CHAPTER 5



Semua hal...

Semua hal...

Terasa abu-abu

Abu-abu, warna kehampaan...

Hampa...

Hampa...

"Kak, ini hari pertamamu masuk sekolah. Cepat mandi..."

"Aku tidak mau masuk-"


Aku menutup wajahku dengan sarungku.


Sudah beberapa minggu setelah kejadian mengerikan itu. Perlu waktu lama untuk menyembuhkan luka diperutku. Tapi perlu waktu lebih lama lagi untuk menyembuhkan traumaku. Sampai sekarang mimpi buruk itu masih saja membayangiku. Aku ingin amnesia sekarang supaya bisa melupakan kejadian yang hampir merenggut nyawaku.

Entah bisa dibilang beruntung atau tidak, aku bisa selamat dari tikaman si pembunuh itu. Entah siapapun yang memanggil ambulans aku harus berterimakasih kepadanya karena sedikit saja terlambat, habislah aku.

Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, polisi meminta keterangan tentang kejadian itu. Cukup melelahkan menjawab semua pertanyaan yag diajukan namun aku menjawab semua sesuai apa yang aku alami. Sekarang aku tidak ingin keluar. Lebih baik pergi kerumah temanku dan menonton anime.

"Em...aku temani-"

"Berangkat saja Adik, Bawa Sonica."

Karena sepertinya melihatku tidak dalam mood yang enak, adikku patuh dan langsung berangkat sekolah.


Aku berdiri dan beranjak dari tempat tidurku untuk beranjak menuju ruang tengah.

Tiba-tiba seseorang muncul di jarak pandangku. Dia pria tua berumur sekitar 50 tahun dan dia ayahku.

"Ah, Al. bagaimana lukamu?"

Aku menatap ayahku yang melontarkan pertanyaan itu.

"...Baik." Aku memalingkan wajahku.

"Syu-sukurlah. Aku berangkat dulu..."

"...Ya"

Aku lalu memalingkan pandanganku ke arah TV tua keluarga kami.

Sudah kuduga tidak ada satu acarapun yang menarik perhatianku. Ada apa dengan acara TV di negaraku tercinta Indonesia! Kenapa hanya ada Sinetron tidak mendidik! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan panguasa pertelevisian Indonesia. Mungkin kalau harga TV itu seharga permen karet aku akan membuangnya ke tempat sampah. Tapi sayangnya tidak.

Pikiranku melayang kemana-mana sambil menonton sebuah acara komedi yang sama sekali tidak lucu dan hanya mengumbar keseksian artis wanitanya saja.


Ayah sudah berubah...

Dia tidak begitu keras seperti dulu dan dia mengkhawatirkanku. Mungkin sudah waktunya aku memaafkannya.Dia sekarang terus berusaha mencari kerja untuk memberi kami sesuap nasi walaupun terkadang tidak dapat.

Sepertinya dia bukan ayahku yang dulu...

Tapi terkadang ayah kembali arogan seperti dulu. Dia bahkan membanting apapun yang ditemuinya jika dia sedang bertengkar denganku.

Mungkin ini hubungannya dengan kepribadian ganda. Ah, ngomong apa aku ini...

Sudah kuduga, aku masih belum bisa memaafkan kejadian itu. Tapi aku mungkin bisa bergaul dengannya sedikit lebih akrab lagi...

________!!!


Sial! Pembunuhan itu menghantui pikiranku lagi! Perutku mual dan mau muntah! Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan hal sesadis itu! Aku melihat otaknya tumpah dari batok kepalanya! Mukanya penuh dengan goresan, bagus kalau goresan kuas. Ini goresan pisau! Apa dia tidak punya media gambar seperti kuas dan kanvas! Berpikir bahwa pembunuh itu melukis abstrak di wajah orang!

Tapi, aku masih merasa masih tidak percaya dengan pelaku pembunuhan itu. Kak Karin tidak mungkin melakukan hal sesadis itu. Hanya mengingat senyum polosnya saja sudah membuatku berpikir dia adalah orang terakhir yang aku duga sebagai pembunuh. Tapi aku malah menangkap basah dia melakukan pembunuhan...

Senyumannya sekali lagi terlintas di kepalaku...


Mungkin karena masih lelah aku terlelap...






"Ayah, ayah lihat ini!"

"Oh, Al, Gambar yang bagus sekali!"

"Kaaa~n! Kak Aisa juga bilang bagus. Hehehe!"


Apa ini? Mimpi? Sebuah ruangan yang cukup familiar. Ayah masih terlihat muda dan sedang duduk dikursi pianonya.


"Mungkin kau bisa jadi pelukis handal nantinya, hahaha..."

"Aku nggak mau jadi pelukis! Aku mau jadi komikus!"

"He~ Ayah kira itu mimpi yang cukup besar,"

"Ini mimpi yang sangaaaat besar!!! Aku akan membuat komik yang bagus dan disukai semua orang"

Hahaha, di luar sana ternyata masih ada yang bermimpi menjadi komikus sebagai pekerjaannya di Indonesia? Yang benar saja... Tapi ternyata aku benar-benar memimpikannya dulu.

"Al, jangan ganggu ayah terus... Dia sedang bekerja!"

Seorang gadis remaja muncul dari arah belakang diriku yang masih kecil. Tubuhnya ideal dan cukup tinggi. Rambutnya diikat kuda dan dia benar-benar mirip ibu.

"Bekerja apanya, ayah main piano terus dari tadi, kok"

"Kamu membantah kakak terus sih! Ayah itu musisi dan sedang membuat lagu! Jangan diganggu!"

"Tidak apa-apa Aisa"

"Ka-kalau Ayah tidak terganggu sih tidak masalah..."

Ayah dan aku tertawa bersama.


Kenapa? Kenapa aku bisa bermimpi tentang masa lalu ini??

Tiba-tiba bayangan ruangan berpiano itu lenyap dan berganti ruangan yang putih bersih. Sepertinya rumah sakit.

"Ayah anda terluka sangat parah dari kecelakan ini... Memorinya hilang 5% dan Dia menjadi tuli telinga kanannya. Yang lebih parah lagi, tangan kanannya tidak bisa berfungsi seperti sedia kala..."

Kak Aisa dan ibu berpelukan. Kak Aisa terisak-isak di dada ibu.


Bayangan rumah sakit kembali kabur dan berubah menjadi ruangan yang cukup gelap.

"Ayah! Bisakah ayah hentikan ini! Berhentilah minum-minuman haram itu! Ibu menangis melihat ayah bertingkah seperti ini!!"

"Diam kau, Dasar anak durhaka"

Kakakku terdiam sesaat dan kembali menatap ayah.

"Kau berubah Yah, aku tidak percaya, Hanya karena kau kehilangan musikmu kau harus bertingkah seperti ini. Seharusnya Ayah tahu bahwa tingkah ayah ini bukan hanya menghancurkan hidup ayah. Tapi kehancuran keluarga kita!"

Plakk!!! Kakak tersungkur ke tanah. Seorang laki-laki dewasa menampar seorang gadis SMP benar-benar seperti Werkudara melawan Bagong.

Aku yang masih kelas 6 SD dan Adikku yang masih kelas 2 SD tidak bisa berbuat apa-apa melihat kakak ditampar. Aku menghampiri kakak dan memeluknya. Aku menangis...

Bayangan ruang keluarga tiba-tiba berubah menjadi pemandangan pemakaman.


Ah, ini flashback waktu kakak meninggal...

Aku terlihat kusut sekali. Aku ingat bahwa aku sampai tidak bisa menangis lagi waktu itu. Seorang demi seorang meninggalkan kuburan kakak. Tinggallah keluarga kami menunggui tempat peristirahatan terakhir Kak Aisa.

"TUHAN!!! KENAPA KAU BEGITU PILIH KASIH!! KAU REBUT MUSIKKU!! APA KAU TIDAK CUKUP PUAS!!! SEKARANG KAU REBUT ANAK KESAYANGANKU!!! APA MAU MU!!! APA MAU MU YAAA TUHAAAN!!!" Ayah berteriak sekuat tenaganya. Dia menangis. Dia menangis. Baru pertama kalinya aku melihat ayah menangis.

Ibu, aku dan adikku hanya bisa terdiam melihat ayah semakin hancur.

Salahmu...

Salahmu...

Kakak mati gara-gara kau!!!



Pemandangan pemakaman berubah menjadi pemandangan sebuah rumah bobrok yang tua. Ibu berbaring di kasur dengan wajah yang pucat. Aku dan adikku mendampingi ibu. Tiba-tiba ayah pulang.

"Aku pulang..."

"Ayah! Ibu sakit-" Kataku tergesa-gesa saat ayah baru saja duduk.

"AYAH TAHU!" Ayah membentakku. Aku merasa jantungku mau copot karena bentakannya.

Tahu apanya...

"KAU TIDAK TAHU APAPUN!!! KAU MEMBUAT KAMI HANCUR! KAU MEMBUAT KAKAK MENINGGAL!!!"

"TAHU APA KAU BOCAH SIALAN!!!"

Ayah melemparkan gelas yang ada disampingnya ke lantai.

PRANG!!!

Aku takut. Tapi aku tidak bergeming dan tetap memandangnya.

Kami beradu mulut. Aku hampir saja dihajar oleh Ayah, kalau saja adikku tidak menghentikan Ayah. Karena aku laki-laki, tidak mungkin hanya tamparan saja yang aku terima. Paling tidak pukulan dan tendangan akan mendarat ke tubuhku.


Pemandangan kembali kesebuah pemakaman.


Aku melihat diriku yang masih berada di kelas 1 SMP berdiri didepan makam ibu tanpa ekspresi. Kesedihan benar-benar meliputiku saat itu.

Ayah bersujud didepan makam ibu...

"Aku tahu ayah akan menyalahkan Tuhan lagi seperti waktu itu..."kataku dengan nada dingin.

Ayah menoleh kearahku dengan pandangan mata kebencian...

"Salah Ayah, Semua salah Ayah. Kau menghancurkan hidup kami, membunuh kakak dan Ibu. Kau manusia gagal. Ayah terus menyiksa kami, apa kau akan membunuh aku dan adik sekarang? Biarkan saja kami mati kelaparan. Akan menghemat waktumu daripada seperti membiarkan ibu mati begitu saja karena penyakit. Paling butuh 5 hari...." Kataku dengan nada dingin.

Sekali lagi kami bertengkar hebat. Tentu saja adik melerai kami.




Pemandangan berubah kembali menjadi pemandangan ruangan dengan piala. Aku duduk ditengah ruangan degan dikelilingi guru-guru.

Ah, aku ingat... Ini ruang dewan guru saat aku SMP...

"Al, kau terancam dikeluarkan, kau sadar itu?"

"Ya, aku sadar."

"Kau menyesal karena telah menganiaya temanmu?"

"Menganiaya apanya, aku cuma membalas kata-kata dari mulut sampahnya itu dengan kepalan."

"Lihat saudara-saudara... Anak ini tidak menyesali sama sekali perbuatannya. Keputusan yang paling tepat adalah mengeluarkan anak ini, daripada dia berbuat onar disekolah ini karena ketidakstabilan mentalnya," Seorang guru dengan muka menyebalkan mengatakannya dengan enteng.

Aku memandangnya dengan pandangan tajam.

"A-Apa?"

"Tidak ada apa-apa" kataku sambil memalingkan wajahku.

Tiba-tiba seorang guru yang memakai pakaian training mengajukan sebuah usul.

"Maaf, saya kira Al tidak pantas dikeluarkan dari sekolah ini. Dia pintar dan sudah menyumbang beberapa prestasi kepada sekolah. Selama ini tingkah lakunya baik-baik saja. Rekan guru sekalian pasti mendengar berbagai macam musibah yang menghantam keluarga Al,kan? Temannya memang sudah keterlaluan mengejeknya..."

"Menghajar teman sekelasnya sampai sebegitu parah? Memangnya kita ini bangsa bar-bar! Pintar tanpa landasan moral sama saja sampah!"

"Aku cuma menutup mulutnya yang busuk itu, kalau dia tidak bisa berbicara yang baik lebih baik aku tutup saja mulutnya. Satu hantaman saja BAAM! dia sudah roboh." kataku menyela sambil memukulkan kepalan kananku ke tangan kiriku yang terbuka.

"Lihat perilakunya!--

Pak Joko dan Guru bermuka menyebalkan itu beradu argumen.



Akhirnya Pak Joko menjadi jaminan bahwa aku tidak akan berbuat onar lagi.

Tapi baru saja dijamin seperti itu...

"Huh, anak seperti ini sama sekali tidak pantas di sekolah kita. Aku ingin tahu wajah orang tuanya seperti apa, biasanya anak dengan perkembangan mental seperti ini memiliki orang tua penjudi, pemabok, atau pela-"

Aku tidak perlu mendengarkan suku kata terakhir dari kata-katanya. Otakku lansung mengirimkan sinyal ke ototku untuk bergerak.

Pikiranku sesaat seperti menjadi kosong dan pandangan mataku gelap...

Sedetik kemudian kesadaranku pulih dan aku melihat guru tersebut tersungkur. Aku melihat tangan kananku... ternyata tanganku sudah berlumuran darah segar...

Tepat sekali setelah kejadian itu Ayah-yang-dipanggil-sekolah-karena-aku-berbuat-onar datang.

Ayah langsung menghampiriku dan menarik kerah bajuku dan menarikku keluar dari ruangan.

Dengan sekuat tenaga aku memberontak dan melepaskan diri.

"Kau tahu apa yag kau lakukan..."

"Tahu."

"Kau baru saja menghancurkan masa depanmu."

"...Tidak juga"

"Pergi minta maaf dan pulang sekarang juga!"

"Aku tidak menerima perintahmu!"

"Sampai kapan kau mau bersikap keras kepala seperti ini!"

"Sampai kapan pun! Gara-gara kau...Semua gara-gara kau!Pembunuh!"

"Dasar keras kepala!"

Ayahku mengayunkan kepalannya ke perutku. Aku dengan reflek menghindari serangan itu dan terjatuh ke tanah.

Di sebelah tanganku terdapat pipa...

Melihat ayah kembali mengejarku, aku berlari mengambil 'senjata' itu.

Entah apa yang merasukiku, aku mengayunkan pipa besi tersebut ke arah Ayah...


Aku bisa merasakan rasanya tubuhku dikendalikan oleh iblis...tapi aku tidak peduli...

Ayah terjatuh.

Aku mengarahkan ujung tajam pipa besi tersebut ke kepala Ayah. Aku memandangnya dengan tatapan dingin. Tiba-tiba warga sekolah SMP ku berbondong-bondong mendekatiku.

Cepat, Bunuh dia!

Tenaga ayah masih tersisa, dia melemparku kebelakang.

Kemudian....

Ayah memengang kakiku dan lalu mematahkan kakiku...


"Maaf, Al..."


Tiba-tiba kepalaku sakit luar biasa dan warna dunia menjadi hitam...



"Al, ba-bangun."

Ayahku berada didepanku dan menggoyang tubuhku. Aku bangun dengan berat hati. Kepalaku sakit sekali seperti baru saja disuruh mengerjakan soal Integral sebanyak satu buku.

"Apa?"

"Te-temanmu."

"Dimana?"

"Didepan"

Aku beranjak dari tidurku dan menuju pintu depan. Aku merasa mimpi flashback yang aku alami barusan benar-benar realistis.


"Hai"

Aku merasa jantungku berhenti.



Dia berdiri di depanku.


Sangat dekat.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

greeneyes:

sepertinya bisa ditebak

kihihi

btw boleh tanya image karakter anime apa aja yg tergambar di kepala saat membikin karakter2 novel ini?
mungkin akan saya bikin ilustrasinya

Franz Budi mengatakan...

sankyuu...XD\

terlalu berat bikin illustrasi sama nulis...

kk nicknya apa diIDWS??

Al : Araragi? Kyon? Leyfon? Ryuuji?
Al's Sister : Nadeko XD ... pokoknya tipe smart imouto hahaha
Ava : Mio K-ON??
Karin : Genki type ?? Haruhi
Ed : L
Al dad : ayahnya si tomoya

masih ada 2 tokoh lagi...
tunggu chapternya

Anonim mengatakan...

greeneyes id IDWS nya gecd

flashback yah, lumayan sih, bisa mengcover beberapa hal

saya menunggu sparkling scene di chapter-chapter depan

anda udah nentuin main plotnya kan? jangan sampai cerita sebagus ini cuma jadi story pokoknya jalan, sinetron kalo itu ntar jadinya

Anonim mengatakan...

greeneyes:
swt
selain Al
semua perkiraan saya meleset

well let see.....

Franz Budi mengatakan...

terimakasih~~~~

saya jadi terharu dengan kata kata sempai sekalian... :'(

inti ceritanya cuma satu kok, dan belum keluar...

ternyata greeneyes bang gecd ya?

meleset semua??? hahahaha sebenernya saya gak mikirin chara anime apapun... saya mikirin chara original XD