Pertama biar saya tegaskan di sini. Saya gila idiot. Mempercayai bahwa Blogger bisa menelan mentah-mentah File txt saya yang sebesar 181 Kb (9 kali lipat dari updatean biasa saya)

Apa yang terjadi?

TOTAL LAG!

akhirnya saya ragequit dan memutuskan untuk rilis pdf nya saja. Besok. Karena warnet ini cuma bakal bikin saya rage kalau mencoba membuat pdf.


Karena saya sendiri udah nggak sabar ingin update setelah absen lama sekali biarkan saya menaruh teaser di sini.


***

Jadi biar saya ceritakan dulu kronologisnya. Tadinya cerita ini berkisah tentang Valentine dan entah kenapa akhirnya jadi bunkasai setelah melalui ratusan kali edit. Sampai-sampai part original tentang Valentine nya hilang.

Seperti yang anda mungkin sudah tebak, aslinya ini adalah short fic yang dulu akan saya rilis tanggal 14 Februari 2011.

Tidak ada mayat
Tidak ada plot membingungkan
Tidak ada konflik yang terlalu berat
Tidak ada drama
Tidak ada illustrasi (karena saya ga bisa gambar)

Short fic ini hanya berkisar tentang komedi happy-go-around-like-idiot dengan di selingi verbal sparring yang tidak begitu serius.


Dan dengan ini akhirnya saya menyelesaikan Side Project ini dalam kurun waktu 1 tahun.


Selanjutnya, saya akan melanjutkan Days : Witchcraft seperti biasa...


Side Note :

Saya sedang mengerjakan side project lagi. Dua buah fict ambisius yang dari dulu saya kerjakan : Days : Detective Note (yang pure mystery) dan Beyond the Sky Dust (Hot Blooded Humongous Mecha)

Kalau ada yang bersedia jadi editor atau bahkan join project, silahkan hubungi saya kapanpun.


***


Tanpa banyak cing cong


BTW INI BENER-BENER TL; PR (Too Long, but Please Read it anyway) Saya pecah penomoran biar gampang di search






Writer : Fallendevil

This Short Novel is brought to you by

Wedang Jahe Kalengan
Literature Club Room




E Class' Rhapsody ver 89247981246927649286572385th edition



#1

Aku bukan orang romantis.

Aku juga tidak percaya dengan namanya cinta pada pandangan pertama. Maaf saja plot seperti itu tidak eksis di dunia nyata. Mana ada orang yang memutuskan pasangan hidup dalam waktu 3 detik setelah bertemu dengan lawan jenisnya (jangan lupa efek angin lebay dan kilau cling-cling karena efek kamera). Plot yang terlalu banyak digunakan pada dongeng anak kecil seperti sebaiknya tidak terlalu dianggap serius. Jangan juga mendoktrin anak kecil dengan dongeng semacam itu. Mereka akan terlalu lama melayang dalam imajinasi untuk menemukan pangeran berkuda putih atau putri raja di puri penyihir sebelum menyadari dunia tidak berjalan seperti itu.

Semua orang pun pasti percaya, memilih pasangan hidup membutuhkan analisis matang, perhitungan matematis dan pemikiran panjang yang mempertimbangkan berbagai macam faktor, koefisien dan konstanta. Meski aku masih jauh dari fase memikirkan pasangan hidup, setidaknya aku sudah kepikiran dari sekarang. Jangan sampai aku tertipu dengan kover sebelum mengetahui isinya. Jadi bisa dibilang sekali lagi, tidak ada yang namanya Cinta Pada Pandangan Pertama.

Ya, tidak ada. Kecuali takdir yang ikut turun tangan.


"Yo! Ketua kelas!"

Bisakah berhenti memanggilku dengan sebutan konyol itu?! Dan jangan menyela monolog ku yang keren dengan sebutan penuh kutukan itu. Kau baru saja membuat perutku mulas.

"Oits, jangan marah, Ketua! Apa kau kekurangan kalsium? Mau kuambilkan kulit telur?"

Aku melemparkan pukulanku kepada Iwan. Dia hanya mundur selangkah untuk menghindar dari pukulan yang memang tidak kuberi kekuatan itu.


"Ini semua salah si Tua," Kataku sambil memegang dahi.

"Wahahahaha!! Aku tidak bisa berhenti tertawa saat si Tua itu memilihmu menjadi ketua kelas. Ini seperti menyuruh pembunuh berantai merawat bayi! Atau menyuruh presiden mencukur rambut. Atau menyuruh professor di CERN mengangkat karung beras, Wahahaha,"

"Diam! Si Tua itu tahu kalau aku tidak bisa menolak permintaannya! Sialan! Aku sudah tahu kalau aku sial, begitu aku melihat namanya di kolom wali kelas,"

"Su-sudahlah Ketua... Jalani saja!" Iwan menepuk pundakku keras-keras. Dia sepertinya menikmati kesialanku ini.


Aku sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Lagipula hutangku pada si Tua itu lebih besar daripada ini. Iwan! Berhentilah tertawa! Aku bersumpah kalau kau masih tertawa akan kujejali mulutmu dengan kaos kaki Guru Olahraga!



Bugh!


Pundak Iwan menyenggol pundak seorang murid. Walau aku tidak tahu namanya, kalau tidak salah dia anak kelas 2.

"Hiiiiy!!! Ma-maafkan saya!"

Iwan hanya menatapnya dengan pandangan sedikit sebal. Tapi kemudian dia menghiraukan bocah itu dan melanjutkan berjalan.




"Kenapa kau begitu takut dengan dua orang itu?" Teman bocah yang menabrak Iwan tadi, sepertinya bermaksud bertanya.

"Bodoh! Jangan keras-keras! Mereka anak kelas 3-E! Kelas Preman!"

Meski si bocah itu berkata jangan berkata keras-keras dia berkata dengan suara yang bisa membuat bayi simpanse terbangun.




"Hei! Kau barusan bilang apa?!" Kataku mendekati bocah itu.

"Maafkan kami!!"

Ah, mereka pergi.

"Tentu saja mereka pergi. Dengan wajahmu yang seperti itu, siapa yang tidak akan lari. Tapi sepertinya jiwa ketua kelasmu sudah tertempa! Kau bahkan marah mendengar kelasmu di ejek,"

Bukan itu! Kalau mereka bilang kelas kita kelas Preman aku tidak terima karena artinya mereka menghitungku sebagai Preman! Lagipula aku bukan preman.

"Sudahlah, biarkan saja. Kita bisa sakit kepala kalau menganggap perkataan seperti itu serius. Ayo kita segera kembali ke kelas," Kata Iwan menyeretku.



Tapi aku tidak bisa menyalahkan bocah itu. Di sekolah ini, ada rumor yang sangat terkenal. Jika dalam satu tahun pertama dan kedua kau terlalu banyak membuat kekacauan, terlalu banyak melakukan hal-hal yang membuat dirimu dipanggil ke ruang BP, Guru-guru akan memasukkanmu ke kelas E saat tingkat 3. Rumornya, hanya guru-guru expert yang akan di terjunkan ke kelas 3-E.

Tahun lalu, kakak kelas kami yang berada di kelas 3-E benar-benar membuat rumor tersebut semakin tidak terbantahkan. Kelas mereka kacau dan rata-rata kelas mereka sangat rendah. Bahkan sampai ada insiden Guru yang di opname gara-gara mereka. Dan yang paling parah, 2 murid dari kelas 3-E tidak lulus. Tahun kemarin adalah sejarah terburuk kelas 3-E yang pernah terjadi.

Kami sebagai adik kelas tak bersalah yang mendapatkan jatah kelas E akhirnya ikut terkena getahnya. Tapi begitulah dunia ini, aku tidak heran. Lagipula sebelum aku lahir pun sudah ada pepatah, Karena Nila Setitik, rusak susu sebelanga.

Bahkan sepertinya baru 2 hari masuk, seluruh sekolah sudah hafal wajah-wajah murid kelas 3-E. Memangnya kami buronan?! Sekarang aku paham dengan orang yang masuk DPO polisi, tidak ada tempat berlindung lagi di sekolah ini.




Saat kami hampir melewati pintu depan ruang guru, seakan-akan bulu kudukku serentak berdiri.

Tu-tunggu! Perasaanku tidak enak. Kalau dalam film-film horor, seakan-akan seperti sebentar lagi ada bayangan hitam tiba-tiba lewat.


"Be-benar. Aku paham. Sebaiknya kita jangan melewati ruang guru. Meski lebih dekat untuk mencapai kelas, tapi aku rasa lebih baik kita berputar lewat lapangan upacara," Sepertinya Iwan setuju denganku.

Apa boleh buat kami harus memutar. Meski ada hanya nol koma sekian persen, kemungkinan bertemu Si Tua harus dihindari.



"Ohohoho, pagi sekali kalian datang,"


Suara Ohoho itu! Sial, Kita terkepung, Prajurit!


"Sial! Rencana kita gagal!" Kata Iwan mengacak-acak rambutnya.


"Tepat waktu sekali, Iwan... dan tentu saja Ketua,"






Si-si Tua ini!! Aku selalu mual dengan senyumannya. Dia benar-benar senang melihatku sengsara! Akhirnya, Aku hanya menghela nafas dan memegang dahiku tanda pasrah.



"Ada apa, Pak Tua. Kau mau menyuruh kami mengganti genteng lagi?"

"Jangan bicara seakan aku selalu memperbudak kalian... Masuklah. Ada yang ingin kubicarakan,"

Aku dan Iwan saling memandang dan akhirnya mengikuti Si Tua itu dengan penuh tanda tanya di kepala.


***


#2


"Festival?"

"Ohohoho, aku yakin kalian sudah pernah ikut festival sekolah tahun lalu dan 2 tahun yang lalu,"

Festival sekolah ada pada pertengahan bulan Juli. Bertepatan sekali dengan akhir Masa Orientasi untuk murid baru, Ulang tahun Sekolah dan bertepatan dengan ulang tahun kota ini. Karena itu Festival sekolah ini begitu megah dan meriah. Tapi karena itu juga, hanya satu event ini yang bisa diharapkan sebagai pelepas rasa jenuh dari ruangan kelas. Selain itu banyak juga orang dari luar ikut menonton.

Ditahun pertama kelasku membuat kafe dan kelas selanjutnya juga kafe. Dipikir-pikir sebagian besar kelas selalu mengambil kafe sebagai pilihan. Memangnya ini festival makanan? Meski dijamin mendapat uang, tapi seseorang harus membuat revolusi untuk keluar dari lingkaran setan ini.


"Lalu kenapa dengan Festival Sekolah?" Tanya Iwan.

"Kalian tahu, kan? Juara Umum dan Juara Favorit, kelas yang paling disukai saat Festival?"

Stop! Aku sudah mengerti. Aku sudah paham jalan pikiran si Tua ini. Dia mengincar kedua trophy. Sudah pasti. Menghitung Rasa Percaya diri ditambah Kebanggaan, dikuadratkan oleh Kekeras kepalaan orang ini, menghiraukan koefisien Perasaan Murid-muridnya, aku sudah tahu apa yang dia incar.


"Lalu kau ingin kami mendapatkan kedua trophy itu, kan?" kataku sambil menghela nafas.

"Ohohoho, rupanya sudah paham. Para guru muda itu sudah mencap kelas ku akan kalah, akan kutunjukkan pada mereka bahwa keberhasilan kelas itu terletak pada kelihaianku mengendalikan kalian,"

Bahkan, motifmu sama sekali tidak mengenakkan untuk di dengar. Memangnya kami zombie yang bisa kau kendalikan seenaknya?! Lagipula, Kau berharap kami menang dengan kelas penuh anak berandal?!

"Padahal tadi kau marah karena adik kelas kita mengatakan kelas kita kelas preman,"

Diam! Aku tidak menghitung diriku sebagai preman. Maksudku sebagian anggota yang lain.



"Ohoho~ Saya serahkan semua urusan teknis kepadamu, Ketua. Lalu, Iwan. Kau adalah tim suksesnya dan kalau sampai tergetku tidak tercapai, kalian berdua yang bertanggung jawab. Ahahaha, jangan lupa bilang Remi untuk membantu kalian," Si Tua menepuk pundakku dan Iwan, meremasnya kuat-kuat dan meninggalkan kami berdua dalam keadaan shock.



Dunia akan lebih damai tanpa orang tua ini. Kalau aku punya mesin waktu dan berpindah ke dunia paralel yang lain, aku tidak ingin lagi hidup di planet dengan si Tua berada di puncak rantai makanan.



***


#3

"Untuk itu...festival sekolah...,"


"WAHAHAHAHA MAKA DARI ITU! SUDAH KUBILANG BOCAH ITU PECUNDANG!"

"Eh,eh, Kau lihat live tadi malam~ AW~ Si Saito cakep banget~" "Iya-iya~" "Unyu banget~~"

"Oh, Lagi-lagi ada surat cinta di lokerku..."

"Sial... Lagi-lagi ada geng yang ingin merekrutku dan melemparkan surat batu sampai ke kelas!"

"Aah~ Biarkan aku makan dengan tenang, aku belum sarapan!"

"...Manusia-manusia bodoh..."



Mustahil. Mereka tidak ada niat sama sekali untuk mendengarkanku.

Aku harus menarik kata-kataku. Kelas ini lebih kacau dari rumor. Kalau Google harus membayar 1 juta dollar untuk setiap jenis kekacauan di kelas ini, mereka akan bangkrut secara instan.

Sebagai informasi, setiap kelas di sekolah ini memiliki standar yaitu 40 murid per kelas. Tapi kelas E yang 'spesial' ini hanya memiliki 25 murid. 18 murid laki-laki dan 7 murid perempuan yang sepertinya memang 'luar biasa' dalam berbagai arti.


Lihat saja, orang yang berteriak keras-keras dan temannya itu. Dia Sarman dan teman-temannya yang terkenal suka berkelahi. Mereka bahkan bisa memulai berkelahi dengan alasan apa pun. Rumornya mereka terinspirasi dari film Fight Club dan membuat Fight Club mereka sendiri. Yang jelas aku tidak tahu apakah mereka cuma kumpulan orang-orang yang suka rasa sakit dari berkelahi atau orang-orang dengan ekstra energi yang terlalu banyak.

Lalu ada lagi para trio wanita penggosip di baris ke 4 kolom 3 itu. Mereka tidak berhenti-berhentinya bicara seakan topik pembicaraan mereka tidak terbatas. Dan kalau sudah tentang 'The Saito Brothers' mereka akan seperti ibu-ibu yang melihat baju dengan diskon 90%. Untuk informasi anda, Saito Brothers setara dengan Jonas Brother namun lebih berotot.

Alriyan sepertinya baru saja mendapat surat cinta yang didapatkan dari lokernya dengan wajah muram. Dasar orang ganteng sialan! Tidak mengerti orang yang mendapatkan benda suci klasik bernama 'surat cinta'. Walau aku mempertanyakan kewarasan orang yang di zaman modern seperti ini masih menulis benda purbakala bernama 'surat cinta'

Lalu si Agus besar yang membuat kaca kelas pecah karena ada geng yang berusaha mengajaknya bergabung. Aku sendiri heran masih ada yang menggunakan cara berputar-putar seperti itu. Apa mereka belum mengerti penemuan terbesar manusia bernama ponsel?

Yulia si Putri Kaya sialan yang duduk di sudut kelas itu bisa-bisanya menaruh makanan di meja belajarnya, lagipula apa itu?! Bisa-bisanya dia makan di kelas sebelum jamnya dan apa itu?! Daging kalkun?!

Sedangkan murid perempuan lain, Sarah, dia duduk di depan Yulia. Diam saja sambil menatap bosan ke arahku. Seharusnya gadis dengan tinggi tubuh sepertinya tidak duduk di belakang. Maksudku, sudah menjadi perjanjian internasional kalau anak dengan tinggi tubuh kurang dari standar untuk duduk di depan.

Gadis lainnya adalah Karina. Dia duduk di depan meja Sarah dan melamun tanpa menghiraukanku. Aku tidak terlalu kenal dengannya, tapi yang jelas dia adalah kakak kelas kami yang tidak lulus tahun kemarin. Kabarnya dia mengidap penyakit kronis saat tahun terakhirnya.

Beberapa murid terlihat berbicara sendiri. Justru orang yang paling tidak kusangka akan bersikap tenang adalah Sam. Kudengar dia bahkan lebih kuat daripada Agus Besar dan Sarman. Mengesampingkan komentarnya tentang manusia-manusia bodoh, sepertinya dia cukup bertingkah wajar dan memperhatikan omonganku.


Argh! Tidak mungkin aku mengontrol kelas sebrutal ini! Kalau tidak ribut sekali, berbicara sendiri, mereka tidak memberikan perhatian sedikitpun pada apa yang aku katakan. Pantas saja reputasi kelas ini semakin meroket seperti peluru ditembakkan dan menghiraukan gerak parabola yang seharusnya terjadi. 



"Iwan, aku sekarang dalam kondisi bingung. Rasanya seperti membayangkan bagaimana jika sebuah benda yang tidak dapat dihentikan menabrak benda yang tidak dapat dipindahkan. Atau membayangkan bagaimana atom model Bohr tidak lagi dipakai namun masih menjadi trademark dari bentuk atom standar. Iwan, tolong lakukan sesuatu,"


"Ke-kenapa harus aku?"

"Kau salah satu tim sukses. Lakukan sesuatu,"

"Oke. Aku coba, Ketua. MOHON PERHATIAN SEBENTAR!!"

Woah. Bagus Iwan. Sepertinya kelas cukup mereda.



"HOHOHO ADA APA IWAN?! KAU MAU BILANG KALAU KETUA DAN KAU ADALAH GAY?! WAHAHAHAHAHAHA"

"APA KAU BILANG BUNTALAN KENTUT! Aku tidak tahu kalau Ketua homo atau tidak TAPI AKU BUKAN HOMO"

Iwan! Kau membuat kelas menjadi semakin kacau! Ngomong-omong aku juga bukan gay!

"APA KAU BILANG!! MAJU KAU IWAN! MANA MUNGKIN AKU KALAH DENGAN BANCI SEPERTIMU!"

"DASAR! IBUMU PASTI BAU KARENA PUNYA ANAK SEPERTIMU!"

"JANGAN BAWA-BAWA IBUKU!! MATI KAU!"


Baru saja, kericuhan kelas semakin menjadi-jadi. Dari awalnya ribut sendiri-sendiri sekarang mereka menyoraki perkelahian Sarman dan Iwan. HEI! Kenapa kalian menggelar tikar dan menyebar uang seperti itu! Jangan berjudi di sini! Hei kalian yang di sana, bantu aku melerai mereka.



"Ohoho, sepertinya diskusinya lancar,"

Seketika ruang kelas menjadi senyap seperti kota mati. Tidak ada suara, senyap seperti Silent Hill.


"Bagaimana, Ketua?"

"Err... Ka-kami, kami sedang..."

"Diskusi! Diskusi! Kami sedang diskusi, Pak Tua," Kata Iwan membantuku.

"Ohoho, diskusi sambil mengepalkan tangan?"

"Ka-kami sedang latihan!" Kata Sarman membantu kebohongan ini.

"Latihan? Latihan untuk Festival Sekolah?"

"Latihan apa lagi, Bapak Guru? Kami sedang berdiskusi lebih baik bapak istirahat saja. Kami bisa mengatasi semua ini" Kata Alriyan ikut membantu.


"Ohoho, baiklah. Apa Nona Yulia yang sedang menggelar makanan itu juga sedang latihan?"

"S-saya juga sedang latihan... Ahahaha,"


"kalau begitu, saya tinggal. Tapi tolong kecilkan suara. Selain itu, kalau mau mengadakan pentas gulat, lebih baik jangan. Karena kalau melakukan itu bisa-bisa Juara Umum dan Favorit direbut kelas 3-A. Ohohoho, permisi kalau begitu. Berjuanglah kalian semua!"


""""Baik,""""

He-hebat sekali si Tua itu. Membuat kelas brutal ini menjawab 'Baik' secara bersamaan seperti tentara Jerman dibawah perintah Hitler. Selain itu semuanya menjadi pucat pasi saat si Tua masuk. Ternyata bukan cuma aku dan Iwan saja yang tertekan oleh si Tua. Kali ini aku angkat topi kepadanya.


***

#4

...Dan ternyata aku salah karena baru saja mempercayai kelas ini untuk tenang. Kali ini mereka tetap sibuk sendiri namun dengan volume rendah. Rasanya kepalaku ingin meledak. Tolong ambilkan aku aspirin,

"Aku sudah minta perhatian 3 kali tapi mereka tidak mendengarkanku,"

"Ketua, rasanya kau harus lebih tegas,"

Ha?

"Tendanglah meja guru ini. Pasti mereka akan mendengarkanmu. Mereka akan tersentuh oleh kepriaanmu,"

Aku tidak yakin kata dasar 'pria' bisa diberi imbuhan ke-an untuk kejantanan dalam sikap. Tapi lebih baik dicoba. Karena cara lembut sudah tidak mempan pada para kepala batu ini.



"KALIAN SEMUA!! DENGARKAN AKU SEBENTAR!!"

DUAK!

Aku menahan rasa sakit. Ternyata meski cuma kayu, menendang meja sakit juga.

Dan aku baru sadar kalau meja yang aku tendang mengenai meja Karina dan menyebabkan efek domino sehingga dia tergencet di antara meja dan kursinya sendiri.

"AH!"

Aku berdiri terpaku selama beberapa detik sebelum Karina mengusap air di sudut matanya.

"Aa...AH!! Aku minta maaf! Iwan yang menyuruhku!"

"Kau menyalahkanku?!"





"Yo,"

Yo! Kepalamu! Memangnya ini jam berapa kau baru masuk?!

Akhirnya datang juga si enigma berjalan. Senyumnya yang tampak tanpa dosa itu tergambar jelas dari raut wajahnya. Aku akui dia memang manis dan berwajah rata-rata atas. Tapi 2 hari mengenalnya sudah cukup untuk membuatku kepalaku ini sakit.

Sekarang ini, siapa yang tidak kenal Remi? Anak pindahan dari kota ini benar-benar eksentrik. Apalagi dia masih memakai seragam lamanya, sudah barang tentu dia benar-benar mencolok. Menemukannya di sekolah seluas ini pun semudah menghitung perkalian antar satu digit.



"Ah, aku cuma terlambat karena sepedaku bocor dijalan,"

Memangnya kau bisa mengalami kejadian sial itu 2 kali berturut-turut? Jangan mencoba menipuku!

Menghiraukan sindiranku, Remi menuju tempat duduknya


"Ah, silahkan lanjut ributnya,"

Jangan suruh mereka ribut! Kau kemari!


"Hee~"

Meski dia terlihat tidak senang, tapi dia tetap maju mendekatiku.


"Ada apa Ketua?"

"Si Tua menyuruhmu ikut menjadi tim sukses, kelas kita akan berpartisipasi di Festival Sekolah dan berencana merebut tropi-"

"Aku akan bilang padanya kalau aku tidak mau dan itu merepotkan!" Tanpa menghiraukanku, dia segera lari keluar kelas


***

#5


Pada akhirnya, kami tidak bisa menyampaikan informasi apapun selain kelas E akan ikut berpartisipasi dalam Festival sekolah. Aku meminta maaf pada Kak Karina dan hanya itu saja yang bisa kami lakukan.

"Sialan, tidak ada yang mendengarkan kita," Iwan terlihat lelah karena membantuku menjelaskan keadaan.

Dengan ini secara ofisial aku tidak ingin menjadi guru. Tidak dengan murid kurang ajar seperti mereka.

"Hiya~ Sudahlah, apa boleh buat. Menyerah saja," kata Remi dengan wajah datar.

Sepertinya Si Tua menolak mentah-mentah permintaan Remi. Entah apa yang si Tua lakukan, Remi kembali dengan wajah pucat seperti zombie yang sedang sembelit.

Sebelum waktu deadline habis aku tidak ingin menyerah. Aku tidak tahu apa yang si Tua itu lakukan kalau kami memberontak.

"A-aku tidak ingin memikirkannya... Baru pertama kali aku berhadapan dengan Guru yang memeras muridnya agar menuruti segala keinginannya," Kata Remi sedikit terlihat mual melihat ekspresi kami yang sepertinya mirip zombie yang kehilangan harapan. "Ah ngomong-omong, si Tua menitipkan ini," kata Remi kepadaku sambil menyerahkan secarik kertas.


"Ketua, apa yang harus kita lakukan?"

Aku memasukkan kertas itu ke dompetku, menutup mata dan berusaha mendapatkan konsentrasi.

Kita harus menang. Si Tua ingin mendapatkan kedua trophy. Satu trophy hasil voting pengunjung. Satu trophy keputusan juri. Segala bentuk kafe sulit memenangkan trophy. 2 tahun terakhir hanya kelas yang masuk panggung utama yang memenangkan trophy. Band. Drama. Film Original. Hanya sesuatu yang menyentuh pengunjung yang bisa menang. Anggota kelas belum bersatu. Tidak ada yang berminat. Sesuatu yang bisa dilakukan bersama... Tidak mungkin. Budget tidak cukup. Deadline 7 hari. 8 jam efektif satu hari...


"Apa yang Ketua lakukan? dia seperti sedang menyantet orang,"

"Tenang saja, itu cara ketua brainstorming. Bagaimana ketua?"

"Kalau kita ingin menang, mungkin kita harus melakukan drama,"

"HA?! TidakTidakTidakTidak, TIDAK!"

Cukup sekali saja! Aku juga dengar.

"Kau berniat menjadikanku pemeran utamanya, kan?!"

Untuk seseorang yang langsung terjun ke kesimpulan, ternyata kau cukup percaya diri. Tenang saja, kau bukan pemeran utama, Iwan.

Iwan segera membeku.

"Kau tidak menjadikanku pemeran utamanya?!"

Kau kaget?

"Katakan alasannya!"

"Dan aku kira kau tidak mau menjadi pemeran utamanya," kataku santai.

"Lalu katakan apa yang harus kulakukan supaya mendapat peran utama,"



"Boleh aku menyela, tapi...aku...punya...satu...pertanyaan...mendasar... MEREKA! BAHKAN! TIDAK MENDENGARKAN KITA! APALAGI IKUT DRAMA!" Kata Remi. Dia terdengar seperti karakter kartun barat

Disaat yang tepat Remi menyadarkanku dan Iwan.

"Kau punya ide?"

"Sepertinya kita harus satu persatu membujuk mereka," kata Remi

"Kau benar. Sebelum skenario, susunan pemain, dan properti, lebih baik kita mencari cara agar seluruh kelas tunduk padaku,"

"Kau baru saja mengatakan sesuatu yang bisa membuat orang lain salah paham,"


***

#6

"Drama?"

"Ya, drama bung. Dengan kemampuanmu berkelahi, panggung akan menjadi tempat memukau untuk kalian beraksi dan menunjukkan kemampuanmu dan teman-temanmu,"

"Hm..." Sarman melipat tangannya, sepertinya dia mempertimbangkan usulanku.

Aku memutuskan untuk merekrut otak otot ini terlebih dahulu. Kalau aku tidak bisa membujuk orang ini maka aku tidak akan bisa membujuk yang lain. Kalau berhasil aku akan mendapat orang yang mau mematahkan satu-dua tulangnya untuk menjadi stuntman.

"...sebagai tambahan, Iwan adalah tokoh antagonisnya,"

"...,"

"TUNGGU SEBENTAR! Sejak kapan aku menjadi tokoh utama antagonis?!" kata Iwan menyela

"Tidak ada yang bilang 'tokoh utama'" kata Remi mengingatkan

"Kalau kau antagonis, artinya penonton akan senang kalau kau dihajar habis-habisan, kan?"

"PENONTON KEJI MACAM APA SEDANG KITA BICARAKAN INI?!"

"Tenang-tenang, sebagai Produser dan Sutradara yang baik aku akan mengakomodasi seluruh permintaan pemeran. Hei Sarman, peran apa yang kau minta?" kataku santai

"Naah~ Tak tertarik aku. Buang-buang waktuku saja kau ini,"

***

#7

"Kenapa kau berhenti berusaha seperti ini," kata Iwan sambil meneguk softdrink nya.

Saat aku diam artinya aku sedang berpikir. Berhenti bukan berarti menyerah.

"Saat aku diam aku sedang membayangkan gadis telanjang. Berhenti bukan berarti berpikir,"

"Saat aku diam aku sedang membayangkan... Hei kau tidak membayangkanku telanjang, kan?"

Entah sejak kapan dua burung beo di sebelahku ini benar-benar mulai bertingkah menyebalkan.


"Ayolah ketua, kita mulai lagi dari awal..."

"Aku rasa yang paling mudah di rekrut sekarang adalah..." Remi mengatakan ini bergaya seperti business woman pro tapi berhenti sejenak sampai dia melanjutkan, "Bagaimana aku bisa tahu sifat mereka kalau aku baru saja pindah ke sekolah ini dua hari yang lalu?"


Kalau begitu jangan tanya aku. Coba kau tanya ke cermin ajaib siapa gadis tercantik di muka bumi ini.


"Ckckck, kalau masalah sifat dan tingkah laku serahkan padaku. Dengan teman facebook lebih dari 3000! Dan membuntuti setiap orang di sekolah ini! Kemampuanku akan membuatmu terpesona, Ketua,"


Kalau kau punya waktu untuk melakukan hal sekonyol itu, lebih baik lakukan untuk belajar supaya kau tidak menggangguku saat ujian.



***

#8

Perlahan-lahan aku membujuk satu persatu anggota kelas. Rasanya benar-benar melelahkan dan kakiku sudah menyerah untuk berdiri dan ingin cepat-cepat memindahkan tugasnya ke pantatku.

Dan yang lebih menyakitkan lagi, sejauh ini tidak ada seorangpun yang mau mendengarkanku dan mempertimbangkannya. Rasanya seperti berbicara dengan tembok.


"Hm~ Sepertinya kalian semua terlihat pucat,"

"Heh, bicara seakan kau sama sekali tidak ada urusan dengan masalah ini, Yulia,"

"Aku memang tidak ada urusan dengan ini. Sama seperti dua buah kondisi yang saling terpisah dan tidak memiliki hubungan gabungan maupun irisan pada diagram venn,"

"Sial kau. Padahal dengan analogi yang sama, kau berada di Semesta yang sama denganku. Apa perlu perintah dari Si Tua agar kau mau membantuku,"

"Khukhukhu, siapa bilang aku menolak untuk membantu. Asal profitable, aku mau membantu,"

"Seperti biasa, kau masih saja berorientasi pada keuntungan,"


"Maaf menganggu pembicaraan kalian. Ketua, kau sepertinya kenal dengan Yulia sejak lama? Kau tidak pernah bercerita tentang ini," kata Iwan menyela

"Hm~ Jahat sekali kau tidak pernah berbicara tentangku, Ketua~"

"Ohoho! Aku menemukan scoop! Bisa dijelaskan hubungan kalian berdua?! Ketua!" kata Remi terlihat tertarik.

Kenapa kalian berdua seperti paparazzi. Aku memang tidak pernah membicarakan Yulia. Tapi dia temanku saat SMP. Anggaplah... Rival. Dulu aku cukup pintar untuk masuk dunia olimpiade Sains dan bertemu dengannya. Dulu aku bisa mendapat nilai bagus tanpa belajar, Tapi sepertinya roda takdir berputar dan menjadikanku berada di posisi bawah, dan untuk alasan aneh, roda takdir terganjal dan aku terjebak di posisi ini selama 2 tahun di SMA.

"Khihi... Rival?! Kau bahkan selalu kalah dariku, jangan membuat kebohongan yang membuatmu malu,"

Kekalahan di SMP aku terima. Tapi maaf aku mengalahkanmu di Ujian Akhir Semester 1,2,3 dan 4 di SMA. Jangan pikir meski kita berbeda kelas kau bisa melarikan diri dari persaingan nilai.

"Khu- Aku tidak akan kalah semester ini!!"


"Jangan-jangan... Ketua adalah seorang yang jenius?!" Remi terlihat terkejut.

"Ketua memang terlihat seperti tukang palak pasar, tapi otaknya cukup encer sehingga aku percaya padanya saat sedang ujian. Aku mempercayakan seluruh jawabanku padanya! Walau terkadang hanya 40% jawabannya yang benar,"

Kau tidak seharusnya bangga dengan kalimat barusan, Iwan. Dan aku juga aku bukan orang jenius. Tapi setidaknya aku sedikit lebih niat belajar daripada Iwan.


"Jadi, kau mau membantuku atau tidak, Yulia?"

"Aku tidak melihat alasan kenapa tidak. Tapi aku juga tidak melihat alasan kenapa aku harus melakukannya. Maksudku, devil's proof. Datanglah lain kali kalau kau membawa alasan yang menarik agar aku mau membantumu,"

Jangan membawa istilah macam itu di kehidupan sehari-hari.

Yulia melambaikan tangannya dan beranjak dari tempat kami duduk.

***

#9

Karena satu hari hanya memiliki 24 jam dan 8 jam aktif di sekolah, dan aku benar-benar tidak ingin memikirkan masalah ini sesampainya aku di rumah, aku memutuskan berhenti.

Aku mengayuh sepedaku dengan malas pulang ke rumah. Tapi ternyata akhirnya sebelum sampai rumah aku memutuskan untuk main PS di rumah Iwan. Dan tanpa sadar hari semakin sore.



"Ois..."

Entah kenapa setelah masuk ke rumah kata itu yang keluar. Aku kira kalimat tersebut cukup pas untuk memberitahu kepulangan pahlawan dan pendekar pencari ilmu seperti diriku.


"Ois."

"Ois"


Dan di ruang keluarga duduklah dua orang adik kembarku yang melakukan pose aneh. Ellie (15 tahun) yang memegang gitar dengan kepala di bawah dan kaki di atas sofa menyanyikan lagu hipster yang aku tidak tahu judulnya. Erza (15 tahun) yang tidur terlentang tapi kepalanya menghadap tv, sepertinya dia sedang bermain Balap Chochobo atau apapun itu.

Dan mereka menganggap 'ois' seakan-akan adalah salam yang biasa dilakukan di keluarga ini.


Aku mengambil ponselku.


Klik


""APA YANG KAKAK LAKUKAN!!"" secara instan mereka berdua segera bereaksi dengan suara shutter dari kamera ponselku.


"HAHAHA! Kalau tidak ingin foto ini di sebarkan di 9gag.com atau 4chan, serahkan uang saku kalian!!"


"Ellie! Kepung dia dari sebelah timur!"

"OK! Erza, kepung dia menggunakan 'itu'!"


HAHAHA, percuma berusaha melawanku! Bring it on!



***

#10

Argh... Sialan kalian berdua. Tidak kusangka kekuatan mereka disatukan sama saja menghadapi seekor sapi yang sedang kelaparan. Ugh, rasanya rahangku mau patah. Dan perutku sedikit mual...


"Awas kalau lain kali melakukan itu lagi,"

Aku menghiraukan Ellie yang menjajah ponselku berusaha menemukan foto tidak sopannya.


"Apa passwordnya?"

Password apa?

"Erza tolong ambilkan obeng dan palu, kita kembalikan HP ini ke factory setting dan menikmati ekspresi Kakak saat video-video dewasa di dalamnya ikut terbakar,"


Tolong nona Ellie jangan master reset ponselku, lagipula kenapa kau butuh obeng dan palu?! Dan aku tidak punya video dewasa di dalamnya! Ok, ok, Passwordnya satu dua tiga dalam tulisan latin.


"Tidak bisa!"

...Dalam bahasa jerman.

"einzweidrei, kan? Tetap tidak bisa,"

Setiap huruf vokal menjadi kapital dan setelah huruf I selalu beri spasi-... JANGAN LEMPAR PONSELKU KE KOLAM IKAN!!



"Sudah-sudah, jangan berisik. Ayo kita mulai makan malamnya,"

Ayah menengahi pertengkaran kami. Tentu saja, karena setelah sampai meja makan, tidak ada anggota keluarga yang boleh marah dan bertengkar. Sebelum makan kami semua menyelesaikan masalah terlebih dahulu. Ayah yang pertama kali memberi ide tentang ini, dan sejauh yang aku ingat, kebiasaan ini sering dilanggar,

Makan malam berjalan dengan tenang. Meski beberapa waktu aku teringat tentang Pentas Seni yang tanggung jawabnya sepenuhnya berada di pundakku, Iwan dan Remi.


"Jadi siapa yang akan memulai bercerita? Ellie?"

"... Hari ini di sekolah tidak ada yang spesial. Kami kelas tiga sudah memulai pelajaran biasa...," kata Ellie menyelesaikan kalimatnya dengan satu nafas.


"Aku kira hari ini tidak terlalu spesial. Beberapa temanku mengajakku les privat, beberapa mengajakku bimbingan belajar," lanjut Erza

Kami semua mendengarkan setiap cerita dengan seksama. Terkadang kami boleh berkomentar ataupun membuat usulan.

"Tidak usah ikut les privat ataupun bimbel... Buat apa sudah bayar sekolah mahal-mahal dan kau bersekolah lagi di luar. Kalau kau punya waktu untuk bimbel, lebih baik maksimalkan pembelajaran di sekolah, dan gunakan waktu di rumah untuk beristirahat. Keseimbangan belajar dan istirahat itu penting,"

"...Oke," kata Erza mengangguk kecil dan melanjutkan makannya.


"Nak, selanjutnya kau,"

Kemarin aku menyembunyikan fakta kalau aku secara sepihak diangkat menjadi ketua kelas. Aku tidak tahu kalau kali ini aku bisa menyelamatkan bokongku untuk tidak mengatakannya hari ini.


"Hari ini walikelas ku memberiku tugas yang cukup berat. Mungkin lebih berat dari berat badan Erza,"

"Aku nggak berat!"

HEI, JANGAN MELEMPAR POTONGAN TIMUN KE ARAHKU!

"...Ehem, aku diberi misi untuk memenangkan Tropi Juara Favorit Penonton dan Favorit Juri untuk pentas seni dalam rangka ulang tahun sekolah dan ulang tahun kota ini,"

"Kenapa beban itu di berikan pada, Kakak?" tanya Ellie

"Er, itu karena..."


Aku rasa aku tidak bisa menyembunyikan ini untuk selamanya.


"Karena aku ketua kelasnya..."



"Berbahagialah Ellie, kalau Kakak bisa jadi ketua kelas, kau besok bisa menjadi astronot," kata Erza

"Kalau Kakak bisa jadi ketua, artinya ikan dikolam kita bisa bicara bahasa manusia~" lanjut Ellie

""YAY~""

Kenapa kalian berdua selalu bertingkah menyebalkan di saat-saat dramatis seperti ini? Padahal kalian berdua dulu sangat imut sampai-sampai aku memamerkan foto kalian saat SMP. Tapi apa jadinya setelah kalian puber? Menyebalkan seperti kutu! Kembalikan adik-adikku yang innocent dan manis!

"Kami cuma mengembalikan kalimat-kalimat kakak yang sudah secara barbarik dilemparkan ke muka kami,"


"Sudah-sudah, lalu?"


"Masalahnya tidak ada yang mendengarkanku," jawabku jujur. "Apalagi kelas E rumornya terkenal sebagai problem-class. Dan sejauh ini mereka semua memang punya masalah dengan mendengarkan orang lain,"

"Kakak memang problem child,"

"Tidak heran~ AH KRIUK AYAMKU!!"


Aku ingin membungkam mulut mereka berdua dengan merampas bagian favorit mereka dari sebongkah ayam goreng, tepung goreng bagian luarnya. Tapi Ellie menatapku dengan wajah yang... membuatku iba. Rasanya aku jadi tidak ingin menjahili mereka lagi. Dan mengembalikan barang rampasan yang tidak jadi kumakan secara paksa.


"KAKAK JELEK!"


"Kalau kau ingin di dengar, dengarkan dulu mereka. Dan kalau kau ingin menarik perhatian mereka, bisa dengan membawa orang-orang yang mereka segani... atau mungkin kau bisa menggunakan kemampuanmu sendiri untuk menarik perhatian mereka dengan sesuatu yang menyentuh hati mereka,"


Kalimat ayah terlalu umum dan abstrak. Aku tidak ingin membuatnya mengulangi kalimat barusan. Akhirnya saran barusan hanya masuk folder 'temporary' di otakku.



*** 

Author's Note

10 bagian dari 60... Maka dari itu lebih baik pake versi PDF.... Btw, beberapa dari anda mungkin sudah membacanya dari note saya di FB, tapi setelah dilihat-lihat lagi... Ini benar-benar sesuatu yang berbeda.


6 komentar:

Zetsudou Sougi mengatakan...

wakakaka
verbal sparring tsukkomi boke ga pake rem ya jadinya kaya gini!!!
saya rasa ini bisa bikin ngakak semua orang
sebarin jangan cuma di FB dan blog aja

minoru mengatakan...

Hahaha nice one. Saya ingat pas SMA dulu ditempatkan di kelas yang kayak gini.

Franz Budi mengatakan...

i'll finish the pdf soon after i finish my jobs.

Anonim mengatakan...

Menunggu full releasenya...

benz mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
benz mengatakan...

Well... Setelah sekian lama, gw baru baca ini sekarang...

Lanjutannya mana *fffffuuuu*