya sendiri.
***
Andi dengan percaya diri duduk di kursi Djoyo.
"Malam ini, habisi Andi,"
Andi memutar fitur perekam suara yang ada di ponselnya. Dia terlihat seperti seorang jaksa yang baru saja menemukan bukti terkuat yang menghancurkan terdakwa.
Djoyo hanya diam saja mendengar rekaman itu. Dia sudah tahu dari sejak lama bahwa cucu perempuannya tidak main-main kalau seseorang sudah masuk daftar orang yang tidak disukai.
"Aku akan bicara dengan Rosa,"
Sebuah gestur dari Djoyo berusaha meyakinkan Andi kalau malam ini dia bisa bertugas dengan aman dan nyaman tanpa gangguan dari dalam.
***
"Se-selamat sore, benar ini rumah Al?"
Eve menengok ke arah Rosa yang masih memandang serius laptopnya. Kamera pengawas yang berada di depan Eve menampakkan sosok Remi yang berdiri di depan pintu gerbang.
"Seorang perempuan cantik dengan jaket dan rok panjang mencari Tuan Al,"
Seketika itu juga Rosa berhenti dan menyuruh Eve mempersilahkan Remi masuk.
"Se-selamat sore,"
Remi sedikit canggung. Ini pertama kalinya dia masuk rumah mewah selain rumah keluarga Sabit Wijaya. Saat pintu utama dibuka, seorang gadis berambut pendek menyambut kedatangannya.
"Selamat sore, Nona. Nama saya Eve, perkenankan saya mengantar anda ke ruang tamu,"
Remi kaget dengan penerimaan tamu yang megah seperti ini. Keluarga Sabit tidak pernah menerima tamunya dengan cara seperti ini. Benar-benar sesuatu yang unik dan baru bagi Remi. Saking canggungnya, dia sampai diam saja tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
"Selamat datang di rumah kami, Nona..."
"A-eh Remi! Remi Cokrowinata,"
"Nona Remi Cokrowinata. Saya Rosa, kepala keluarga Suryohadikusumo... calon,"
"Hee!! Jadi kakak yang bernama Rosa!"
Kakak? Rosa tergelitik dengan panggilan tersebut. Tapi dia memutuskan untuk menghiraukan detail kecil.
"Silahkan duduk Nona Remi,"
"Er... Panggil saya Remi saja,"
"Baiklah, kalau begitu aku juga tidak ingin menjadi terlalu formal. Kau boleh memanggilku Rosa," kata Rosa sambil tersenyum dan menjabat tangan Remi.
"Jadi ada urusan apa, Remi?"
"A-aku ingin bertemu dengan Al,"
"Sebelumnya aku ingin bertanya. Apa hubunganmu dengan sepupuku?"
"Eh, saya cuma teman sebaya,"
"Teman? Hanya itu?"
"Tentu saja,"
"Kukira sejak kapan Al mendapatkan pacar semanis dirimu. Ternyata cuma teman,"
Remi sedikit tersipu dengan pujian Rosa. Tapi dia berusaha tetap menjaga kepercayaan dirinya.
"Apa pesan ini bersifat pribadi? Sampai-sampai kau tidak bisa mengatakannya padaku sebagai sesama seorang wanita?" kata Rosa memancing.
"Eh-uh... Tidak juga,"
"Kalau begitu kau bisa menceritakannya padaku?"
Remi sedikit ragu-ragu. Dia menatap Rosa yang dengan percaya diri duduk dengan anggunnya dan Eve yang berdiri di sebelah Rosa seakan dia adalah tiang rumah.
"Jangan khawatirkan Eve. Anggap saja dia seperti vas bunga,"
"Se-sebenarnya, aku hanya ingin minta pendapat teman sebayaku. Karena temanku di Sentral cuma Raisen dan Al -"
"Potong bagian itu. Langsung ke intinya saja,"
Remi berpikir sejenak. Mungkin memang lebih tepat bertanya ke Rosa daripada secara acak bertanya pada Al.
"A-aku dijodohkan secara paksa oleh Ayah,"
Suasana senyap menyelimuti mereka berdua
"Ahahahaha! Kau jauh-jauh datang kemari cuma ingin membicarakan ini?!"
"Eeh~ Habis aku sendiri tidak punya teman lain untuk diajak diskusi..."
"Well, now you have. Daripada kau membicarakan masalah seperti ini pada Al, kau bisa mengandalkanku. Kakek sering menyuruhku cepat menikah dan menawarkan selusin pria. Tapi seperti yang kau lihat, sekarang aku masih gadis single yang senang dengan pekerjaaannya."
"He..."
"Kau bilang Cokrowinata, ya? Kalau tidak salah keluargamu punya hubungan dekat dengan keluarga Sabit Wijaya, kan? Sepertinya keluargamu juga cukup berada. Wajar kalau orang tuamu menjodohkanmu dengan pria pilihan mereka. Mereka tidak ingin putrinya seenaknya saja menikah atas dasar keabstrakan membutakan yang orang-orang sebut dengan cinta,"
"Ta-tapi"
"Tapi kau tetap punya hak untuk menolak, kan? Aku juga tidak ingin menikahi pria yang tidak jelas bibit, bebet dan bobotnya,"
"Masalahnya, aku tidak enak hati menolak pria pilihan ayah. Aku juga belum merasa siap..."
"Besok ada pesta di kediaman Aristokrates. Keluargamu ikut acara itu, kan?"
"I-iya. Dan sepertinya malam itu aku akan dikenalkan dengan calon jodohku,"
"Perfect. Sempurna. Aku bisa mengajarimu satu atau dua hal tentang menghancurkan harapan pria yang besok akan duduk di depanmu,"
"Eeh..."
Rosa mengembangkan senyum yang lebar. Eve hanya bisa menghela nafas. Tuan putrinya telah menemukan mainan baru.
***
Raisen tidak percaya dengan apa saja yang baru saja dia dengar. Tidak menyangka, pertanyaan tak terjawab selama dua tahun selesai hanya dalam 20 menit.
Raisen patut banggan kepada dirinya sendiri. Persiapan selama satu tahun lebih menyadap tempat berkumpul bulanan Persaudaraan Syurga akhirnya berbuah hasil.
Agus Budiman, Ayah Al yang dinyatakan hilang di Malam Berdarah 2009 menjadi salah satu petinggi di persaudaraan Syurga.
Pelaku pembunuhan massal keluarga Aristokrates adalah Agus Budiman dan seorang gadis bernama Fia. Selain itu gadis Fia ini juga yang mencabut nyawa Jim, Spiritual Attendant dari Suryohadikusumo.
Sepertinya, mereka diketuai oleh seorang politisi muda yang belum diketahui wajah dan identitasnya.
Dengan banjir informasi tak terduga ini, dada Raisen berdegup kencang. Dia merasakan sebuah kepuasan dan rasa superior tiada tara.
Selain berbekal informasi yang barusan di dapat, dia juga memiliki ratusan informasi lain yang bersumber dari berbagai arah. Informasi adalah kekuatan. Mampu mengendalikannya artinya kekuatan yang sangat besar.
Pada saat seperti ini kebijakan mendistribusikan informasi kritikal semacam ini merupakan hal yang perlu di perhitungkan secara matang. Kepada siapa pun info ini akan diberikan, yang jelas keselamatan dan keuntungan harus berada di genggaman tangannya terlebih dahulu.
Besok adalah pesta tahunan di kediaman keluarga Aristokrates. Meski Lucardo Aristokrates telah tiada, sepertinya istri dan anak-anak perempuannya masih memiliki pengaruh besar di Sentral. Artinya, puluhan orang-orang berpengaruh akan datang dan tugas Raisen untuk memilih siapa yang berhak mendapat informasi ini.
Raisen mencoba sekuat tenaga untuk menahan tawa kemenangan.
***
Author Note ; Yeah just another boring day on Sentral. And no, Raisen wasn't making 'just as planned' face (lie)
6 komentar:
Sama sekali ga boring kok
>.<b
what's with your emoticon :panda:
btw ini editornya sapa?
ora ono editor, proofread sendiri :v
yappari
dibandingkan karya2 sebelumnya
yg ini banyak janggalnya
cari editor gih
well, i don't have people who want to read this. no srsly. saya sudah tawarkan juga belum berhasil.
sayangnya saya belum pake software yang buat manage. karena udah terlanjur.
Jadi kadang-kadang seminggu bisa baca dari chapter 01 itu dua kali.
Posting Komentar